Bagaimana Praktik Tasawuf di Dunia Modern?

Oleh: Muhammad Rafi

Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin

Di dunia modern spiritualitas seringkali terabaikan. Karena bagi masyarakat modern kecanggihan teknologi dan informasi telah jauh melampaui tradisi mistis kuna yang sering dianggap sebagai antitesis dari kemajuan dan modernitas. Akibatnya, berbagai hal yang bersifat metafisis (seperti tasawuf) dianggap tidak lebih penting—bahkan diabaikan seutuhnya—dari hal yang bersifat material.

Kecenderungan ini tidak lepas dari pengaruh Renaissance yang dipelopori oleh bangsa Eropa pada abad ke-14 hingga 17 dan pemikiran rasional Rene Descartes (1595-1650 M) yang dijuluki sebagai bapak filsafat modern. Pemikiran ini kemudian membentuk apa yang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal di Eropa abad ke-17 dan 18.

Tidak dapat dipungkiri bahwa renaissance membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat modern, yakni membangkitkan ilmu pengetahuan yang menjadi tonggak kebangkitan teknologi, informasi dan peradaban manusia. Namun di sisi lain, renaissance membuat manusia tidak mampu mempertahankan nila-nilai dasar yang ada pada diri manusia, seperti kecenderungan bertuhan.

Bagi pemeluk agama Islam, hal ini merupakan problem serius, karena sifat alamiah (fitrah) manusia adalah mencari Tuhan dan menyembah-Nya. Bahkan dalam keyakinan mereka, sebelum dilahirkan ke dunia—yakni ketika berada di alam alastu—seluruh manusia telah dibaiat untuk bersaksi dan mengakui bahwa Allah swt. adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia.

Modernitas di sisi lain juga membuat manusia mengalami disorientasi hidup. Banyak dari mereka kehilangan arah dan tujuan hidup, tanpa tahu mereka di mana dan mau ke mana. Akhirnya, muncul berbagai sikap negatif seperti hedonisme dan pragmatisme yang dapat mengikis spiritualitas manusia. Tidak jarang mereka ini hanya mementingkan kehidupan pribadi dibandingkan lainnya.

Baca Juga:  Kesehatan Mental dalam Pandangan Islam

Seyyed Hossein Nasr mengungkapkan bahwa salah satu dampak negatif masyarakat modern yang mendewakan pengetahuan dan teknologi adalah menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak jauh dari pusat kehidupan, yakni Tuhan. Padahal agama yang diwahyukan adalah sarana untuk mendekatkan manusia menuju titik sentral alam semesta.

Kehilangan visi keilahian ini kemudian dapat menimbulkan gejolak psikologis, yakni adanya kehampaan spiritual, layaknya sebuah telepon yang semakin kehilangan sinyal ketika semakin jauh dari tower pemancar sinyal. Sebagian orang mungkin akan bertanya-tanya, “lantas bagaimana praktik tasawuf di dunia modern yang mendewakan rasionalitas?” Berikut ini jawabannya.

Praktik Tasawuf di Dunia Modern

Tidak seperti anggapan negatif sebagian orang, sebenarnya praktik tasawuf cukup relevan untuk masa sekarang. Sebab tasawuf adalah jalan spiritual yang canggih di mana praktiknya melibatkan tidak hanya pribadi, tetapi juga pekerjaan, keluarga, dan pengalaman kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, tasawuf dapat merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan tanpa mengalami kesulitan signifikan.

Tasawuf juga tidak seperti anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa tasawuf mengantarkan pelakunya menjauhi dunia. Nabi Muhammad saw. seorang pelintas jalan spiritual pertama telah membuktikan bahwa jalan menuju Allah swt. itu tidak membuatnya berpaling dari dunia, akan tetapi memperkuat eksistensinya untuk memperbaiki kehidupan dan peradaban masyarakat dunia.

