Inilah Cita-Cita Peradaban Islam!

Dari mana mulanya muncul rasa peduli terhadap peradaban Islam? Tidak selalu dari anggapan bahwa umat ini adalah umat pilihan Tuhan. Tidak harus dari anggapan bahwa kita adalah satu-satunya golongan yang selamat, sementara dunia dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan jahat yang berusaha menghabisi kerajaan Tuhan. Meski semua anggapan ini Anda ambil dari makna lahiriah ayat-ayat suci, tak berarti bahwa anggapan ini benar untuk menjadi alasan kepedulian Anda.

Rasa peduli ini juga tidak mesti berasal dari nostalgia ahistoris tentang kejayaan masa lalu umat Islam. Kaum fundamentalis akan mengacu pada Ibnu Sina sebagai bukti kehebatan masa lalu Islam, seraya mengutuk Abdussalam (Muslim Ahmadiyah asal Pakistan peraih nobel fisika).

Seharusnya mereka konsisten untuk juga mengutuk Ibnu Sina. Konsisten seperti Sayyid Qutb yang mencela semua filsuf Muslim sebagai batu sandungan dalam sejarah Islam dengan tuduhan bahwa mereka sama sekali tidak Islami. Bagi Qutb, hanya dirinya yang Islami.

Peradaban Islam dan Universalitasnya

Muslim adalah manusia dengan hati nurani, akal sehat, dan niat yang baik. Keinginannya untuk menciptakan peradaban Islam adalah—secara alamiah—kelanjutan dari keinginannya untuk hidup dalam harmonisme universal, kedamaian batiniah dan lahiriah, serta kebebasan spiritual dan keadilan sosial.

Dalam hal ini, Islam adalah kemanusiaan dan kemajuan itu sendiri. Peradaban Islam adalah peradaban manusiawi dan maju bagi seluruh umat manusia, apa pun agamanya, apa pun kebangsaannya.

Seharusnya cita-cita peradaban Islam ini menjadi perhatian dan kepedulian setiap anak yang terlahir dari keluarga Muslim. Seharusnya, cita-cita peradaban Islam berada dalam garis progresif dan optimis ke depan, dan bukan cita-cita menegakkan masa silam.

Tak terhitung jumlah buku yang berbicara soal nostalgia dan apologia masa silam ini. Mereka memenuhi halaman dan jilidnya dengan keindahan masa lalu, lalu ketika ditanya apa yang harus dilakukan saat ini—jawabannya adalah mengembalikan masa lalu itu.

Tak ada metodologi yang jelas, terukur, dan mengakar kuat pada metode ilmiah untuk mencapai cita-cita apologia tersebut. Pada akhirnya, yang ada adalah cara-cara propaganda yang semu, dan mudah untuk dimanipulasi.

Baca Juga:  Menjemput Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Filsafat Stoa

Cara tersebut adalah dengan menciptakan framing konsumeristik bahwa menjadi Islami adalah dengan memakai (baca: membeli) produk-produk pabrikan dengan klaim Islam, membuat mini market Islam, memakai (baca: membeli) pakaian syar’i, mengikuti (baca: membayar) ulama-ulama Sunnah, dan menjadi Muslim sejati (dengan kode-kode halal-haram dalam berpakaian, berpenampilan, dan berekonomi).

Selama ini kita telah membiarkan anak-anak kita berimajinasi tentang sebuah negeri wonderland yang terletak di dunia Arab dan di masa yang sangat jauh di belakang. Anak-anak itu pun tumbuh dewasa dengan anggapan di kepalanya bahwa usaha-usaha modern tak sejalan dengan ajaran Islam di masa lampau.

Usaha modern lewat institusi-institusi modern (seperti keluarga kecil-monogami, sekolah, universitas, pasar, bank, industri, dan negara-bangsa) dianggap tidak akan berujung pada kedamaian dan cita-cita Islam. Anda tumbuh dengan kebencian pada modernitas, dan harapan pada kembalinya masa lalu, sembari menikmati semua produk modernitas yang memudahkan hidup Anda.

Cita-cita dan Cara Kerja Islam

Cita-cita Islam adalah kedamaian universal. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara Islam dan kemanusiaan. Cara kerja Islam adalah kerja sama dan kebersamaan. Muhammad Saw.—sebagai pendiri ide dan gerakan kesalehan Islam—meyakini dua hal di atas. “Udkhulu fi al-silmi kaffatan” adalah kata-kata suci yang menjadi simbol dari makna cita-cita kedamaian universal. Ia bukan perintah untuk menjadikan semua orang di muka bumi ini menjadi Muslim nominal.

Simbol dan preskripsi “udkhulu fi al-silmi kaffatan” ini semakin kuat dengan gambaran reflektif Al-Qur’an tentang kualitas kepribadian dan pemikiran Muhammad Saw. itu sendiri. Muhammad adalah (dan hanyalah) manusia penyayang terhadap semesta.

Itulah makna gambaran Al-Qur’an: “Wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamin”. Artinya, “Dan kamu (Muhammad) Kami utus hanya sebagai manusia penyayang bagi semesta”. Redaksi “hanya” muncul karena ayat ini menggunakan bentuk informasi pengkhususan (takhsis) dan pembatasan (qashr).

Sementara itu, nilai cara kerja Islam, yaitu kerja sama, kebersamaan, dan gotong royong, adalah cara satu-satunya yang dipilih Muhammad saw. untuk sampai ke tujuannya tersebut. Tak satu kali pun ia sendirian dalam berjuang.

