Manusia adalah hewan rasional (hayawan natiq). Disebut rasional, karena manusia selalu menggunakan akal sehat dalam merumuskan sesuatu yang melibatkan penilaian, pembedaan, dan penjelasan, sehingga muncul sebuah pengetahuan. Pengetahuan adalah sumber realitas atas asumsi dasar manusia. Pengetahuan sangat penting bagi manusia. Betapa tidak, tanpa adanya pengetahuan, maka kita tidak dapat membedakan hal-hal yang bisa ditangkap dengan panca indra.
Lalu, pernahkah muncul di benak kita, dari mana asal usul pengetahuan? Apakah manusia memerlukan pengetahuan? Apakah pada hewan terdapat juga pengetahuan? Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, maka perlu kita ketahui bahwa ada dua kelompok yang mempercayai asal usul pengetahuan, yaitu:
Kelompok Materialisme
Kelompok ini menganggap bahwa pengetahuan hanya diperoleh dari indra. Itu berhubungan dengan empirisme, epistemologi. Artinya, realitas hanya materi maka hanya indra mampu mengetahui entitas tersebut. Metode yang dipakai dalam materialisme adalah induksi. Induksi adalah pengamatan terhadap objek lalu mengambil kesimpulan general sehingga terbangun ilmu sains/pengetahuan. Pengetahuan dalam pandangan dunia ini ada dua, yakni pengetahuan alam dan pengetahuan sosial. Sistem nilai yang dibangun oleh materialisme adalah pragmatisme yaitu sistem nilai yang diukur dari segi rugi untungnya.
Kelompok Non Materi/Teisme/Spiritual
Kelompok ini beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh tidak hanya dari indra tapi juga dari akal, sehingga konsekuensi dari pandangan ini adalah meyakini hal non materi dan materi. Hal ini disebabkan oleh alat yang digunakan adalah indra dan akal. Indra adalah alat yang mampu menangkap benda baik partikular maupun personal. Akal adalah alat yang mampu menangkap menangkap non benda secara universal dan abstrak. Pandangan dari kelompok ini melahirkan pengetahuan partikular dan pengetahuan universal. Menurut mereka, manusia meyakini bahwa konsep universal tidak terlihat. Seperti saat kita merasakan cinta, namun kita tidak bisa melihat personal cinta tersebut.
Lalu, apakah manusia memerlukan pengetahuan? Bukankah manusia masih dapat hidup tanpa adanya pengetahuan. Perlu kita sadari bahwa kegiatan mengetahui merupakan kegiatan yang secara hakiki melekat pada cara beradanya sebagai manusia. Dalam filsafat ilmu disebut knowing is a mode of being, maksudnya, fitrah manusia untuk memiliki hasrat mengetahui, sehingga manusia akan mencari terus pengetahuan tanpa mengenal lelah. Dengan demikian, pengetahuan hanya dimiliki oleh manusia. Hal tersebut diperkuat dengan adanya dalil Al-Qur’an tentang pemberian akal pada manusia.
Pertanyaan selanjutnya apakah pada hewan terdapat juga pengetahuan? Tentu saja tidak, sebab hewan tidak diberi akal oleh Allah. Tetapi pada hewan hanya diberikan insting. Misalnya, setiap binatang tahu akan ada bahaya yang mengancam dirinya, atau ada makanan yang bisa disantap. Seekor harimau tahu persis apa ada binatang di sekitarnya yang bisa dimangsa. Seekor tikus juga tahu bahwa di sekitarnya ada kucing yang siap menerkam dirinya, sehingga berdasarkan instingnya dia segera mencari tempat yang aman. Dengan demikian, Allah hanya memberikan pengetahuan kepada manusia sebagai bekal hidup di dunia. Sedangkan pada hewan, Allah hanya menganugerahkan insting sebagai kasih sayang-Nya pada setiap ciptaan-Nya.
Oleh sebab itu, sebagai manusia, kita sepatutnya harus bersyukur pada Allah, karena Dia telah melimpahkan karunia dan nikmat kepada kita. Salah satu nikmat itu ialah akal, dan lewat akal kita memperoleh dan menciptakan pengetahuan. Dan, karena berpengetahuan itu, kita menjadi makhluk yang manusiawi. Betapa pentingya pengetahuan bagi kita sebagai manusia. Karena itu, agar sifat manusiawi kita tetap melekat pada kita, maka jangan pernah berhenti mencari pengetahuan kapan pun, di mana pun, dan dari siapa pun.