Dimensi Politik Ibnu Thufail dalam Risalah Hayy Ibn Yaqzan

Ibnu Thufail masyhur dikenal sebagai salah satu filsuf besar Islam Andalusia. Hal tersebut didasarkan pada kontribusi Ibnu Thufail baik dalam bidang filsafat, dan keilmuan Islam pada umumnya. Fakta tersebut tidaklah mengherankan, sebab Ibnu Thufail selama hidupnya memang dikenal sebagai tokoh yang berkontribusi besar dalam bidang filsafat Islam, khususnya dalam usaha mendamaikan agama dan filsafat. Lewat usahanya tersebut, lahirlah sebuah karya besar, Risalah Hayy Ibn Yaqzan (Seyyed Hossein Nasr, 2003: 391).

Hayy Ibn Yaqzan bukan saja karya Ibnu Thufail yang lahir dari usahanya mendamaikan agama dan filsafat, namun menjadi karya besar Ibnu Thufail dalam bidang filsafat Islam, yang cakupan isinya meliputi berbagai aspek atau tema besar dalam dunia filsafat, seperti ontologi, epistemologi, aksiologi, manusia hingga politik. Aspek politik dalam  Risalah Hayy Ibn Yaqzan dapat dikatakan menjadi aspek yang jarang atau bahkan belum dikaji secara serius. Seperti diketahui, dalam pemikiran Ibnu Thufail tidak ditemukan pemikiran khusus tentang politik.

Jika ditelusuri, pemikiran Ibnu Thufail lebih kepada pemikiran filsafat secara umum, bahkan lebih cenderung pada sufistik, seperti terlihat dalam Risalah Hayy Ibn Yaqzan. Selain itu, pemikiran Ibnu Thufail lebih difokuskan pada usaha dan cara rasional dalam mencapai hakikat, yang sama sekali tidak terkandung dimensi politik di dalamnya. Ini juga terlihat dari penjelasan Hillel Fradkin yang menyebut bahwa kehidupan dan pemikiran politik bukan menjadi perhatian Ibnu Thufail (Charles E. Butterworth, 1992: 235).

Meskipun demikian, bukan berarti tidak ditemukan dimensi politik sama sekali dalam pemikiran Ibnu Thufail. Seperti dijelaskan Hillel Frakin, dimensi politik dapat ditemukan pada pemikiran Ibnu Thufail dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzan, terutama ketika membahas pertemuan Hayy dengan Absal (Charles E. Butterworth, 1992: 236). Dikisahkan bahwa Absal menceritakan kepada Hayy tentang sulitnya menjelaskan kebenaran-kebenaran yang diperoleh Absal kepada masyarakat di mana Absal tinggal, yaitu kebenaran berbasis agama yang diyakini Absal.

Baca Juga:  Beragama Secara Damai Perspektif Nasaruddin Umar

Hayy yang juga setuju dengan kebenaran-kebenaran yang disampaikan Absal, kurang begitu percaya dengan apa yang disampaikan Absal, tentang kesulitan tersebut. Menurut Hayy yang selama hidupnya tidak pernah bertemu manusia lain kecuali Absal, merasa hal tersebut mustahil, mengingat Absal begitu mudah diajak bicara, dan semua pembicaraan mereka bermuara pada hal yang sama dengan Absal, seharusnya kesulitan tersebut tidaklah terjadi. Untuk membuktikan itu semua, akhirnya Hayy mengikuti Absal kembali ke kota.

Perginya Hayy bersama Absal ke kota tidak hanya untuk membuktikan penjelasan Absal, tentang ketidakmampuan masyarakat di tempat Absal dalam memahami kebenaran dan menjadi bijaksana seperti yang telah dilakukan Hayy dan Absal. Perginya Hayy ketempat Absal inilah yang dinilai mengandung dimensi politik, selain untuk mengetahui mengapa masyarakat di tempat Absal tidak mampu atau “tidak mau menerima” kebenaran yang disampaikan Absal. Hayy juga mempunyai misi khusus dalam kunjungan tersebut, yaitu melakukan misi politik.

Pencerahan terhadap warga kota di mana Absal tinggal. Pada bagian inilah kemudian menawarkan kesepakatan untuk mempertimbangkan serta mendiskusikan dimensi politik. Ketika Hayy sampai di kota dan bertemu dengan Absal, kemudian menceritakan pengetahuan yang ia dapat kepada masyarakat, banyak yang tidak setuju, bahkan tidak menyukai penjelasan Hayy. Hayy kemudian berpikir, ternyata masyarakat berbeda-beda, tingkat pemahaman, karakter dan lainnya, sehingga tidak heran Al-Qur’an menyampaikannya dengan tidak to the point.

Namun dengan menggunakan bahasa-bahasa, istilah, dan perumpamaan-perumpamaan tertentu. Dari situlah kemudian Hayy berpikir bahwa dunia luar tidak cocok dengannya, hingga akhirnya Hayy memutuskan kembali ke pulau tempat tinggalnya semula (Abu Bakr Muhammad Ibn Tufayl, 2010: 277). Secara singkat, berdasarkan cuplikan kisah tersebut, kita dapat melihat bahwa terdapat dimensi politik yang jelas dalam Risalah Hayy Ibn Yaqzan.

Pengungkapan dimensi politik tersebut memang bukan suatu hal yang mudah. Sebab, Risalah Hayy Ibn Yaqzan lebih dikenal sebagai karya filosofis dalam bentuk novel. Dengan kajian yang diarahkan pada pembahasan seperti filsafat manusia, konsep akal, konsep ketuhanan dalam Hayy Ibn Yaqzan, dan tema filosofis sejenis yang memang jelas terkandung dalam risalah tersebut.

Baca Juga:  Guru Sufi tertentu Menerima Ajaran Tambahan dari Nabi di Luar Al-Qur’an dan Hadis. Benarkah ?

Padahal, menurut Miharjo Bozovic, pengungkapan tersebut dapat menjadi perspektif baru dalam kajian filsafat Islam, khususnya dalam mengkaji pemikiran Ibnu Thufail, yang terkandung dalam Risalah Hayy Ibn Yaqzan. Kenapa? Sebab dalam Risalah terdapat kemungkinan untuk mengkaji tentang proses terbentuknya peradaban (the civilizing process). Dalam bentuknya yang paling murni, yaitu dari kelahiran manusia (Mihaljo Bozovic, 2017: 81).

Uraian tersebut merupakan beberapa contoh perspektif baru yang mungkin dikaji dan ditemukan (discovering) pada Risalah Hayy Ibn Yaqzan, yang terkait erat dengan dimensi politik. Bahwa dimensi polilik dalam Risalah Hayy Ibn Yaqzan benar-benar ada, dan merupakan aspek penting dalam pemikiran Ibnu Thufail yang terkandung didalam Risalah Hayy Ibn Yaqzan.

Daftar Bacaan:

Butterworth, Charles E. ed. The Political Aspects of Islamic Philosophy. CenterFor Middle Eastern Studies of Harvard University, United States of America: Harvard University Press. 1992.

Hossein Nasr, Seyyed, dan Olivier Leaman. ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I. Bandung: Mizan. 2003.

Tufail, Abu Bakr Muhammad Ibn. Hayy bin Yaqzan: Manusia dalam Asuhan Rusa, Terj. Nurhidayah. Yogyakarta: Navila. 2010.

Lihat Jurnal Kom  : Casopis Za Religijske Nauke. Volume 6. Nomor 3. Mihajlo Bozovic. The Process of Civilization in Ibn Tufayl’s Hayy Ibn Yaqzan. 2017

0 Shares:
You May Also Like