Falsafah Politik al-Mawardi: Paradigma Simbiotik Agama dan Negara

Diskursus seputar keterkaitan antara Islam sebagai entitas sakral dan politik sebagai entitas profan telah menyita perhatian intelektual Muslim dan tetap menarik untuk diperbincangkan hingga era postmodernis. Hal ini dikarenakan tidak adanya ketegasan di dalam Islam terkait hubungan agama dan negara, sehingga melahirkan beraneka ragam penafsiran tentang keterlibatan Islam di antara dua entitas yang berbeda tersebut.

Dalam pemikiran politik Islam, paling tidak ada tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara. Nuansa di antara ketiga paradigma ini terletak pada konseptualisasi yang diberikan kepada kedua istilah tersebut. Sekalipun Islam dipahami sebagai agama yang memiliki totalitas—dalam pengertian meliputi universalitas aspek kehidupan manusia, termasuk politik—namun, sumber-sumber Islam juga mengajukan biner (pasangan) istilah.

Seperti dunya-akhirat (dunia-akhirat), din dawlah (agama negara), atau umur aldunya-umur al-din (urusan dunia, urusan agama). Pasangan istilah-istilah tersebut memperlihatkan adanya distingsi konseptual dan mengesankan adanya dikotomi (M. Din Syamsuddin, 1993: 1-3). Paradigma pertama berusaha memecahkan masalah dikotomi tersebut dengan menyodorkan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan (integrated). Ruang lingkup agama juga meliputi politik atau negara.

Sebab, berdasarkan paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara dilaksanakan atas dasar “kedaulatan Illahi” (divine sovereignty), karena memang kedaulatan (legitimasi) itu berasal dan berada di “tangan Tuhan”. Paradigma seperti ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Paradigma pemikiran Syi’ah memandang bahwa negara (imamah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan.

Dalam pandangan Syi’ah, terkait legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan melalui garis keturunan Nabi Muhammad saw., maka legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan dan hal ini hanya dimiliki oleh keturunan Nabi. Berbeda dengan paradigma pemikiran politik Sunni, yang menekankan ijma’ (pemufakatan) dan bay’ah (legitimasi) kepada “kepala negara” (khalifah).

Baca Juga:  Abu Bakr Al-Razi (1): Akal dan Kenabian, Kritik terhadap Agama-Agama Wahyu

Paradigma Syi’ah menekankan walayah (kecintaan” dan “pengabdian” kepada Tuhan) dan ‘ismah (kesucian dari dosa), yang hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi, yang berhak dan legal untuk menjadi “kepala negara” (imam) (Zulkifli, 2014: 176). Paradigma pertama, yaitu terkait penyatuan agama dan negara juga menjadi panutan kelompok “fundamentalisme Islam” yang cenderung berorientasi nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsipil.

Paradigma fundamentalisme menekankan totalitas Islam, yakni bahwa Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Paradigma kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan (Kuntowijoyo, 1997: 191-193). Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.

Pandangan tentang simbiosis agama dan negara ini dapat ditemukan, umpamanya, dalam pemikiran al-Mawardi. Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi—seterusnya disebut al-Mawardi. Al-Mawardi lahir pada 364-450 H/974-1058 M di Basrah, Irak. Masa kehidupan al-Mawardi ditandai dengan suasana dan kondisi disintegrasi politik dalam pemerintahan daulat bani Abbasiyah.

Al-Mawardi merupakan seorang teoritikus politik Islam terkemuka pada masa klasik. Pada baris pertama dari karyanya yang terkenal, al-Ahkam al-Sulthaniyah. Dalam karyanya, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia (Abu al-Hasan al-Mawardi, t.th.: 5).

Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Untuk menjelaskan fungsi mengatur dunia bagi seorang kepala pemerintahan, dalam separuh kedua dari bukunya al-Mawardi menguraikan tugas-tugas administratif dan seorang kepala pemerintahan (khalifah). Namun hal ini tidak dapat disimpulkan bahwa al-Mawardi mengeliminasi watak keagamaan dari lembaga kenegaraan (kekhalifahan).

Baca Juga:  Wahdah Al-Wujud Ibn 'Arabi dan Panteisme

Dalam pandangannya, negara tetap merupakan lembaga politik dengan sanksi-sanksi keagamaan. Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’ah (agama) mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain, al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti diisyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan atau kepatutan politik.

Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik dalam penyelesaian persoalan politik kala dihadapkan dengan prinsip-prinsip agama. Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa imamah dilembagakan untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Pelembagaan imamah, menurutnya adalah fardhu kifâyah berdasarkan ijma` ulama (Muhammad Iqbal, 2015: 18).

Pandangannya ini didasarkan pada realitas sejarah al-Khulafâ’ al-Râsyidûn dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik dari bani Umaiyah maupun bani Abbasiyah, yang merupakan lambang kesatuan politik umat Islam. Pandangan ini juga sejalan dengan kaidah ushul yang menyatakan mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi, fahuwa wâjib (suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui saranan atau alat, maka sarana atau alat itu juga hukumnya wajib).

Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara. Maka, hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu kifâyah). Hal ini juga sesuai dengan kaidah amr bi syay` amr bi wasâ’ilih (perintah untuk mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan penghubung-penghubungnya). Negara adalah alat atau penghubung untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia.

Dengan demikian, terlepas dari adanya berbagai paradigma hubungan agama dan negara, dan berbagai kecenderungan dalam menemukan jawaban Islam bagi konsep tentang negara, integrasi agama dan negara dalam realitas sejarah agama Islam masih membutuhkan sebuah pembuktian yang nyata. Pada era klasik, integritas agama dan negara hanya berada pada tingkat formal.

Baca Juga:  KENAPA MASIH ADA SAJA ORANG BERAGAMA YANG MEMBENCI AKAL?

Akan tetapi, proses politik kenegaraan tidak sepenuhnya memancarkan etika dan moralitas Islam. Begitu juga, di era modern, masih dihadapkan pada pertanyaan tentang kualitas inplementasi nilai-nilai Islam. Penerapan nilai-nilai Islam, dalam hal ini, terkesan formalistik dan juristik dalam bentuk pemberlakuan hukum positif berdasarkan norma-norma Islam.

Juga dalam beberapa prinsipil Islam terkait pemerintahan dan kenegaraan, seperti prinsip demokrasi, persamaan dan kesetaraan hak politik, kebebasan ekspresi politik, masih belum terwujud dalam kenyataan kehidupan umat Muslim.

Daftar Bacaan:

Al-Mawardi. T.Th. Al-Akâm al-Sulthâniyah. Beirut: Dar al-Fikr.

Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2015. Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group.

Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.

Jurnal JURIS. Volume 13. Nomor 2. 2014. Zulkifli. Paradigma Hubungan Agama dan Negara.

Jurnal Ulumul Qur’an. Volume 4. Nomor 2. 1993. M. Din Syamsuddin. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam.

0 Shares:
You May Also Like