Trilogi Iman Manusia Bertakwa

Oleh: Ahmed Zaranggi

Sarjana Ilmu Alquran dan Tafsir

Ketakwaan menjadi syiar Islam yang menggaung abadi. Syiar yang mengangkat derajat manusia bukan karena keturunan, suku, harta, warna kulit atau pun status sosial, akan tetapi karena kualitas kesempurnaan yang diraih.

Alquran hadir sebagai petunjuk, mengabadikan syiar ini dalam kalimat yang lantang dan tegas, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa” (QS. Al-Ḥujurāt [49]: 14). Menjadi jelas, bahwa satu-satunya standar keutamaan manusia serta tolok ukur kepribadian yang islami adalah ketakwaan.

Namun, yang perlu digarisbawahi adalah hidayah dan ketakwaan tidak diperoleh secara pasif: hanya duduk menunggu di mihrab, melainkan diperoleh secara aktif; dengan memperkuat ilmu dan melakukan amal saleh. Mengingat hidayah hanya akan sampai apabila terdapat dua kesesuaian; antara keaktifan Pemberi dan kapabilitas penerima.

Tanah yang tandus tidak akan menumbuhkan benih sekalipun hujan deras mengguyurnya, karena benih hanya akan tumbuh pada tanah yang berpotensi dan memiliki kesiapan menerima guyuran hujan sehingga menumbuhkan. Demikian pula manusia, benih hidayah hanya akan tumbuh pada diri mereka yang berupaya dan bersih dari kekerasan hati dan fanatisme.

Manusia bertakwa selalu menyiapkan dirinya untuk memperoleh petunjuk. Menariknya, apabila ditelisik lebih jauh, mereka membangun ketakwaannya di atas tiga fondasi utama; trilogi iman. Tiga seri keimanan ini digambarkan begitu indah melalui lisan Imam Ali bin Abi Thalib:

“Allah merahmati seseorang yang mengetahui dari mana, di mana dan akan ke mana” (Nahj al-Balāghah).

Selain menjadi fondasi ketakwaan, boleh jadi trilogi iman ini menggambarkan rute perjalanan kehidupan manusia—dari titik awal menuju titik akhir—dalam meniti jalan kesempurnaan.

Baca Juga:  Musik Sufi Perspektif Ulama Fikih dan Ulama Tasawuf

Titik kebermulaan manusia (dari mana) adalah keimanan kepada Allah swt. sebagai Maha Awal; sumber dari segala keberadaan. Adapun titik keberakhiran manusia (ke mana) adalah keimanan pada hari kebangkitan (yaum al-ma’ād). Titik awal dan akhir tersebut pada akhirnya terangkum dalam frasa:

Innā lillahi wa innā ilaihi rāji’ūn.”

Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nya pula kita kembali (QS. Al-Baqarah [2]: 156).

Dalam kajian tasawuf, rute titik mula dan titik akhir seperti ini digambarkan sebagai perjalanan jiwa pada dua lintasan, yaitu: busur turun (qaus an-nuzūl) menuju busur naik (qaus as-u’ūd) sehingga kedua titik itu akan bertemu dan membentuk sebuah lingkaran yang sempurna.

Sementara seri iman yang menjembatani dua titik tersebut (di mana) adalah keimanan pada kenabian. Beriman pada manusia suci yang diutus untuk menjadi tauladan serta pembimbing manusia menuju tangga-tangga kesempurnaan takwa.

Layaknya trilogi karya kesusutraan, tiga keimanan ini juga saling berkelindan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Trilogi iman ini pada gilirannya dikenal dengan pandangan dunia Islam (Islamic worldview). Selanjutnya, pandangan dunia ini memiliki pengaruh besar atas tindak tanduk manusia.

Bagaimana trilogi keimanan ini dapat mempengaruhi perbuatan manusia bertakwa? Mari kita simak penjelasan berikut;

Seri keimanan pertama, yaitu beriman pada Allah swt. Menunjukkan keyakinan kepada yang ghaib; keimanan yang menembus alam materi dan batas-batasannya. Sehingga, melahirkan kesadaran bahwa manusia harus membangun keadilan, kebenaran, kebaikan dan pelayanan terhadap orang lain.

Selanjutnya, seri keimanan pada para Nabi melahirkan kesadaran bahwa mereka adalah para guru yang membimbing manusia menuju satu jalan yang lurus. Dengan demikian, meneladani para Nabi dalam jalan tauhid, akhlak dan perbuatan adalah hal yang niscaya dalam perilaku manusia bertakwa.

Baca Juga:  Sabar: Syarat Meraih Cinta-Nya

Adapun seri keimanan pada hari kebangkitan, memberi keyakinan bahwa manusia tidak diciptakan sia-sia. Oleh karena itu, sekecil apapun perbuatan manusia akan mendapatkan balasan di hadapan keadilan Allah swt.

Keyakinan pada hari akhir melahirkan sikap ketenangan hati, kemantapan dalam memikul tanggung jawab, penolakan terhadap segala bentuk kezaliman serta menjaga manusia untuk tidak melakukan dosa-dosa.

Penjelasan di atas memberi titik terang bahwa trilogi iman menjadi hulu bagi hilir sikap dan amal manusia dalam meraih ketakwaan. Artinya, pandangan dunia seseorang akan memberi pengaruh besar pada perbuatan yang diambil, tentu keberpengaruhan ini juga bergantung pada sejauh mana keimanan seseorang.

Dengan kata lain, kualitas ketakwaan seseorang bergantung pada kualitas keyakinannya pada tiga seri keimanan ini. Di sisi lain, trilogi iman ini juga menjadi titik pembeda antara manusia yang beriman dan tidak beriman.

Begitu eratnya relasi antara iman dengan amal, sampai-sampai Alquran tidak pernah menyebutkan “mereka yang beriman” kecuali diikuti dengan “mereka yang beramal saleh” setelahnya. (lihat; QS. al-Baqarah [2]: 25, baca juga; QS. Ali Imran [3]: 57 dan QS. an-Nisa [4]: 57). Boleh jadi, ayat ini juga menjelaskan bahwa iman tidak akan sempurna tanpa dibarengi dengan amal saleh.

Dengan demikian, ketakwaan merupakan buah dari rentetan keyakinan pada trilogi keimanan di atas. Takwa di sini berfungsi sebagai alat pengendali internal manusia yang menjaga manusia dari mengikuti nafsu dan berbuat zalim, setelah itu akan mengantarkan manusia pada penjagaan diri dalam kesucian. Hal ini juga dijelaskan dengan apik oleh Imam Ali bin Abi Thalib:

“Ketahuilah wahai hamba-hamba Allah. Sesungguhnya takwa adalah benteng yang kokoh dan tak dapat ditembus”. (Nahj al-Balāghah, khutbah 157)

Baca Juga:  Menunggu Sang Penebar Ketenangan

Perlu disebutkan pula, bahwa takwa juga memiliki berbagai cakupan, antara lain: takwa dalam ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Boleh jadi, takwa yang mencakup berbagai aspek kehidupan adalah hasil dari keyakinan yang kokoh pada tiga seri keimanan ini.

Wallahu a’lam.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Kemarahan Suci?

Oleh: Haidar Bagir Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf Lama saya berpikir, kenapa ketika sedang berbicara tentang…