Belajar Pluralisme dari Al-Qur’an

Istilah pluralisme agama, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-ta’ddudiyyah al-dīniyyah, dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan religious pluralism, terlepas asalnya dari barat, ide pluralisme agama sebenarnya mempunyai akar yang kuat dalam ajaran Islam. Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam, tidak hanya menerima, akan tetapi Islam mengharapkan pluralitas agama diaktualisasikan secara positif bagi kepentingan yang mengedepankan kerja sama, bahu membahu di antara kalangan umat beragama dalam rangka mencapai kebaikan, bukan sebaliknya disikapi dengan a priori, sehingga memudahkan terjadinya perselisihan dan konflik. Idepluralitas agama dalam Islam pada dasarnya dapat dirujuk dalam Surat al-Hajj [22]: 67-69.

“Bagi setiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang (harus) mereka amalkan, maka tidak sepantasnya mereka berbantahan dengan engkau dalam urusan (syari’at) ini, dan serulah (mereka) kepada Tuhanmu. Sungguh, engkau (Muhammad) berada di jalan yang lurus. Dan jika mereka membantah engkau, maka katakanlah, “Allah lebih tahu tentang apa yang kamu kerjakan.” Allah akan mengadili di antara kamu pada Hari Kiamat tentang apa yang dahulu kamu perselisihkan”.

Jadi perbedaan dan keragaman agama, yang kemudian disebut dengan pluralisme agama, menurut ajaran Islam diakui sebagai keniscayaan karena kehendak Tuhan. Ini fakta bahwa Tuhan menghendaki manusia tetap dalam kondisi perbedaan dan keragaman, termasuk dalam hal beragama. Tinggal bagaimana manusia secara bersama-sama menyikapinya, agar perbedaan tersebut bernilai dan membawa manfaat bagi kehidupan.

Terlepas dari penjelasan di atas, bahwa ide pluralisme agama dalam Islam menemukan pijakannya yang kuat dan mendasar, yaitu ketersediaannya menerima pandangan bahwa siapa pun manusia, tanpa pandang afiliasi keagamaannya, dapat memperoleh “Keselamatan”, asalkan beriman kepada Allah, Hari Akhir dan beramal saleh. Pandangan tersebut didasarkan pada pemahaman Surat al-Baqarah [2]: 62, diulang dengan redaksi yang sedikit berbeda dalam Al-Qur’ān Surat al-Maidah [5]: 69.

Baca Juga:  MERAIH HUSNUL-KHATIMAH DAN KEMENANGAN DALAM HISAB ITU TIDAK SULIT

“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Shābin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuham mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka berselisih hati.”

Menafsirkan kedua ayat tersebut Sayyid Muhammad Husein Fadlullāh, menjelaskan bahwa makna kedua ayat ini dengan sangat jelas menegaskan bahwa keselamatan pada Hari Kiamat akan dicapai oleh semua kelompok agama, yang berbeda-beda dalam pemikiran, dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan, dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu: pertama, memenuhi kaidah iman kepada Allah, kedua, iman kepada Haru Akhir, ketiga, beramal saleh. Sebagian mufasir menolak teori keselamatan yang sedemikian terbuka, dengan alasan bahwa ayat tersebut sudah dihapus (mansūkh) oleh Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 85 yang menyatakan:

“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima dari padanya, dan dia di akhirat termasuk oramg-orang yang merugi”.

Menanggapi hal ini, Sayyid Husein Fadlullāh mengatakan bahwa makna Surat Ali-Imrān [3]: 85 ini sesungguhnya tidak bertentangan dengan kedua ayat yang telah disebutkan di atas, karenanya, tidak ada ayat yang dimansukh. Menurutnya, “Islam” pada surat Ali Imrān [3]: 85 adalah Islam dalam arti “umum”, yang meliputi semua risalah dari langit, bukan “Islam” dalam artian agama “Islam” yang dibawa Nabi Muhammad saw. Pengertian seeperti ini dapat diambil dari konteks ayat itu. Dalam surat yang sama ayat 19, dinyatakan: “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam”

