Kata toleransi sudah tak asing lagi kita dengar. Baik toleransi perbedaan agama, budaya, ras, prilaku, bahkan pendapat. Toleransi secara etimologi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerare yang berarti sabar dan menahan diri. Secara terminologi toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antar sosial yang bertentangan dengan diri sendiri.
Dilihat dari pengertiannya sikap toleran seakan menjadi sebuah paksaan untuk setiap individu. Di mana kita harus menghargai, harus sabar atas apa yang kita hadapi dengan banyaknya perbedaan, sehingga tidak terjadi sebuah konflik.
Lalu, bagaimana agar sikap toleransi ini tanpa ada rasa paksaan dan tidak ada lagi rasa fanatik sehingga secara instan sikap ini ada dalam diri kita?
Toleransi memang menjadi persoalan antar individu dan sosial. Begitu pun dengan tafaqquh. Tafaqquh berasal dari faqiha dan melahirkan kata al-fiqh yaitu menghubungkan kepada pengetahuan rasional dalam ilmu yang nampak. Adapun dalam Al-Qur’an tafaqquh yaitu memahami, mengetahui, mengerti, dan memperdalam.
Tafaqquh dalam ilmu adalah pendalaman secara komprehensif. Jika hanya pada ruang lingkup pribadi misalnya fanatik itu berarti tidak memahami ruang lingkup lain. Sehingga ketika ia bertolerasi namun ia kukuh dalam ke-fanatikkannya, maka ia belum ber-tafaqquh.
Dengan demikian, memiliki sikaf tafaqquh itu berarti ia meninggalkan hukum individu untuk hukum sosial demi menjaga keharmonian di dalam lingkungannya—ia memahami secara mendalam berada pada lingkungan yang memang berbeda. Dalam hal ini seseorang yang dikatakan bertoleransi, ia telah menempuh pendalaman ilmu untuk menjadi seorang faqih sehingga tumbuh keikhlasan dalam toleransi dan tidak ada lagi keraguan untuk menerima sebuah perbedaan.
Ada sebuah hadis yang sangat kompleks untuk mengidentifikasi bahwa seseorang tersebut telah betul-betul faqih (ber-tafaqquh dalam agama):
Akan aku (Rasulullah) beritakan kepada kalian, siapa sesungguhnya seorang yang faqih itu? Silahkan, wahai Rasulullah! Lalu, Rasul bersabda: “Sesungguhnya faqih adalah orang yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah Yang Maha Tinggi, dan yang tidak membuat mereka putus harapan dari kasih sayang-Nya, dia tidak meninggalkan Al-Quran karena kecenderungannya pada yang selainnya. Ketahuilah sesungguhnya tak ada kebaikan pada ibadah tanpa pengetahuan, ilmu tak bermakna tanpa pemahaman, dan tidak sempurna bacaan Al-Quran tanpa tadabur”.
Dengan demikian tafaqquh (memahami agama dengan sebenar-benarnya) akan menumbuhkan rasa toleransi, rasa hormat dalam diri dan meninggalkan kecenderungan selain-Nya.