Krisis Kosmologi dan Tawaran Ecotheologi Islam

Sejak beberapa dasawarsa ini, tepatnya sejak paruh pertama abad ke-20 hingga dewasa ini, diskursus kesadaran manusia tentang kosmologi kian marak dilakukan oleh sebagian besar intelektual dunia. Maka tak khayal kesadaran tentang kosmologi ini memunculkan keilmuan yang disebut sebagai Environmental Science.

Keilmuan ini memang sengaja dimunculkan untuk mengkaji secara interdisipliner dampak dari gaya dan pola kehidupan manusia terhadap struktur dan fungsi lingkungan, baik hayati maupun non-hayati dalam mengkondisikan pengelolaan sistem lingkungan hidup agar bisa bertahan dan memberi manfaat bagi kehidupan alam semesta.

Sebenarnya kalau kita mau menengok kembali pada era-era awal kehidupan para filosof Yunani Kuno. Diskursus kesadaran kosmologi ini sangat jelas dan terang. Kosmologi dalam diskursus filsafat merupakan suatu yang sangat melekat dalam diri keseharian para filsuf Yunani Kuno. Karena demikian itu menjadi diskurus pertama yang ada di awal-awal munculnya kajian filsafat. Misalnya, Muhammad Hatta dalam Alam Pikiran Yunani (1986) menggambarkan sebagai filsuf alam.

Diskursus kesadaran kosmologi ini sangat menarik dan unik. Menarik dan uniknya, karena bisa menghadirkan semacam dialog argumentatif logis rekontruktif terkait asal-usul alam semesta. Tentu dialog ini, dalam beberapa literatur filsafat digambarkan terjadi di kota Miletos, sebuah kota perantauan Yunani kuno, letaknya di pesisir Asia Kecil (Menor), antara ketiga filsuf Thales (625-545 SM), Anaximandros (640-546 SM) dan Anaximenes (538-480 SM).

Misalnya, Thales yang memiliki pandangan bahwa alam semesta berasal dari air dan merupakan pangkal dan pokok serta dasar dari segala-galanya. Karena alam semesta akan mati tanpa air, sebagaimana air yang mengalir dari dalam tubuh kemudian berubah menjadi kehangatan hewani.

Pandangan ini, kemudian disanggah Anaximandros dengan sanggahan logis, di mana alam semesta bukan berasal air, udara, dan apalagi api melainkan segala yang tak bisa digambarkan dan disamakan dengan apa yang ada di dunia ini; Apeiron, demikian menyebutnya.

Baca Juga:  Rahmat-Mu Meliputi Segala Sesuatu

Berbeda dengan keduanya, filsuf Anaximenes berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah udara yang tidak terhingga. Sebab udara tidak ada pangkalnya dalam realitas kehidupan. Udara melahirkan segala bentuk benda alam semesta dalam proses pemadatan dan pengenceran (Condensation And Rerefaction).

Dialog konstruktif antar filosof ini, butuh waktu dan masa yang sangat panjang hingga diperkirakan munculnya kaum Sofis atau hingga akhir masa filsuf Demokritos (460-360 SM). Makanya, corak pemikiran filsafat di masa Pra-Socrates ini sering kali disebut bercorak kosmosentrisme. Dan, tentu saja adanya pergeseran pemikiran filsafat dari kosmosentrisme ke antroposentrisme di abad modern tak bisa ditolak dan tidak bisa disalahkan.

Manusia sebagai “Ens Metaphysicum” meminjam istilah Aristoteles dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas segala tindakkan yang dilakukan termasuk di dalamnya pada alam dan lingkungan. Kenyataannya manusia dengan segala kemajuan ilmu pengetahuan alam dan teknologinya tak mampu benar-benar bertanggung jawab pada alam. Bahkan manusia cenderung melihat alam sebagai mesin dari alasan membangun ekonomi kapitalisme.

Krisis kosmologi yang menimpa kita saat ini, berakar pada struktur kepercayaan dan nilai yang ada pada diri manusia. Di mana pada satu titik perilaku eksploitatif dan konsumtif yang menempatkan manusia sebagai centre of the universe. Selain juga bersifat aksiomatik yang meletakkan kepercayaan manusia dan struktur nilai yang membentuk hubungan dengan alam dan sesama makhluk.

Dalam konteks ini wawasan tentang teologi Islam sebagai world view sangat menarik dan relevan ketika berbicara mengenai krisis kosmologi dan penanganannya, baik secara struktur kepercayaan diri manusia dan hubungannya dengan alam dan Tuhan.