Jadi, menurut Al-Qur’an semua agama yang diturunkan Allah adalah “Islam”, berarti “kepasrahan total”. Hal ini juga diperkuat dengan ayat-ayat-Nya yang lain dalam surat al-Baqarah [2]: 131-132:

Baca Juga:  Ibn al-‘Arabi Sang Penyair

“Ingatlah ketika Tuhannya berkata kepadanya (Ibrahim); Islamlah kamu. Ibrahim berkata, “Aku Islam kepada Tuhan Pemelihara Semesta Alam. Dan ketika Ibrahim dan Ya’kub berwasiat kepada anak-anaknya, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih bagi kamu agama, maka janganlah kamu mati kecuali kamu menjadi orang-orang Islam.”

Selanjutnya, dikatakan bahwa firman Allah dalam Al-Baqarah [2]: 62 adalah dimaksudkan untuk menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah. Melaluinya Al-Qur’an sebenarnya ingin menyindir orang-orang yang merasa akan selamat hanya karena nama atau penampilan lahiriah saja. Keselamatan sejatinya diperoleh hanya dengan berpegang teguh kepada keimanan pada Allah, Hari Akhir, dan amal saleh. Orang-orang seperti itu, selanjutnya dikatakan oleh Al-Qur’an, tidak lebih sebagai bersandar pada angan-angan.

Sejalan dengan  Sayyid Husein Fadlullah, Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengenai makna Surat al-Baqarah [2]: 62, menjelaskan sebagai berikut: “Hukum Allah itu adil dan sama. Dia memperlakukan semua pemeluk agama dengan sunnah yang sama; tidak berpihak pada satu kelompok dan menzalimi kelompok yang lain. Ketetapan dari sunnah ini ialah bahwa bagi mereka pahala tertentu dengan janji Allah melalui lisan Rasul mereka. Ayat ini menjelaskan sunnah Allah swt. dalam memperlakukan umat-umat baik yang terdahulu maupun yang kemudian sesuai dengan ketentuan-Nya”.

Menurutnya, ayat ini menjelaskan perlakuan Allah kepada setiap umat yang mempercayai nabi dan wahyunya masing-masing, tidak masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi saw., dengan mengira bahwa kebahagiaan di akhirat seakan-akan pasti akan tercapai hanya karena Muslim, Yahudi, Nasrani, atau Shabiiyah, misalnya. Padahal Allah berfirman bahwa keselamatan bukan karena kelompok keagamaan (jinsiyyah al-diniyyah), melainkan keselamatan itu dicapai dengan iman yang benar dan amal yang memperbaiki manusia. Karena itu tertolaklah anggapan bahwa keputusan Allah tergantung pada angan-angan orang Islam dan angan-angan Ahli Kitab. Sudah ditetapkan bahwa keputusan Allah bergantung pada amal baik dan iman yang benar.

Baca Juga:  Tasawuf: Sebuah Penghayatan untuk Mengenal Diri dan Mengenal Tuhan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama merupakan prinsip sangat mendasar dan pokok dalam Islam, yang tidak sekedar sebagai teori atau konsep, melainkan juga telah diejawantahkan dalam bentuk praktik kehidupan nyata saat Islam menjelma dalam bentuk negara. Pluralisme agama dalam Islam mengakui keragaman agama-agama, akan tetapi tidak berarti ia menyetujui adanya kebenaran yang sama antar agama, sehingga menjadikan persatuan agama-agama sebagai jalan menuju kebenaran Tuhan. Pluralisme agama dalam Islam tetap bertumpu pada komitmen dan loyalitas yang kuat dari setiap pemeluk agama terhadap ajaran agama masing-masing, tanpa harus mengorbankan kebenaran ajaran agama sendiri, dalam suasana pengakuan koeksistensi, atas dasar toleransi dan penghargaan bersama dalam ikatan keberadaban. Wallahu A’lam.

0 Shares:
You May Also Like