Haji adalah Arafah dan Arafah adalah Makrifat

Dr. Husain Heriyanto

Pengajar Filsafat Sains di Universitas Paramadina dan Pascasarjana Universitas Indonesia

Semua ulama menyatakan bahwa puncak haji adalah wukuf di padang Arafah.  Kanjeng Nabi Suci saw. bersabda, “Al-ḫajju ‘arafah (Haji adalah ‘Arafah)”.

Para fukaha pun sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah rukun haji utama yang tak tergantikan oleh apapun. Tanpa wukuf di Arafah, tidak ada ibadah haji dan dinyatakan batal.

Menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa wukuf di Arafah sedemikian penting dan merupakan inti ibadah haji sehingga Nabi saw. mengidentikkan, “Haji adalah Arafah”?

Bukankah wukuf di Arafah hanya berhenti dan diam sejenak sesuai dengan makna asal kata wukuf, yaitu waqafa (berhenti), dan tidak ada amal-amal yang diwajibkan kecuali disunnahkan untuk berdoa, berzikir dan membaca Alquran–sesuatu yang bisa kita lakukan di mana saja?  

Apa keistimewaan padang Arafah, sebuah padang tandus yang dikelilingi bukit-bukit cadas nan gersang sehingga jutaan jemaah haji harus berkumpul di situ pada 9 Dzulhijjah setelah waktu Zuhur hingga matahari terbenam?

Jika kita bandingkan dengan rukun haji lain atau sejumlah wajib haji, wukuf di Arafah secara sekilas tampak rukun paling simpel karena esensinya hanya diperintahkan berhenti dan diam di sana dalam kurun waktu tertentu.

Mengapa aktivitas yang tampak paling sederhana ini justru menjadi inti haji? Kenapa bukan thawaf atau sa’i misalnya yang jelas lebih aktif menuntut tenaga? Kenapa bukan melempar jumrah atau mabit di Mina atau berkurban hewan yang tampak lebih membutuhkan usaha dan harta?

Atau kenapa tidak disebutkan bahwa usaha jemaah haji bertahun-tahun dengan segala jerih payah secara mental, fisik dan finansial termasuk segenap persiapan manasik dan perjalanan jauh merupakan inti ibadah haji?

Tetapi, sebaliknya, mengapa wukuf di Arafah lah yang notabene cuma diam dan bermenung di padang seukuran 20 km persegi yang ditetapkan sebagai esensi ibadah haji?

Di sinilah Allah memberikan pelajaran bagi kita bahwa nilai sebuah ibadah terletak pada kualitas, bukan kuantitas. Kualitas ibadah mencakup niat, keikhlasan, kesadaran, pengetahuan dan tekad yang kesemuanya berkaitan dengan dunia makna (alam maknawi, alam rohani).

Baca Juga:  Create Your Own Religion (1)

Sebaliknya, kuantitas berhubungan dengan alam fisik yang tampak, material dan bisa diakumulasi/dihitung. Kualitas merujuk pada kehadiran jiwa sedangkan kuantitas merujuk pada aktivitas badan.

Ibadah esensinya adalah aktivitas jiwa, bukan badan. Badan hanya alat untuk mengekspresikan kesadaran jiwa karena kita tinggal di dunia lahir (materi). Andai kita hidup di dunia batin semata, kita tak membutuhkan badan untuk beribadah.

Sebetulnya prinsip ini (ibadah adalah soal kualitas dan kehadiran jiwa) merupakan sesuatu yang jamak dan masuk akal sekali karena memang tujuan semua ibadah adalah mengembangkan potensi spiritual kita, membersihkan hati, menyempurnakan jiwa yang kesemuanya syarat niscaya untuk taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah).

Kita tidak mungkin dekat dengan Allah, merasakan kehadiran Allah di mana pun kita berada jika jiwa kita terbelenggu oleh kebodohan, pandangan sempit, cinta dunia, hati kotor penuh kedengkian. Itu sebabnya Nabi saw. bersabda, “Innamal a’malu bi al-niyyati (Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat)”. Niat itu meliputi isi jiwa berupa tekad, keikhlasan, kesadaran, pengetahuan, dan visi.

Lalu, apa hikmah berdiam diri di Arafah?

Ada pesan-pesan simbolik yang sangat bermakna dan mestinya dipahami oleh jemaah haji. Kalau dinyatakan bahwa haji adalah wukuf di Arafah sementara esensi sebuah ibadah adalah maknanya, maka makna simbolik Arafah menjadi inti ibadah haji itu sendiri.

Dengan kata lain, jemaah yang tidak memahami makna wukuf di Arafah pada dasarnya belum menunaikan haji. Sungguh disayangkan bukan?

Boleh jadi karena gagal memahami makna wukuf di Arafah itulah mengapa kita menyaksikan sebagian besar orang yang pulang haji tidak ada perubahan berarti pada jiwa dan perilakunya.

Mereka masih saja melanjutkan kebiasaan buruk sebelumnya: hiruk pikuk dengan angan-angan dunia, jiwa yang tersandera oleh ilusi materialistik, hati yang dibalut kedengkian dan kecemasan, tebar hoaks dan fitnah, korup, menyembunyikan kebenaran, khianat, nifak, dst.

Andai mereka memahami sungguh-sungguh makna wukuf di Arafah–di samping juga pelbagai makna simbolik rukun dan wajib haji lain–dapat dipastikan terjadi perubahan revolusioner pada jiwa mereka.