Baca Juga:  Mencintamu adalah Kezaliman: Tafsir QS. Yunus [10]: 13 Perspektif Imam Al-Qusyairi

Ia membutuhkan orang lain, seperti halnya mereka membutuhkan Muhammad Saw. Untuk menjaga kesuksesan Yatsrib sebagai komunitas yang kuat, ia mengikat perjanjian kerja sama dengan Yahudi, Nasrani, dan kaum Pagan di sana. Untuk menjaga kekuatan komunitas belianya, ia mengambil kepercayaan dari suku-suku Arab dari negeri-negeri tetangga. Diplomasi berdasarkan kepercayaan dan kerja sama adalah sunnah Muhammad Saw.

Yatsrib (yang lalu menjadi Madinah) punya kesuburan pertanian, perkebunan, peternakan, dan juga kesukesan pasar dan industri. Untuk mempertahankan kesuksesan ekonomi tersebut, dan untuk meningkatkannya, Muhammad menjaga hak dan kewajiban dari semua penghuni kota.

Ia menjadi mediator bagi kegiatan peradaban di sana. Ia menjamin keadilan bagi yang dizalimi, menjamin kebebasan bagi setiap bakat individu, menjamin keamanan bagi setiap kegiatan ekonomi, dan mengingatkan mereka untuk tidak terlena pada dunia dan selalu ingat akan Tuhan dan Hari Pembalasan.

Optimisme dan Progresivisme Islam

Dengan mengenang kembali Muhammad Saw., kita tidak sedang bernostalgia. Dengan Al-Qur’an di tangan, beserta segudang penuh tradisi intelektual Islam yang kaya, kita justru seharusnya menatap optimis untuk membuka kerja sama dengan umat dan peradaban lain, dalam rangka memudahkan kita menciptakan perdamaian universal.

Selama ini Anda mungkin lelah dengan pekerjaan di kantor, tekanan sosial, dan rumah tangga yang membosankan, sehingga ketika mendengar panggilan untuk berperang di jalan Allah, Anda pun tertarik, dan mengagumi para penyerunya sebagai ulama dan junjungan. Karena hanya mereka yang Anda dengarkan, maka hanya perang dan konflik yang Anda kira sebagai warisan ajaran Islam.

Kita perlu sadar bahwa peradaban Islam bukan peradaban yang eksklusif, yang terpisah dari rentang organis sejarah dan peradaban besar dunia. Tentu saja ada perbedaan antara cara pandang khas Islam dengan cara pandang dunia modern.

Namun, Muhammad dan Al-Qur’an tak pernah mengecam keragaman dan perbedaan itu. Justru kita diingatkan akan alaminya keberagaman dalam soal bangsa, suku, peradaban, dan agama. Kata Al-Qur’an, “Li kullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan.” Artinya, “Untuk kalian semua ada syariat dan agama (minhaj/metode ibadah) yang beragam.”

Baca Juga:  Imam al-Ghazali: Puasamu di Tingkatan Mana?

Kalau begitu, apa yang dikecam oleh Muhammad Saw. dan Al-Qur’an? Itu adalah ketidakadilan dan kebodohan. Kebodohan ini bisa dalam aspek teologis (dengan menuhankan ciptaan tangan kita sendiri, dan bukan Tuhan yang satu-satunya), dan dalam aspek sosiologis (dengan menganggap kemuliaan itu berdasarkan keturunan, keluarga, dan suku).

Bisa juga dalam aspek ekonomi (dengan monopoli keuntungan dan manipulasi harga), dalam politik (dengan despotisme dan totalitarianisme), dan pendidikan (dengan menganggap manusia hanya jasmani, sembari meninggalkan kebutuhan ruhani). Begitulah kita. Kata Al-Qur’an, “Innahu kana zhaluman jahulan.” Artinya, “Sungguh, manusia itu betul-betul zalim dan bodoh.”

Penutup

Umat ini perlu menjadi umat yang berpikiran terbuka dan menghilangkan rasa benci dan curiganya atas umat beragama dan berbangsa lain. Kita hanya akan menjadi bahan tertawaan dunia jika selalu mendaku secara sepihak—tanpa bukti ilmiah—bahwa kita adalah umat terbaik.

Sebenarnya klaim-klaim apocalypse seperti itu adalah hasil dari ide pra-modern yang melihat dunia dalam ambang Hari Kiamat. Islam meyakini Hari Akhir tersebut, namun bukan untuk dijadikan klaim bahwa dunia ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Justru, Islam mengajarkan optimisme dan progresivisme berkaitan dengan masa depan dunia.

Manusia adalah makhluk dengan segala paradoks dalam hidupnya. Ia harus terus hidup, sembari tetap menyadari suatu saat akan mati. Ia harus menciptakan peradaban maju, namun harus ingat bahwa kehidupan akan berlanjut setelah mati. Islam mencontohkan bagaimana memediasi dua kutub tersebut.

Caranya adalah dengan optimisme—baik kepada hidup maupun mati. Juga dengan progresivisme, dalam hidup dunia maupun hidup akhirat. Itulah mengapa Al-Farabi memulai kitabnya tentang moral dan epistemologi dengan mengingatkan tujuan utama manusia—dan Islam itu sendiri. Yaitu mencapai kebahagiaan terrestrial dan kebahagiaan spiritual (al-sa’adah al-dunya wa al-sa’adah al-qushwa).

0 Shares:
You May Also Like