Jangan Lupakan Tawaran Eco-Philosophy

Dunia Anna adalah salah satu judul buku novel yang ditulis Jostein Gaarder. Narasi dalam buku ini lebih mengedepankan isu-isu seputar kerusakan bumi yang sudah tak seindah dulu lagi, tentang banyak spesies yang punah, tanah-tanah yang tenggelam dan kutub utara dan selatan yang meleleh, serta seputar kerusakan lingkungan dan pemanasan global, dimaknai secara filosofis, lewat seorang anak berumur 16 tahun bernama Nova.

Bagi saya pribadi, buku ini jauh ringan dan berbeda dengan buku Dunia Sophie (Mizan 2010) yang berisi narasi murni filsafat Barat. Dan, dari buku novel Jostein ini kemudian saya tertarik dengan percakapan dan diskusi tentang alam atau kosmologi maupun tentang lingkungan hidup masih berlanjut dan saya menikmatinya, terutama sejak beberapa tahun terakhir ini.

Dalam catatan terakhir yang diliris beberapa waktu lalu, saya menyinggung sedikit tentang tawaran eco-theology Islam dengan pergeseran makna teologis pada tataran kosmologi yang harus lebih diletakan pada hal yang bersifat profan dalam melihat krisis kosmologi saat ini.

Percakapan dan diskusi tentang kosmologi ini semakin menarik, ketika tanpa sengaja membaca analisis Llewellyn Vaughan-lee dalam bukunya, Spiritual Ecology: the Cry of the Earth (2013). Buku ini bagi saya, sangat menarik dan unik, salah satunya karena gagasan penting Llewellin adalah dan mungkin dapat dikatakan cukup berhasil mengumpulkan karya-karya environmentalists dalam mengusung kerusakan lingkungan atau ecology crisis dari berbagai belahan dunia, dan dapat dikatakan cukup berhasil memberikan analisis.

Llewellin berpandangan bahwa bumi dan alam semesta ini sangat mendesak harus segera diselamatkan. Sebab dari itu, nilai-nilai spiritualitas dan filosofis dianggap sebagai solusi sangat tepat dan penting. Bahkan, kalau boleh mengatakan terbaik dalam memecahkan masalah ecological cirisis yang terjadi di berbagai belahan dunia ini.

Baca Juga:  Beragama Yang Menggembirakan

Dalam sejarahnya, alam semesta yang sudah berumur kurang lebih 13,8 miliyar tahun ini, umur manusia baru beberapa detik, tentu membutuhkan suntikkan dalam memformulasikan kembali nilai filsafat yang dirasa memiliki orientasi pada alam dan lingkungan hidup.

Masalah yang sering kali kita hadapi saat ini kurangnya mengadaptasi harmonisasi alam. Dengan kata lain, mungkin saat ini harmoni alam semesta, manusia dalam mengembangkan filosofis ekologis di semua level dan aspek penting, guna mendukung cara keberlangusngan hidup alam semesta serta peradaban manusia kedepannya.

Dan, saya melihat, langkah yang dilakukan Llewellin di atas tadi merupakan bagian dari trend besar dalam menggeser pemikiran filsafat di Barat yang terlalu antroposentrisme dan teralalu rasional kembali ke kosmosentrisme. Pada bagian ini bukan berarti hendak menigasikan manusia, apalagi membunuh manusia, sebagaimana sebelumnya membunuh Tuhan.

Oleh karena itu, sepertinya kita memang perlu merubah pandangan terlalu antroposentrisme kosmologis ini ke eco-filosofis. Layaknya gagasan Hasan Hanafi ketika berusaha mentransformulasi ulang teologi tradisional yang awalnya teosentris ke antroposentris, dari Tuhan kepada manusia, dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas.

Dari teosentrisme ini kita ubah ke antroposentrisme lalu kemudian kita ubah kembali ke eco-filosophy yang lebih ramah lingkungan, sebagaimana layaknya pemikiran filsafat di era Yunani klasik dulu.