Teologi Islam sebagai world view melalui Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sangat mendorong manusia untuk berbuat baik pada alam dan pada setiap makhluk yang ada di dalamnya, baik hayati maupun non-hayati.

Baca Juga:  Corona: Kutukan atau Berkah?

Secara konvensional pemahaman istilah teologi selalu lekat kaitannya dengan agama dan ketuhanan. Missalnya, dalam  diskursus keagamaan Islam, istilah teologi lebih dikenal dengan sebutan ilmu kalam atau ilmu ushuluddin dengan ajaran dasar berupa aqa’id, credos, atau keyakinan-keyakinan, atau dikenal dengan sebutan ilmu al-tauhid.

Sementara dalam konteks kosmologi, istilah teologi harus diletakkan pada wilayah yang lebih bersifat praktis dan diletakan pada tataran profanitas. Bagaimana kita melihat hubungan antara lingkungan sebagai tempat tinggal dan manusia sebagai pelaku dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan.

Kiranya upaya ini penting dilakukan sebagai bagian dari nilai spiritual ekologis Islam dari pengkayaan khazanah ekologi profetis Islam yang menawarkan konsep kosmologi Islam alternatif. Kosmologi Islam secara definisi dapat diartikan sebagai teologi lingkungan di mana objek material kajiannya di bidang lingkungan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama Islam serta kearifan lokal (local wisdom). Nilai-nilai ajaran agama Islam dan kearifan lokal ini kemudian disebut sebagai ecotheologi Islam.

Selanjutnya, ecotheologi Islam bisa dikatakan bentuk dari perkembangan dari ekologi Islam yang menjadikan lingkungan sebagai objek. Selain itu, ecotheologi Islam merupakan bentuk teologi konstruktif yang menjelaskan hubungan agama dan alam (interrelationships of religion and nature), khususnya lingkungan.

Dasar pemahaman dari ecotheologi Islam adalah kesadaran akan krisis lingkungan yang tak hanya semata-mata masalah yang bersifat sekuler, tetapi juga problem keagamaan yang sudah akut, karena berawal dari pemahaman agama yang keliru tentang kehidupan dan ekologi serta lingkungan. Melalui ecotheologi Islam, dilakukan tafsir ulang terhadap pemahaman-pemahaman keagamaan di tengah masyarakat, utamanya mengenai posisi manusia, dan relasinya serta tanggung jawabnya pada alam semesta.

Pemahaman konvensional terkait teologi yang umum berlaku ketika dikaitkan dengan ekologi dan lingkungan harus agak diubah paradigmanya, sebagai cara menghadirkan manusia aspek religiusitas pada alam. Dengan kata lain, harus dimaknai sebagai metode berpikir dan bertindak antara hubungan religius antara manusia, alam dan Tuhan sebagai Pencipta. Hubungan kosmologi ini ada tiga komponen yang tak terpisahkan yaitu Tuhan, manusia dan alam (semesta).

Baca Juga:  Gagasan Masyarakat Ideal Ibnu Bajjah dalam Tadbir al-Mutawahhid

Selain itu, narasi relasi manusia, alam dan Tuhan terkait dengan makna lingkungan, dalam Al-Qur’an misalnya di antaranya: al-‘alamin (seluruh spesies), al-samā’ (ruang dan waktu), al-ard (bumi) dan bī’ah (lingkungan). Demikian juga penamaan surat-surat dalam Al-Qur’an pun demikian, misalnya seperti nama-nama spesies tumbuhan, hewan, tanah, air, udara, dan sumber alam, pertambangan bisa katakan sebagai simbol yang mengarah pada petunjuk untuk ramah dan menjaga harmonisasi dengan lingkungan.

Misal kita dengan sangat mudah menjumpai nama hewan seperti, surat al-Baqarah (sapi betina), al-An’am (binatang), al-Fil (Gajah), al-‘Adiyat (kuda), al-Naml (semut), al-Nahl (lebah), al-‘Ankabut (laba-laba), dan nama-nama tumbuhan seperti al-Tīn (sebangsa tumbuh-tumbuhan), al-adīd (barang tambang), atau nama ekosistem lainnya seperti al-Dhāriyāt (angin), al-Najm (bintang), al-Fajr (fajar), al-Shams (matahari), al Layl (malam), danal-‘Ashr (waktu sore). Gitu

0 Shares:
You May Also Like