Menemukan Cinta Sejati di Konya (Bagian 1)

Setelah berpulang ibuku ke rahmatullah Agustus 2019. Kegalauan hati ini tidaklah terhindarkan. Betapa tidak, biasanya aku selalu mampir berbincang bincang sambil menyantap ikan asin balado, rendang kentang, dan sayur asem yang beliau masak. Maka sejak saat itu momen-momen indah tersebut tidak lagi menghiasi hidupku. Ya Allah kepada Engkaulah semua akan kembali.

Maka aku berdoa kepada Sang Pencipta, “Ya Allah berilah petunjuk agar aku dapat bertambah dekat kepada-Mu”. Kemudian teringat suatu ungkapan bahwa salah satu menghilangkan kegalauan hati adalah melakukan perjalanan (safar) ke tempat yang mempunyai nilai ilahiah. Agar dapat memberikan pengalaman batin ke dalam diri.

Setelah menimbang beberapa waktu, maka diputuskan untuk mengunjungi museum Haia Shopia (sekarang jadi masjid), Blue Mosque (Masjid Biru) dan makam Jalaludin Rumi. Ketiga tempat itu ada di Turki, sebuah negara yang memiliki dua bagian yaitu Asia dan Eropa. Sekitar pertengahan Desember 2019 maka aku berangkat ke sana, perjalanan ini dimulai dengan pesawat landing di Istanbul. Kemudian dilanjutkan dengan sight seeing (meliat-liat objek wisata) di kota Istanbul seperti sisa-sisa peninggalan bangunan,  masjid-masjid, benteng, dan alat-alat perang dari kesultanan Turki Ustmani.

Setiap masuk masjid di Turki, saya lakukan shalat tahiyatul masjid sebagai bentuk penghormatan atas rumah Allah Swt. Apalagi ketika berada dua mesjid besar yaitu mesjid Haia Shopia dan Masjid biru kebetulan letaknya memang satu kompleks, seolah-olah saya ikut dalam barisan tentara Islam yang selama 8 abad berpengaruh dalam peradaban umat dunia bahkan sampai benua Eropa, di Cordova.

Keesokan harinya, saya tiba kota Konya sekitar 700 km ke arah tenggara dari Istanbul setelah menempuh waktu kurang lebih 7 jam. Di sini lah, Jalaludin Rumi dimakamkan. Beliau serorang sufi berasal dari Persia yang merantau ke Konya. Karya Rumi berupa puisi dalam kitab Matsnawi, very famous (sangat terkenal) seantero dunia. Pernah saya ke Harvard di Boston, bahkan di toko buku kampusnya terdapat buku-buku Rumi yang banyak menjadi rujukan para akademisi. Begitu juga hari haul beliau juga diperingati di AS, Eropa, Indonesia, dan tempat-tempat lainnya. Memang Rumi seorang tokoh yang diakui dunia mewarnai dunia tasawuf sampai sekarang.

Baca Juga:  Ahlulkitab dalam Islam (3): Status di Hari Kemudian

Ketika masuk daerah makam, saya ambil wudhu dulu sebagai adab berziarah. Kemudian diantar masuk ke dalam daerah makam, yang layaknya sebuah museum. Pas di depan makam, saya pun berdoa: “Ya Allah menjelang usia saya 50 tahun, berilah cahaya-Mu yang hakiki sehingga kehidupan ini bisa lebih bermakna”. Kemudian saya juga berwasilah dengan  keberkahan, atas perjuangan dan maqam spiritual dari Rumi supaya Allah lebih cepat mengabulkan doa ini. Tanpa terasa meneteslah air mata membasahi pipiku, di mana bercampur perasaan hati antara takut dan harap serta merasakan adanya huduri (terkoneksi ) kepada Allah Swt. Ziarah  diakhiri dengan shalat sunnah taubat dua rakaat, yang saya panjangkan di sujud terakhirnya. Tidak kurang-kurang saya bertahmid waktu itu, atas limpahan karunia Allah kepada saya. Mana mungkin saya tidak syukur kepada-Nya, sementara Allahlah yang genggam kehidupan ini.

Sepulang dari Konya, maka saya mencari ustaz-ustaz yang mendalami puisi-puisi Rumi yang penuh dengan makna itu. Juga saya sedikit-sedikit belajar tasawuf oleh ustaz/guru yang memang mumpuni.

Sampai titik ini, saya mengatakan kepada diri saya bahwa telah menemukan cintaku di Konya….(bersambung)

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Malamati

Karena begitu susahnya menahan nafsu riya’/pamer, dalam sejarah tasawuf sampai-sampai lahir kelompok malamatiyah. Mereka menampilkan diri sebagai orang…