Memahami Agama dan Sains Perspektif Ian G. Barbour

Agama dan sains merupakan dua hal yang lekat dalam kehidupan manusia. Untuk mengembangkan kehidupan secara rasional, manusia membutuhkan akal dan pikiran yang terangkum dalam sains. Sains menjadi penolong yang mempermudah kehidupan manusia, sehingga sains berada dalam satu sisi penting bagian rasio kehidupan manusia.

Sedangkan agama berada dalam sisi lain yang berjauhan dengan sains. Agama berada pada posisi etika yang menentukan pantas dan tidaknya sesuatu dalam kehidupan manusia. Juga menjadi kontrol yang menggarisi pergerakan rasionalitas kehidupan manusia.

Agama adalah pandangan tertentu yang membahas tentang keimanan, aturan yang harus diikuti penganutnya dan menggambarkan kehidupan setelah kematian. Sedangkan sains adalah pembahasan yang berkaitan dengan data empiris dan menguji teori-teori yang melahirkan temuan-temuan ilmiah.

Dengan sains manusia dapat memprediksi sesuatu yang akan terjadi dengan melakukan percobaan berulang kali. Sains adalah ilmu yang berbicara tentang jalan mencari kebenaran atau realitas objektif pada alam, dan manusia yang berperanan sampai saat ini di dunia modern yang diakui menghasilkan banyak teknologi, membuat kehidupan manusia lebih sehat, nyaman, dan aman.

Hingga saat ini, masih terdapat anggapan kuat di masyarakat bahwa agama dan sains adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan baik dari segi objek formal, material, metode penelitian, kriteria kebenaran, dan lainnya. Dapat dikatakan bahwasanya ilmu tidak memperdulikan agama dan agama pun tidak memperdulikan ilmu. Atau agama dan sains berada di posisi yang berbeda.
Ketika sains hanya menerima data yang valid dan nyata, sebaliknya agama menerima sesuatu yang tidak tampak dengan landasan keimanan. Perbedaan mendasar ini menjadikan keduanya seakan tidak dapat disandingkan meskipun terdapat kesamaan dalam beberapa aspek.

Tetapi berlainan pendapat dengan hal di atas, beberapa filsuf ilmu pengetahuan seperti Thomas S. Kuhn dan Michael Polanyi menyatakan bahwa sains muncul dari paradigma yang bersumber dari tradisi dan budaya. Pengetahuan yang bersifat pribadi dan subyektif tidak dapat dijadikan landasan dalam sains.

Tetapi kebanyakan para ilmuwan hanya mengikuti intuisi dari keindahan simetris, intelektual dan kesepakatan empiris. Sebenarnya perlu diadakan ilmu yang memiliki komitmen moral yang sama seperti yang ada pada agama.

Bagi Barbour sendiri, tantangan yang dihadapi agama adalah keberhasilan yang diraih oleh sains. Dengan keberhasilan ini seakan sains hanyalah satu-satunya jalan untuk menuju pengetahuan. Sains dipandang sebagai kajian yang objektif, universal, berdasar rasional dan dengan pengamatan kuat yang menghasilkan bukti yang kuat pula.

Sedangkan agama dipandangan sebagai pandangan yang melulu subyektif, parokial, emosional, dan berdasarkan tradisi atau otoritas yang bertentangan satu sama lain. Tetapi kemudian ia membuktikan bahwa praduga tersebut tidak sepenuhnya benar.

Bahwa terdapat kesamaan metode antara sains dan agama terdapat dalam tiga hal, yaitu: dalam hubungan pengalaman dan interpretasi; Peran komunitas agama dan paradigma; dan dalam penggunaan analogi dan model.

Dalam hubungan pengalaman keagamaan dan interpretasi teologis, dogma agama adalah usaha merumuskan kebenaran yang ada dalam pengalaman keagamaan manusia. Sebagaimana yang ada dalam dogma fisika sebagai upaya merumuskan keberhasilan dalam presepsi diri manusia.

Yang terakhir mengenai hubungan dalam penggunaan analogi dan model dalam bahasa keagamaan, Barbour berpendapat bahwa, jika dalam filsafat dan antropologi, interpretasi terhadap suatu pengalaman oleh imajinasi manusia menjadi bahan diskusi, maka dalam agama pun terdapat diskusi tentang bentuk-bentuk simbolisme agama dan ritual yang merupakan tindakan simbolis (Indal Abror, Ian G. Barbour tentang Persamaan Metode Agama dan Sains. 2008)

Sebagai ilmuwan dan juga agamawan, Barbour menawarkan empat model mengenai hubungan antara agama dan sains, yaitu: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Tipologi konflik ini melibatkan materialisme ilmiah dan literalisme biblical. Pada abad ke-19, pandangan konflik ini mengemuka melalui dua buku yang berpengaruh, yaitu History of The Conflic between Religion and Science karya J.W. Draper dan A History of The Warfare of Science and Theology in Cristendom karya A.D. White.

Kemudian untuk mengatasi hal tersebut Barbour memisahkan dua bidang itu dalam dua kawasan yang berbeda. Keduanya dapat dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domain yang dirujuk dan metode yang digunakan. Barbour menggunakan analisisnya dengan metode filsafat eksistensialisme dan neo-ortodoks serta filsafat analitik. Ini merupakan jenis-jenis pembedaan yang tegas, tetapi secara keseluruhan mereka membangun independensi dan otonomi dalam kedua bidang ini.

Jika ada wilayah hukum, sains dan agama pastilah cenderung mementingkan dirinya sendiri dan tidak mencampuri yang lain. Setiap mode penelitian bersifat seleksi dan mempunyai keterbatasannya sendiri. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang tidak perlu, tetapi juga keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap area kehidupan dan pemikiran ini.

Bagi Barbour sendiri dalam usahanya merumuskan etika lingkungan yang relevan dengan dunia kontemporer, theology of nature perlu ditarik ke dalam sains dan agama. Hanya dengan sains lah data dapat diperoleh untuk mengevaluasi setiap perkembangan zaman yang terus berkembang. Dan agama juga secara signifikan berpengaruh terhadap alam dan motivasi tindakan manusia.

Dari beberapa tipologi di atas Barbour sendiri lebih memilih tipologi integrasi. Pada natural theology, teologi akan mencari dukungan terhadap temuan-temuan ilmiah, sedangkan dalam theology of nature, pandangan teologis tentang alam justru harus direkonstruksi dan disesuaikan dengan temuan-temuan sains terbaru. Sebagaimana alam dipahami oleh sains, maka bahwa kehendak Tuhan juga selalu berkaitan dengan yang dipahami oleh komunitas kaum beriman, dan ia lebih cenderung pada corak yang ini.

Pada pendekatan theology of nature, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, teori ilmiah digunakan bukan untuk mendukung kebenaran agama atau kitab suci. Kebenaran keduanya harus diasumsikan terlebih dahulu kemudian ditafsirkan. Dan untuk mendapatkan tafsiran yang benar, maka beberapa temuan ilmiah diikuatkan sebagai pertimbangan. Jadi, teori dan doktrin agama maupun sains diposisikan sebagai materi dasar yang kemudian diproses dengan penafsiran yang kemudian dikembangkan menjadi metafisika atau pandangan yang berhubungan satu sama lain.

Baca Juga:  Betapa Istimewanya Ketika Hidup Damai dalam Keberagaman

0 Shares:
You May Also Like