Muhammad-kan Hamba ya Rabb

Oleh: Subhan Saleh

Staf Pengajar di PP Nuhiyah Pambusuang Sulawesi Barat

Berkata Abbas Bin Abdul Muthalib : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah”, maka Nabi saw. Menjawab “Silahkan, Allah swt. akan membuat bibirmu terjaga”.

Kelahiran manusia suci Nabi Muhammad saw. sungguh menjadi hari terindah bagi umat manusia. Di tengah-tengah umat yang dirundung derita kegelapan dia hadir melanjutkan misi suci dari Tuhan, menebar cahaya Ilahi, menancapkan kebenaran, menegakkan keadilan, menebar rahmat (cinta kasih) ke seantero jagad raya. Dia membawa misi keadaban dengan akhlak yang agung. “Sesungguhya aku diutus untuk meyempurnakan akhlak mulia” (HR. Imam Bukhari)

Nabi Muhammad saw. adalah figur teladan paripurna, sosok yang menjadi milik dan teladan bukan hanya bagi kaum Muslimin akan tetapi juga bagi seluruh alam, dia menjadi rujukan utama dan milik seluruh umat manusia. Seperti kata Mahatma Ghandi—seorang tokoh pejuang kemanusian beragama Hindu yang berkebangsaan India—berkata, “Muhammad adalah harta karun kebijaksanaan, bukan hanya milik umat Islam tapi milik seluruh umat manusia”.

Keagungan akhlak Nabi Muhammad saw. diriwayatkan dalam banyak kisah, kepribadian, akhlak yang dinampakkan menjadi tujuan Tuhan dalam kerasulannya sebagai teladan dan role model bagi umat manusia. Karakternya yang agung menajadi salah satu faktor penentu keberhasilannya membangun sebuah peradaban yang berkemanusiaan dan keberhasilannya mengembang visi Islam rahmatan lil ‘alamin benar-benar terasa, sehingga umatnya terus mengenangnya dalam berbagai peringatan sebagai bentuk ekspresi kerinduan dan kecintaan kepadanya.

Umat Nabi Muhammad saw. sejak dahulu sampai sekarang setiap tahun mereka memperingati, mengenang hari kelahiran kekasihnya di tanggal 12 Rabiul Awal dengan berbagai ekspresi kerinduan, kecintaan, bentuk atau ungkapan syukur, kebahagian atas nikmat terbesar untuk alam semesta yakni diutusnya Nabi Muhammad saw. Pujian atas keagungan Nabi dinyanyikan lewat lantunan shalawat, kepribadiannya dikisahkan dengan ragam cara melalui pembacaan barzanji, deba’i, hikmah maulid, bahkan di seminar-seminar. Salah satu tujuannya untuk terus memperkenalkan Muhammad saw. pada setiap generasi.

Baca Juga:  Sabar: Syarat Meraih Cinta-Nya

Di Indonesia, pada beberapa wilayah kelahiran manusia agung bernama Muhammad saw. diperingati dalam rentang waktu yang panjang, selama tiga bulan, sepanjang waktu itu kita akan mendengar lantunan shalawat yang setiap saat dikumandangkan di masjid-masjid atau sudut-sudut kota, di kampung-kampung dari rumah ke rumah. Bahkan dalam tradisi Islam, secara umum lantunan shalawat, pujian ke baginda Nabi saw. menjadi satu hal yang tak terpisahkan pada setiap momen hajatan penting dalam kehidupan masyarakat.

Akan tetapi, dewasa ini cukup disayangkan ketika setiap momen peringatan yang kita dapati, tidak sedikit umat yang terjebak pada formalitas ritual belaka, ungkapan kerinduan terkesan hanya ritual semata yang dilisankan, kerinduan kita tak berwujud dalam prilaku moral sosial. Kita memuji Muhammad saw. sebagai sosok yang berakhlak agung, pembela kaum mustad’afin, penyantun anak yatim. Tetapi, kita menampilkan diri sebagai sosok yang sebaliknya, abai terhadap kesengsaraan orang-orang miskin di sekitar, bahkan menjadi penindas terhadap mereka yang lemah.

Muhammad saw. seringkali kita puji dengan lantunan shalawat sebagai sosok yang bertutur kata lembut, sopan dan penuh kebijaksanaan akan tetapi pada wujud prilaku kita lebih sering tampil dengan wajah yang sangar, mulut yang penuh fitnah, caci maki dan hinaan terhadap sesama manusia. Padahal Nabi saw. diceritakan pada saat Abbas Bin Abdulmutthalib meminta izin pada Beliau saw. untuk memujinya, Abbas berkata: “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah”, maka Nabi saw. Menjawab “Silahkan, Allah swt akan membuat bibirmu terjaga”.

Pesan Nabi saw. ini sangat tegas memberitakan pada umatnya bahwa hakikat dari pujian terhadap dirinya akan melahirkan moral yang baik, ketika shalawat senangtiasa kita lisankan, maka seyogyanya shalawat mewujud dalam akhlakul karimah, ketika momen peringatan itu hadir maka hendaknyalah kita melisankan shalawat dan meng-akhlak-an shalawat dengan perilaku terpuji dan menjadi penebar rahmat dan kedamaian. Shalawat semestinya membekas dalam prilaku kita.

Baca Juga:  Thariqah Ajaran Agama yang Paling Subtil Bagi Sayyed Hossein Nasr

Pada hadis yang lain disebutkan, Nabi saw. bersabda kurang lebih artinya, bahwa, “Barangsiapa yang bershalawat padaku, maka aku wajibkan diriku hadir pada tempat itu”.

Sebagaimana maklum bahwa kehadiran Muhammad saw. pada setiap waktu dan tempat akan selalu menjadi rahmat dan pelita bagi terwujudnya kedamaian, maka seharusnyalah sebagai umat Muhammad saw. untuk tidak menodai kehadirannya dengan berakhlak buruk, sebab hadis ini pada prisipnya Nabi saw. mengajak umatnya untuk tidak sekedar bershalawat lewat lantunan di lisan akan tetapi bershalawat dengan menghadirkannya dalam ruang akhlak dan prilaku yang terpuji.

Oleh karna itu, sesungguhnya saat kita bershalawat lalu menjadikan diri sebagai sarana menyebarnya rakhmat kasih sayang dan akhlakul karimah, menjadikan diri sebagai pengejewantahan akhlak muhammad saw., menjadikan diri sebagai juru damai bukan pemcah belah umat, di situlah sebenarnya hakikat kehadiran Muhammad saw.

Seperti kata Emha Ainun Najib, “Muhammad-kan hamba ya Rabb”. Doa ini bagi penulis merupakan bentuk penegasan, harapan agar diri Muhammad saw. dalam ruang akhlak senangtiasa hadir dan mengejewantah dalam prilaku kita. Saat kita menegaskan diri sebagai umat Muhammad saw. seharusnya setiap tutur kata akan menjadi indah, tak ada caci maki, hujatan dan laknat seperti yang ditegaskan Nabi saw., “Aku tidak diutus untuk mengutuk orang, melainkan sebagai rahmat”.

Jadilah seperti Muhammad saw., yang berat melihat penderitaan umatnya, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Taubah [9]: 128)

Janganlah menjadi manusia yang lisannya menyebut Muhammad saw., hatinya kerasukan Abu Jahal.

0 Shares:
You May Also Like