ALHAMDULILLAH, YA ALLAH, ANAK SAYA BUKAN USTAD!

Saya bersyukur, Allah telah mengatur jalan saya sedemikian sehingga tak ada satu pun anak saya yang menjadi agamawan. Kenapa saya bersyukur, sedang banyak orang tua ingin anaknya menjadi agamawan?

Saya tentu ingin anak saya menjadi pemeluk agama yang taat. Bukan hanya dalam menjalankan syariah, melainkan utamanya dalam kepemilikan akhlak mulia, dan dalam mementingkan amal saleh kepada sesama—sebagai kontribusi untuk menjadikan kehidupan bersama menjadi lebih baik. Dengan sebaik-baiknya. Bahkan, saya berani mengatakan, bahwa hal-hal itulah yang saya anggap sebagai paling penting dalam kehidupan anak-anak saya.

Saya bahkan sempat menginginkan agar, sedikitnya ada satu anak saya yang menjadi ulama atau pemikir/aktivis agama. Alhamdulillah anak-anak saya terdidik dengan baik, sekarang juga bekerja mencari nafkah bagi keluarganya dengan baik. Tapi, tak ada satu pun yang menjadi agamawan atau pemikir/aktivis agama. Ya, saya bersyukur kepada Allah, yang telah membelokkan cita-cita saya untuk memiliki anak yang berkubang dalam aktivitas keagamaan itu. Kenapa?

Percaturan keagamaan dan wacananya di zaman ini, menurut saya, sudah kacau balau. Orang tak punya ilmu bekoar-koar. Tapi, bukan di sini masalahnya. Kalau dulu koar-koar orang berilmu tidak ada yang mendengar. Tepatnya, tak ada yang menyebarkan koar-koarnya itu. Kini, dengan adanya sosmed, yang masuk—baca, merangsek—sampai ke sudut-sudut paling pribadi kehidupan kita, koar-koar orang yang tak punya ilmu tersebar ke mana-kemana.

Tapi, bukan ini bagian terburuknya. Karena sebagian besar audiensnya adalah orang-orang awam—dan ini adalah hal normal dalam ilmu apa pun juga—koar-koar orang tak berilmu ini dipercaya banyak orang. Apalagi kalau dibumbui sensasi. Terus dikemas dengan clickbait. Dibantu algoritma, dan disokong para buzzer. Akibatnya, ilmu yang serius tak dipercaya—sedikitnya, tak dipedulikan— sementara info-info tanpa ilmu, dipercaya. Maka, kebenaran makin kabur, dan kerancuan makin meraja-lela. Yang lebih menyedihkan adalah, beredarnya info-info tanpa ilmu ini seringkali berkawan dengan sikap sok pinter dan pinter-pinteran. Ditambah dengan sikap merendahkan kelompok lain yang berbeda pendapat. Bukan, seperti seharusnya, seluruh pertukaran informasi dan pendapat didorong oleh keinginan mencari kebenaran. Bahkan pun, kalau nanti ditemukan bahwa kebenaran itu ada pada orang atau kelompok lain, bukan pada kita atau kelompok kita.

Baca Juga:  ANAK-ANAKMU BUKANLAH ANAK-ANAKMU. MEREKA BERASAL DARIMU, TAPI MEREKA MILIK MASA MEREKA

Puncak keburukan ini adalah, di zaman politik identitas ini, manusia menjadi seperti kerumunan hewan. Berkomplot untuk menghabisi komplotan hewan lain. Dalam hal hewan, hal ini masih bisa dipahami karena motivasinya survival. Tapi, dalam hal manusia, keadaannya lebih buruk lagi. Motivasinya adalah kebencian. Benci pada orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat.

Sebetulnya ini bukan hanya fenomena di bidang wacana keagamaan saja. Melainkan dalam bidang apa pun, di era media sosial dan politik identitas ini. Tapi, agama punya masalah lain—yang, sebetulnya, di sisi lain bisa jadi kelebihan. Yakni, loyalitas dan “fanatisme”, serta keterlibatan emosi. Dalam hal agama, kecenderungan ini bisa menjadi ekstrem. Maklum, ini soal yang terkait dengan Tuhan. Yang Maha Mutlak. Sehingga, kalau sampai terjadi perbedaan pendapat dalam hal agama, perbedaan antara semangat membela kebenaran serta hawa nafsu amarah dan kebanggaan diri bisa menjadi hampir-hampir tak terkendali. Lebih ketimbang apa yang terjadi  di kelompok-kelompok dan bidang-bidang manusia lain. Belum lagi kalau kita masukkan masalah iming-iming harta yang membayangi kehidupan menjadi ustad, di masa ketika semua orang berlomba-lomba mencari ustad. Ketika manusia modern makin galau dan berlomba mencari pegangan. Dan, apalagi penyesatan yang lebih besar daripada hawa nafsu mengejar harta, di zaman serba benda dan syahwat pamer ini?

Jadi kalau tidak hati-hati, sebaliknya dari memperbaiki keadaan, keberagamaan model begini hanya akan menjadi sumber fitnah (kekacauan) di tengah manusia. Demikianlah kenyataannya sekarang. Ini sebabnya saya—sekarang—bersyukur, anak-anak saya tidak menjadi agamawan atau pemikir/aktivis agama. Bukan saja saya takut mereka terjerumus dalam fitnah, tapi saya khawatir mereka juga bakal menjadi korban kebencian antar kelompok agama.

Baca Juga:  Memperkenalkan Secara Ringkas Makna Haji/Umrah untuk Orang Beriman Masa Kini

Bagi saya, lebih baik mereka menjadi muslim yang berakhlak baik, punya kedekatan pada Tuhan, lalu berupaya memberikan kontribusi riil bagi sesamanya. Khususnya orang-orang yang paling membutuhkan uluran bantuan dari mereka.

Tapi kita kan butuh ulama? Yang berilmu, berakhlak baik, dan secara spiritual dekat dengan Allah Swt? Benar. Tapi, di masa ini, risikonya terlalu besar. Biarlah hal ini ditanggung oleh orang-orang lain yang lebih siap. Orang-orang besar pilihan Allah. Yang memiliki semua kapasitas untuk menjadi ulama pemandu umat. Yang hatinya bersih dan dipenuhi cinta, yang sikapnya penuh kerendahan hati, akhlaknya mulia, dan ilmunya menjulang tinggi. Dan, di atas semuanya, siap mengorbankan kebahagiaan hidupnya di dunia, demi pengabdiannya kepada Allah Swt. Orang seperti ini pasti hanyalah kaum khawash, yang sedikit jumlahnya di dalam pergaulan manusia. Bukan saya, dan anak-anak saya.

Sementara anak-anak saya, biarlah mereka tetap hidup simpel dalam upaya untuk menjadi orang baik yang biasa-biasa saja. Apalagi saat ini, tampaknya telah terjadi “inflasi” ulama—baca ustad—yang sebenarnya amat jauh dari bisa memenuhi kualifikasi sebagai ulama. Semoga Allah memberi petunjuk kepada saya dan kepada Anda semua. Amin

Previous Article

Amal Kecil, Penerimaan Besar: Pelajaran dari Imam al-Ghazali

Next Article

Waktu itu Mulur-Mungkret: Kiat-kiat Menjadikan Waktu Lebih Berkah dan Menikmati Hidup Lebih Baik (Bagian 1)

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