Penting dalam konteks ini, filsafat jangan dibiarkan berjalan sendirian, filsafat harus berjalan beriringan dengan agama untuk mencapai peradaban filosofis-ecological. Di mana agama pada dasarnya telah memiliki dasar dan sumber yang sudah jelas dan mengikat dalam mencapai tujuan peradaban alam semesta.

Paling tidak, kaum saintis harus belajar pada pada tragedi sejarah saat ini, ketika filsafat dan sains tak lagi melibatkan nilai-nilai spiritualitas, di mana kemajuannya justru membawa kerancuan dan bencana pada alam semesta ini.

Baca Juga:  Inilah Cita-Cita Peradaban Islam!

Dengan demikian, kita perlu mengindahkan apa yang dikatakan Seyyed Hossein Nasr sebagaimana ditulis dalam bukunya sudah agak lama The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968) bahwa manusia modern telah kehilangan nilai-nilai spiritual dalam diri manusia dalam membangun peradaban ilmu pengetahuan.

Bagi Nasr, hilangnya nilai-nilai spiritualitas ini sudah barang tentu hilang pula makna filosofis dan religiusitas dari diri manusia dalam menjaga keseimbangan dialektika antara Tuhan, manusia, dan alam semesta.

Tuhan, manusia dan alam semesta memiliki kesatuan hubungan fungsi dan kedudukan masing-masing, dan menjadi jalan ideal bagi tumbuhnya spiritualitas yang notabene merupakan ikonoklasme dari kebermaknaan hidup manusia antara makhluk-makhluk Tuhan dan lainnya.

Dalam konteks ini kita perlu memaknai hubungan antara Tuhan, manusia, alam semesta merupakan suatu konsep berpikir dan bertindak tentang lingkungan hidup yang mengintegrasikan aspek fisik (alam termasuk hewan dan tumbuhan), manusia dan Tuhan.

Pemutusan satu relasi akan menyebabkan kepincangan, dan ketimpangan. Pemutusan relasi Tuhan dengan manusia di satu sisi, akan lebih bernuansa agnotisisme sebagai hubungan personal yang tak terpisahkan,  di sisi lain bernuansa sekuler dalam mengeksploitasi alam yang akan berujung pada krisis lingkungan. Pemutusan relasi alam dan manusia akan menyebabkan kemiskinan pengetahuan dan miskin peradaban.

Karenanya, kesadaran filosofis relasi antara Tuhan, manusia dan alam semesta mungkin dapat menjadi obat dari krisis kosmologi saat ini. Tentu nilai-nilai agama dan kearifan filosofis sangat dibutuhkan dalam menjaga keseimbangan alama semesta ini.

Dan, saya kira ini merupakan tantangan besar bagi sarjana, intelektual, dan saintis Muslim untuk menggali dan merumuskan kembali nilai-nilai filosofis dengan membangun suatu konsep etika pelestarian lingkungan yang berbasis filsafat dan agama atau spiritual, atau lebih tepatnya etika dan filsafat Islam yang identik dengan eco-philosophy.

Membaca gagasan ini sepertinya memang penting bila dipadukan kembali dengan hal-hal yang lebih bersifat mendalam. Misalnya dipadukan antara hal yang bersifat metafisik dan eco-philosophy. Bahkan lebih dari itu, kita perlu sedikit banyak revitalisasi konsep teologis dan filsafat Islam ke suatu konsep yang lebih ramah lingkungan.

Baca Juga:  Karena Syahwat, Manusia Lebih Baik daripada Malaikat?

Hal semacam ini dirasa penting agar dapat mengurangi sedikit banyak laju penerapan sains dan teknologi. Meminjam istilah filsuf kritis kontemporer Prancis Jean Bauldrillard sudah berada pada level obisitas informasi, kegemukan informasi, dan kebablasan serta tak mau lagi mengindahkan nilai-nilai spiritual bagi alam semesta saat ini.

0 Shares:
You May Also Like