Teladan Komunikasi dari Kisah Nabi Ibrahim
Oleh: Darul Siswanto
Alumni Universitas Al-Azhar Kairo dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Aku sudah melakukan semua ini buat kamu, kenapa tidak dimakan, padahal aku sudah masakin ini semua?” Kata orang tua kepada anaknya, terkadang juga suami kepada istri, dan juga sebaliknya. Demikian juga dengan sang anak, merasa bahwa yang ia lakukan semuanya adalah untuk kedua orang tuanya. Padahal tidak pernah ada pertanyaan “Nak, kamu mau apa?” “Ayah dan ibu mau apa?” atau “Kalau aku masak ini kamu mau tidak?” Ini merukapan suatu contoh komunikasi yang masih banyak terjadi di dalam sebuah lingkup keluarga.
Keluarga adalah tempat pendidikan pertama bagi setiap anak, dan orang tua adalah gurunya. Sebagaimana sabda Nabi saw, “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Maka sebagai orang tua, sudah seharusnya untuk memiliki kesadaran yang cukup untuk bertindak dan berprilaku selayaknya guru yang layak untuk digugu dan ditiru. Juga memiliki kesadaran bahwa apa yang berkaitan dengan anak adalah untuk kepentingan anak, sehingga menghindari sikap dan prilaku egois. Karena sikap dan prilaku tersebut sangat mungkin juga akan diikuti oleh sang anak.
Salah satu hal penting dalam pendidikan anak adalah hubungan baik antara anak dan orang tua. Hal ini dapat dicapai melalui komunikasi yang baik, yakni komunikasi dua arah. Di mana orang tua tidak hanya pada posisi untuk didengar segala titahnya, namun juga punya keluasan untuk mendengar segala keluh kesah sang anak, dan juga mendengar pendapatnya. Komunikasi semacam ini pula yang kemudian akan membentuk karakter untuk mendengar.
Al-Qur’an sesungguhnya tidak hanya memuat permasalahan hukum saja, tetapi juga banyak memuat tentang nilai-nilai moral dalam kisah-kisah yang dapat dijadikan ‘ibrah dan pelajaran. Allah berfirman:
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad saw.), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman” (QS. Hud [11]: 120).
Di antara kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah kisah Nabi Ibrahim as. dan putranya, Nabi Ismail as. sebagaimana diceritakan:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. Al-Shaffat [37]: 102)
Dari kisah itu dapat diambil pelajaran tentang bagaimana komunikasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Ketika Nabi Ismail beranjak dewasa, Nabi Ibrahim mendapat sebuah wahyu dalam mimpinya. Meskipun perintah menyembelih yang ada dalam mimpinya itu datang dari Allah, ia tidak lantas serta merta memaksakan hal tersebut pada putranya. Ia dengan keluasan dan kelapangan justru ingin mendengar terlebih dahulu pendapat dari putranya, karena apa yang akan menjadi keputusan adalah menyangkut masa depan sang anak.
Nabi Ismail yang sejak kecil telah dididik untuk taat kepada Allah dan berbakti kepada orang tua, melihat apa yang disampaikan oleh ayahnya adalah sebuah ujian yang Allah tujukan tidak hanya kepada ayahnya, namun juga ujian untuk dirinya. Yakni menguji ketaatan, kesabaran dan kesungguhannya di hadapan Tuhannya, sehingga Nabi Ismail meneguhkan hati ayahnya bahwa ia insya Allah adalah termasuk dalam orang-orang yang sabar.
Begitulah sedikit kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan seperti itu seharusnya komunikasi yang dibangun antara orang tua dan anak. Tidak bersikap otoriter terhadap anak. Terlebih lagi ketika anak sudah beranjak dewasa, mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Segala keputusan yang diambil terlebih dahulu dibicarakan dan didiskusikan bersama anak. Apalagi untuk urusan dan permasalahan duniawi, untuk permasalahan yang datang dari Tuhan sebagaimana dalam kisah Nabi Ibrahim saja perlu untuk juga mendengar. Pola komunikasi semacam inilah yang diharapkan mampu membentuk karakter yang tidak hanya ingin didengar namun juga mendengar, membentuk karakter yang lebih lapang dan toleran dalam mengahadapi perbedaan. Wallahua’lam.