Memaknai Adam dan Surga dalam Novel Filsafat Dunia Cecilia

Oleh : Reyhandito Arifin

Mahasiswa Ilmu Politik UI

Dunia Cecilia merupakan sebuah novel filsafat, diterbitkan oleh Mizan dan ditulis oleh Jostein Gaarder (penulis novel Dunia Sophie yang melegenda itu). Dunia Cecilia merupakan kisah seorang anak kecil bernama Cecilia, yang bertemu dengan sesosok malaikat bernama Ariel. Kisah yang disajikan beraroma filsafat-spiritual dalam bentuk perbincangan antara Cecilia dan Ariel yang khas akan keluguan, dan keingintahuan sebagai seorang anak kecil, sehingga tentu menjadi daya tarik sendiri saat membacanya. Di sini, saya akan memadukan pesan filsafat yang ingin disampaikan penulis novel tersebut dengan spiritualitas yang digagas oleh para sufi terutama masalah kehidupan surgawi.

 Dalam bab dua, terdapat perbincangan antara Cecilia dengan malaikat Ariel—di sini Ariel digambarkan sebagai malaikat yang terlihat seperti anak kecil. Mereka mulai berdiskusi mengenai pertanyaan klasik yaitu lebih dulu telur atau ayam? Ariel berkata, “Pasti telur diciptakan lebih dulu dari pada ayam”. Alasannya, Tuhan menciptakan segala sesuatu dari muda menjadi tua, sebagaimana tujuan dari penciptaan yaitu makhluk berproses dari Tuhan menuju dan kembali kepada Tuhan. Dalam bahasa Alquran disebutkan, “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun: segala sesuatu berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya”.

Mendengar jawaban tersebut, Cecilia membantahnya dengan argumen, “Jika memang Tuhan menciptakan segala sesuatu dari muda menjadi tua lalu, bagaimana dengan penciptaan Adam dan Hawa yang keduanya diciptakan langsung sebagai manusia dewasa?” Ariel berkata, “Bahwa itu merupakan doktrin yang keliru karena menurutnya, Adam dan Hawa diciptakan awalnya sebagai anak-anak yang bermain di taman surga, mereka lari ke sana ke mari tanpa ada rasa resah, mereka juga memiliki rasa keingin tahuan yang amat tinggi, bak seperti anak-anak pada umumnya. Rasa keingintahuan mereka, yang akhirnya membawa mereka memakan buah khuldi yang merupakan lambang dari pohon pengetahuan”.

Baca Juga:  Berislam dengan Ilmu

Kaum sufi ketika menafsirkan Alquran, banyak sekali meminjam simbol-simbol. Bisa kita tafsirkan bahwa kisah Adam dan Hawa yang memakan buah khuldi sebagai simbol dari proses internalisasi pengetahuan kepada anak-anak, yang tadinya suci dan polos menjadi memiliki pengetahuan terhadap kehidupan dunia.

Kemudian, kisah turunnya Adam dan Hawa dari surga ke bumi yang selama ini kita anggap sebagai hukuman, sebenarnya itu adalah simbol dari akibat mereka memiliki pengetahuan. Sebagai contoh, ketika kita memiliki pengetahuan dari ibu yakni tentang larangan berlari, karena nanti akan jatuh merupakan bentuk dari dualitas itu sendiri. Jika kita sebagai anak-anak yang tidak memiliki pengetahuan apapun, maka akan berlaku sesuka hatinya, dan itu merupakan simbol dari kehidupan surgawi. Sementara kehidupan yang penuh ketakutan, kehati-hatian serta penuh pertimbangan—sebagaimana orang dewasa yang telah memiliki pengetahuan—merupakan perlambang dari kehidupan duniawi.

Kita kadang berkata, “Lebih baik tidak tahu daripada tahu, karena terkadang dengan ketidak-tahuan, kita menjadi lebih tenang”. Inilah maksud dari kehidupan surgawi, Surga tidak melulu soal tempat yang indah, tapi surga adalah kondisi di mana kita merasa ceria dan jauh dari kata dengki terhadap sesama. Kita tidak perlu mencari surga yang di luar diri kita, karena yang harus kita lakukan sekarang adalah memasukkan surga ke hati kita, yaitu dengan menghilangkan pandangan buruk kepada orang dan perasaan dengki lainnya. Dengan itulah kita telah berada di surga saat ini juga, bukan surga yang di akhirat nanti.

Mungkin ini, ini juga yang menjadi jawaban atas hadits Nabi. Saat Nabi Muhammad saw. bercanda kepada seorang nenek, bahwa di surga tidak ada orang tua. Mendengar penjelasan tersebut membuat sang nenek itu bersedih, karena dalam pemahamannya ia tidak bisa masuk surga. Lalu sang Rasul akhirnya menjelaskan bahwa, di surga nanti nenek akan menjadi “muda”. Bagi kaum sufi, memandang hadis di atas tidak secara ‘leterlek’ bahwa di surga isinya adalah orang berfisik muda, tetapi di surga itu hanya terdapat sifat “kanak-kanak” yaitu kondisi hati yang riang-gembira.

Baca Juga:  Menyoal Tren Gaya Hidup Masa Kini: Minimalist Lifestyle ala Jepang atau Zuhud ala Sufi?

Kita lanjutkan, Cecilia berkata, “Kalau begitu aku tidak mau jadi tua”, lalu dijawab oleh Ariel, “Nenekmu pun walau sudah tua, masih bisa membuat wajah badut untuk sekedar membuatmu tertawa, ini berarti secara fisik kita memang akan tua, namun jangan sampai kita terlepas hubungan dengan sifat kekanak-kanakan—sifat awal dan akhir manusia yaitu sifat surgawi”.

Tuhan menciptakan milyaran mata di kepala, manusia ada di daratan, ikan di lautan dan burung di udara, tentu itu semua untuk berbagi pandangan kepada ciptaan-Nya, agar mengagumi Keindahan Tuhan Yang Maha Indah, yang di-tajalli-kan oleh-Nya kepada indahnya alam semesta ini.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Jalan Tasawuf

Semakin hari kita semakin dihadapkan pada tantangan hidup yang semakin kompleks. Kita tidak hanya dituntut memenuhi kesiapan berkompetisi…