Islam adalah Spiritualitas

Oleh: Faqry Fakhry

Muhib di Jalan Menuju Mahbub

“Religion is a guy in church thinking about fishing. Spirituality is a guy out fishing thinking about God.” (John Fischer). Agama adalah seseorang yang sedang berada di gereja, tapi pikirannya tertuju pada keasyikan mancing. Sedang spiritualitas adalah seseorang yang sedang asyik mancing, tapi pikirannya tertuju kepada Tuhan. Betulkah?

Betul, jika agama hanya dipahami sebagai institusi legal-formal.

Tidak demikian halnya jika agama (dīn) kita pahami dalam maknanya yang sejati. “Dīn” dalam Islam justru mulai dari perjanjian primordial (rohani) manusia dengan Tuhan.

Yakni saat manusia masih berada di alam pra-kelahiran, saat Allah meminta janji: “‘Bukankah Aku Rabb (Pencipta dan Pemelihara-hidup)-mu?’ Kata mereka: ‘Benar!’ Kami bersaksi.” (QS. Al-A’rāf [7]:172)

Terkait dengan ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makna kata “dīn” adalah dekat dengan kata “dayn“—sama-sama berasal dari akar kata da-ya-na— yang bermakna hutang. Yakni hutang janji manusia di alam alastu ini.

Di tempat lain dalam Alquran Allah memfirmankan:

“Saat Ku-sempurnakan sudah penciptaan fisik manusia, maka Ku-tiupkan ke dalamnya sebagian dari Ruh-Ku…” (QS. Shād [38]: 72).

Yang rohani inilah kiranya esensi kemanusiaan manusia: manusia di atas segalanya adalah makhluk rohani.

“Hadapkan wajahmu lurus-lurus kepada ”dīn,’ (yakni) fitrah Allah yang atas (model)-Nya itu manusia diciptakan…” (QS. Ar-Rum [30]: 30)

Dīn” kiranya sama atau identik dengan fitrah-Nya. Di tempat lain dalam Alquran, menurut penafsiran sebagian ahli, fitrah Allah ini diidentikkan dengan apa yang disebut dalam Alquran juga sebagai “celupan-Nya” (QS. Al-Baqarah [2]: 138).

Jika kita jajarkan ayat yang saya kutip terakhir dengan ayat yang saya kutip sebelumnya, maka dapat kita katakan bahwa fitrah manusia adalah identik dengan unsur ruh Ilahi yang ditiupkan ke dalam ciptaan manusia itu.

Baca Juga:  Konsep Tauhid dalam Perjalanan Hidup Nabi Ibrahim dalam Tinjauan Open Question Argument

Ini juga kiranya makna hadis Nabi saw.: “Allah mencipta Adam atas citra-Nya.”

Maka, ibadah pun (yakni ibadah mahdhah atau ritual) mesti dilihat sebagai sarana atau wahana (kendaraan) menuju terminal akhir keberagamaan yang bersifat rohani.

Dalam shalat, misalnya, dipersyaratkan khusyuk, yakni kehadiran hati atau ruh kita. Demikian pula dalam ibadah kurban:

“…Daging (kurban) tak sekali-kali sampai kepada-Nya, hanya ketakwaan yang sampai.” (QS. Al-Hajj [22]: 37). Ini  bermakna bahwa hanya kesadaran keilahian yang rohanilah, dan bukan sekadar ritus, yang merupakan puncak keberagamaan. Yakni, sampai atau kembali, atau menyatunya lagi ruh kita dengan Allah swt., sumber atau asal-usul rohani kita

Dīn” dalam ayat-ayat lain pun selalu dikaitkan dengan keterikatan (penghambaan) manusia. (QS. Al-Kafirun [109]: 6) dan kesetiaannya (kepasrahan) kepada Allah (QS. Ali Imran [3]:19, baca juga; QS. Ali Imran [3]:83). Yakni sesuatu yang pada puncaknya bukan bersifat fisik, melainkan rohani.

Demikian pula, kebutaan pun dikaitkan dengan mata hati yang bersifat rohani, bukan mata fisik:

“Sebenarnya bukan mata itu yang buta. Yang buta adalah hati yang berada di dalam dada” (QS. Al-Hajj [22]: 46). Hati, lokus ruh, adalah dasar hubungan manusia dengan Yang Ilahi:

“Berkata Arab Badui: ‘Kami beriman’ … Katakanlah (Wahai Muhammad agar mereka berkata): ‘Kami telah tunduk (pada aturan lahiriah Islam)’, karena sungguh iman belum masuk ke dalam hatimu'” (QS. Al-Hujurat [49]: 14).

Beragama, menurut Islam adalah urusan hati, urusan rohani. Betapa pun terkait etika, hukum, politik dan soal-soal profan lainnya, puncak agama selalu bersifat rohani.

Agama tak pernah bisa dilepaskan dari kerohanian (spiritualitas). Agama tanpa spiritualitas bukanlah agama, melainkan hanya simbol-simbol kosong tanpa makna.

Baca Juga:  Hijrah (11): Tak Kenal Maka Tak Sayang

Kita, sebagai orang beragama—berbeda dengan kaum spiritualis—percaya bahwa syariat  sebagai aturan agama yang bersifat lahir (ritual) adalah sesuatu yang niscaya. Ia adalah semacam metoda yang diajarkan Pencipta kita Yang Maha Bijaksana sebagai sarana kita mencapai tujuan keberagamaan. Meski demikian, dia bukanlah tujuan dari keberagamaan itu sendiri. Tapi, kita juga berbagi dengan kaum spiritualis yang berkeyakinan bahwa tujuan puncak hubungan kita dengan gagasan transenden yang disebut dengan Tuhan itu sepenuhnya bersifat rohani.

Maka mari jadikan agama kita, dalam segenap kesibukan kita kepada syariat, sesuatu yang sepenuhnya bersifat rohani.

“Sungguh Allah tak melihat rupa dan bentuk kalian, melainkan melihat hati kalian” (HR. Muslim).

0 Shares:
You May Also Like