Sewaktu manusia ketawa, semeringah sesungguhnya yang senang adalah jiwa yang ada dalam dirinya. Begitu juga ketika sedang bermuka musam, artinya jiwa orang tersebut lagi susah. Lalu ada seorang penjahat yang terbukti melakukan pembunuhan, maka dikatakan dia jiwanya sedang sakit. Dari ketiga contoh di atas terbukti jiwalah yang lebih utama daripada raga. Juga sesuai yang dikatakan oleh Plato bahwa hakikat diri manusia terdapat pada jiwanya, sementara raga (fisik, badan) hanyalah sebagai manifestasi (perwujudan)-nya saja.
Teori ini dikuatkan lagi dengan fenomena berikut, bila kita sedang membaca sebuah kisah pada sebuah novel, maka jiwa akan mengikuti alur cerita sampai sedetail-detailnya. Seolah-olah kita menjadi salah satu tokoh yang memerani cerita yang dibaca. Sampai bisa menceritakan kembali selengkap-lengkapnya. Padahal badan kita hanya menetap pada posisi kita berada, jiwalah yang mengembara ke sana sini mengikuti isi cerita. Hal yang sama terjadi ketika bermimpi sewaktu tidur. Kejadian yang muncul dalam mimpi, sebenarnya jiwa yang melakukan atas peristiwa tersebut. Misalnya kita bermimpi bermain bola, mulai mengejar, menendang dan menggiring bola dan seluruh kegiatan ini jiwalah yang menjalankan. Sementara fisik kita berada tetap di tempat tidur dan baru bergerak sewaktu terbangun.
Dapat dikatakan bahwa jiwa itu adalah panglima yang mengatur diri manusia. Adapun badan hanya mengikuti saja ke arah mana jiwa membawa. Jika jiwa mengajak kepada kebaikan, maka badan akan melangkah ke tempat-tempat yang baik. Begitu juga sebaliknya jika jiwa cenderung pada kemaksiatan, maka badan pun akan malas, enggan, pasif untuk bergerak ke wilayah maslahah. Dan Allah pun mengingatkan kita dengan firman-Nya: “Beruntung lah orang yang mensucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotori jiwanya.”
Ayat tersebut jelas sekali agar kita selalu menjaga kesucian jiwa ini. Karena sekali kita lengah, maka kecendrungan badan akan menuju pada kemaksiatan. Bahkan bisa menjadi suatu kebiasaan yang susah untuk diperbaiki. Seorang yang mengotori jiwanya dengan penyakit hati (dengki, fitnah, ghibah dll), maka bisa menganggap bahwa perbuatan itu bukan lagi dosa. Karena jiwanya sudah tidak mampu lagi membedakan mana baik atau tidak. Pada titik inilah seseorang sudah mengabaikan kesucian jiwanya sehingga mengakibatkan hidupnya dipenuhi dengan perangai yang buruk.
Oleh karena itu kita harus mengutamakan kesucian jiwa, jangan memprioritaskan badan terus menerus. Dengan jiwa yang sucilah kita kan menghadap Allah, dan badan ini akan tertinggal di bumi.