Baca Juga:  Memperbanyak Berdoa/Zikir/Wirid/Hizb atau Amal Saleh? (2)

“Salat dua raka’at yang penuh makna disertai tafakur lebih bernilai daripada salat ribuan raka’at yang berlalu begitu saja sebagai rutinitas”, demikian bunyi sebuah hadis.

Kembali, apa hikmah wukuf di Arafah?

1.Wukuf merupakan sebuah terminal kehidupan rohani kita untuk mengingat dari mana kita berasal dan ke mana kita berjalan.

Imam Ali as berkata, “Diberkatilah orang yang menyadari dari mana ia berasal, sedang di mana ia berjalan, dan akan ke mana ia kembali”.

Tak kebetulan pula bahwa secara historis padang Arafah, tepatnya Jabal Rahmah, adalah tempat pertemuan Adam dan Hawa, bapak dan ibu kita semua.

Dengan menyusuri Arafah ini kita diingatkan asal usul keberadaan kita dan tujuan hadirnya kita di muka bumi ini.

2. Wukuf, sesuai dengan artinya, mengisyaratkan betapa pentingnya “berhenti dan diam” untuk perkembangan jiwa dan spiritualitas kita.

Berhenti dari apa? Dari rutinitas, dari angan-angan yang menyebabkan kita kehilangan kemampuan mensyukuri hidup, menyadari rahmat Allah yang tak terbatas.

Diam untuk apa?

Untuk berpikir, tafakur, berzikir dengan kalbu. Orang yang tak menikmati tafakur dan zikir kalbu tak akan pernah menikmati ibadah. Dan orang yang tak pernah menikmati ibadah tidak akan merasakan nikmatnya kemerdekaan jiwa (karena baginya ibadah hanya beban yang terpaksa dilakukan semata untuk meraih upah pahala atau menghindari hukuman neraka–betapa menderitanya jiwa orang seperti ini! 

Inilah pesan wukuf di Arafah: “Kita harus meraih kemerdekaan jiwa melalui tafakur dan pencerahan diri”. Kalau jiwa sudah merdeka secara batin, kebahagiaan dengan sendirinya hadir mengisi relung-relung kehidupan kita.

3. Wukuf di Arafah merupakan rangkaian awal–sesudah ihram sebagai simbol memasuki haji–pelaksanaan haji sebelum berbagai amal rukun dan wajib haji. Ini mengisyaratkan bahwa semua amal ibadah termasuk amal-amal sosial harus dimulai dengan dan disertai oleh kesadaran, visi, tekad dan kesucian niat.

Persis dengan prinsip, “Tidak ada haji tanpa wukuf Arafah”, maka “tidak ada ibadah apapun tanpa kesadaran”.

Baca Juga:  Jejak Sufi Perempuan (2): Fatimah al-Naisaburiyyah, Guru Dzun Nun al-Misri

4. Kata Arafah berasal dari kata ‘arafa (mengenal), yang juga akar kata dari ma’rifah (mengenal Allah).  Ini berarti wukuf di Arafah merupakan petunjuk kuat bahwa tujuan pokok ibadah adalah untuk mengenal Allah.

Apa yang dimaksud “mengenal Allah”? Apakah mengetahui nama-nama-Nya, hafal 99 al-Asma’ al-Husna atau hafal 20 sifat-Nya merupakan makrifat? “Tidak”. Kalau sekedar hafal, burung beo atau kaset tentu juga bisa bahkan mungkin lebih mahir.

Yang dimaksudkan mengenal Allah adalah merasakan kehadiran wujud-Nya dengan segala sifat kesempurnaan-Nya yang membuat jiwa kita selalu dalam keadaan sadar bahwa kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali (inna lillahi wa inna ilayhi raji’un).

Mengenal Allah artinya hati kita bergetar dan tercekam oleh keindahan dan keagungan sifat-sifat-Nya. Mengenal Allah mengisi jiwa kita untuk merindukan dan mencintai-Nya sedemikian rupa sehingga tidak ada tempat bagi yang lain dalam hati kita kecuali wajah-Nya yang menyinari fuad, kalbu dan keseluruhan eksistensi kita.  

5. Seperti pada poin (3), wukuf di Arafah merupakan awal rangkaian pelaksanaan haji. Ini menunjukkan bahwa makrifat (mengenal Allah) harus menjadi dasar dan basis semua ibadah dan tindakan kita.

Di satu sisi, mengenal Allah adalah tujuan pokok ibadah, namun di lain sisi mengenal Allah adalah dasar yang melandasi amal ibadah. Ini tidaklah bertentangan tetapi saling memperjelas. Makrifat sebagai landasan ibadah dilihat dari prinsip umum bahwa ibadah mestinya ditunaikan berdasarkan pengetahuan dan kesadaran. Sedangkan makrifat sebagai tujuan ibadah dilihat dari prinsip khusus bahwa ibadah (dan amal-amal yang lain) bertujuan untuk mendekatkan diri dan mengenal Allah.

Jadi, Allah adalah awal dan akhir kehidupan kita. Dia adalah alfa dan omega perjalanan kehidupan kita. Dialah Awal dan Akhir segala sesuatu; Dia Awal segala yang awal (Awwalal awwalin) dan Akhir segala yang akhir (Akhiral akhirin).

Selamat hari Arafah, selamat merevitalisasi iman dan safar rohani menuju Allah swt

0 Shares:
You May Also Like