Orang yang mempraktikkan ajaran tasawuf (sufi) idealnya merupakan sosok yang bertanggung jawab dan bijaksana. Jika seorang presiden bertasawuf, maka ia akan menjadi pemimpin yang adil, bertanggung jawab, dan bijak. Jika seorang buruh bertasawuf, maka dapat dipastikan bahwa ia adalah pegawai yang taat dan berbudi luhur. Tasawuf bertugas untuk meluruskan hati dan menghiasnya dengan segala perbuatan terpuji.

Baca Juga:  Hikmah Muta'aliyah dan Kontribusinya untuk Paradigma Beragama

Sejarah mencatat bahwa banyak dari kalangan sufi turut andil dalam perkembangan dunia. Tidak jarang mereka bekerja sebagaimana masyarakat biasanya, hanya saja mereka memiliki hati yang lebih dekat dengan Allah swt. Kedekatan mereka dengan Yang Maha Agung tidak membuat mereka menghinakan dunia. Mereka tunduk dengan segala ketetapan-Nya, termasuk kewajiban berusaha.

Para guru sufi besar memiliki beragam pekerjaan. Beberapa dari mereka adalah pengrajin handal, seperti Aththar yang menjadi apoteker, dan Omar Kayyam yang menjadi pemintal tenda. Sebagian lainnya adalah para penguasa kaya, pemilik tanah atau penasihat sultan dan raja. Semua sufi besar tersebut mampu memenuhi tugas mereka dengan sebaik-baiknya seraya mencari Tuhan (Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh: 47).

Sebagian sufi bahkan dikenal dengan julukan yang didasarkan pada pekerjaan mereka, seperti; Hallaj, penyortir kapas; Nassaj, penenun; Haddad, tukang besi; Banna’, tukang batu dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa banyak kalangan sufi yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka. Bahkan dikisahkan bahwa sebagian besar penghasilan dari pekerjaan tersebut diberikan untuk orang yang membutuhkan (Mystical Dimension of Islam: 104).

Mereka semua (sufi) memiliki satu prinsip utama, yakni “Hidup di dunia tetapi tidak untuk dunia”. Ajaran tasawuf ini mengajarkan kita untuk menggunakan tugas dan pengalaman kita sebagai bagian dari perjalanan spiritual, bukan menjadikan pekerjaan duniawi sebagai penghalang bagi kegiatan spiritual. Sufi Muzaffer Efendi berkata: “Sibukkan tanganmu dengan melakukan pekerjaan duniawi, dan sibukkan hatimu dengan Allah”.

Para sufi meyakini bahwa akal dan tubuh manusia adalah anugerah dari Tuhan. Sebagai ungkapan rasa syukur, seseorang harus berusaha sebaik mungkin untuk memajukan anugerah ini dan menggunakannya demi tujuan kebaikan, baik individu maupun masyarakat. Hal ini dapat dianalogikan dengan pemberian topi dari seseorang, bukankah cara terbaik berterima kasih adalah dengan memakainya dan merawatnya sebaik mungkin.

Baca Juga:  Agama Hijau

Secara tidak langsung sebenarnya para sufi ingin mengajarkan kepada kita bahwa kita harus memenuhi tanggung jawab, bahkan melebihi masyarakat pada umumnya, dan bukan justru menghindari tanggung jawab duniawi. Sebab kita berkewajiban untuk menggunakan kemampuan yang diberikan Allah swt. dengan sebaik-baiknya. Artinya, seorang sufi seharusnya adalah pemeran terbaik dan terjujur dalam semua profesi yang ada di dunia.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa praktik tasawuf di dunia modern sangatlah mungkin dilaksanakan. Karena tasawuf tidak menghalangi kemajuan dan modernitas, tetapi membarenginya agar menuju arah yang lebih baik. Ajaran tasawuf dapat dipraktikkan kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun tanpa terkecuali. Bertasawuf berarti menjadi manusia terbaik dan menjadi hamba Allah swt. yang terbaik pula, tanpa mengganggu kegiatan duniawi sedikitpun.

0 Shares:
You May Also Like