Meneladani Moh Hatta (4): Solidaritas Global dan Arti Penting Kemerdekaan

Salah satu perjuangan yang dilakukan Hatta untuk menikam kolonialisme Belanda, yakni dengan aktif memperkenalkan Indonesia dan gerakannya di benua Eropa. Pada tahun 1926 misalnya, Hatta pergi ke Bierville, Prancis, sebagai wakil Perhimpunan Indonesia (PI) untuk turut serta dalam Kongres Demokrasi Internasional yang dihadiri oleh para utusan dari 31 bangsa, sebagian besar adalah bangsa Asia.

Menurut catatan Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (2012), pada kesempatan tersebut Hatta menjadi penghubung di antara utusan-utusan Asia yang sebagian hanya tahu bahasa Inggris, dan sebagian lainnya hanya bisa bahasa Prancis. Hatta memang dikenal sebagai orang yang menguasai berbagai bahasa asing. Adapun dalam kongres tersebut, Hatta berhasil meyakinkan kongres agar mempergunakan kata “Indonesia” dan bukan “Hindia Belanda” dalam merujuk tanah airnya. Kongres pun menyepakati bahwa perdamaian dunia yang didambakan tidak akan tercapai bila penjajahan terus menindas bangsa-bangsa, termasuk di Asia.

Sebagai catatan, sebagaimana yang sudah dikemukakan dalam tulisan sebelumnya (lihat Meneladani Mohammad Hatta (2) dan (3)), Hatta dan beberapa temannya pada tahun 1927 tersandung masalah hukum, meski akhirnya mereka ditahan hanya beberapa bulan dan akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan. Setelah bebas, Hatta dan teman-temannya menghadiri kongres Internasional Menentang Kolonialisme di Brusseles, Belgia. Apa yang disuarakan oleh Hatta dan teman-temannya saat itu, yakni bagaimana keadaan rakyat yang menderita di bawah jajahan Belanda. Pertemuan-pertemuan internasional tersebut dimanfaatkan juga oleh Hatta untuk lebih banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia.

Di Kongres liga ke-2 di Frankfurt pada 1929, Hatta berkenalan dengan lebih banyak lagi tokoh. Meski sayangnya, di dalam kongres tersebut terdapat perselisihan antara komunis dan nonkomununis. Hatta pun amat menyayangkan, bahkan akhirnya Hatta pun dipecat oleh liga.

Baca Juga:  Meneladani Moh Hatta (1): Konsistensi, Kritisisme, dan Kepedulian pada Penderitaan Rakyat

Akan tetapi, usaha Hatta untuk memperkenalkan Indonesia di Eropa terus berlanjut. Ia berpidato tentang Indonesia pada Internasional League of Women for Peace yang diadakan di Gland, Swiss. Hatta juga berpidato di hadapan para mahasiswa Indologidi Utrecht Belanda. Dalam pidato-pidatonya tersebut, Hatta selalu menjelaskan penderitaan yang dialami rakyat, dan soal cita-cita kemerdekaan.

Dalam pidatonya di Utrecht, Hatta melihat kesempatan tersebut sebagai usaha untuk membalikkan pemikiran para calon pejabat (yang nantinya ditugaskan di Indonesia) dalam melihat Indonesia. Tentu, Hatta mengupayakan agar para calon pejabat tersebut kelak tidak semakin memperkokoh praktik kolonial. Hatta pun banyak melakukan kritik terhadap bahan-bahan bacaan (yang umumnya ditulis oleh pejabat Belanda) yang dibaca oleh para mahasiswa Indologi tersebut.

Bila kita cermati titik perhatian, keperihatinan, pemikiran dan perjuangan Hatta pada masa pergerakan, salah satu kata kuncinya yaitu “kemerdekaan”. Lalu, yang menjadi pertanyaan, mengapa kemerdekaan bagi seorang Hatta sebegitu penting? Jawabannya, mengutip Deliar Noer (2012), “Hatta tidak melihat kemerdekaan sebagai kemegahan bangsa, melainkan untuk kemanusiaan dan peradaban”.

Apa yang dikemukakan oleh Deliar Noer tersebut tentu sangat beralasan, mengingat Hatta sendiri dalam Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (2011) mengatakan, “Aku telah menyebutkan bahwa imprealisme Barat harus disudahi untuk kepentingan kemanusiaan dan tiap-tiap bangsa yang terjajah mempunyai kewajiban untuk memerdekakan dirinya dari penjajahan. Dan karena itu, Indonesia harus mencapai kemerdekaan atas dasar kemanusiaan dan peradaban”.

Lalu, yang perlu kita renungkan, keteladanan apa yang bisa kita ambil dari sepanggal kisah Hatta di atas? Pertama, jelas kegigihan dari seorang Mohammad Hatta. Kedua, hal yang tidak pernah terlewatkan dari setiap kisah perjalanan Hatta, yakni kepeduliannya terhadap rakyat yang selalu ia tunjukkan dalam berbagai tulisannya maupun pidato-pidatonya di banyak tempat dan di banyak waktu, serta segala tindak-tanduknya yang menunjukkan hal demikian. Ketiga, dan ini menjadi poin kunci dalam tulisan ini, yakni arti penting kemerdekaan bagi seorang Hatta.

Baca Juga:  Etika Politik Islam dalam Pemikiran Hamka

Bila saya terjemahkan konteks pentingnya kemerdekaan menurut Hatta dalam konteks kekinian, maka dapat dikatakan bahwa apa yang disebut nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari kemanusiaan. Itu artinya, mustahil bagi kita meneriakkan diri sebagai nasionalis, tapi di saat bersamaan kita mengabaikan atau menutup mata atas berbagai hal yang mencabik nurani kemanusiaan.

Haram bagi kita meneriakkan “NKRI Harga Mati”, tapi di saat bersamaan kita mengabaikan atau menutup mata atas tindakan-tindakan rasisme, dan sebagainya. Haram bagi kita membicarakan soal nasionalisme, tetapi di sisi lain, kita berusaha menutup mata ataupun mengubur segala bentuk pelanggaran kemanusiaan yang pernah terjadi di negeri ini (seperti peristiwa 65-66 dan sebagainya). Sebab, nasionalisme dengan fondasi kemanusiaan yang kokoh itulah yang menjadi landasan perjuangan seorang Hatta dan menjadikan arti kemerdekaan begitu penting baginya.

Selain poin kunci tersebut, saya rasa poin penting lainnya, yaitu bagaimana seorang Hatta yang berusaha keras untuk menjalin persaudaraan antar-bangsa. Sebelumnya, pertama-tama, konteks persaudaraan tersebut bisa kita tarik pada persauadaraan antar anak suku bangsa di Indonesia yang amat beragam ini, sebagai upaya untuk membangun nasionalisme yang “berkeadaban” dan memperkokoh modal sosial; keduanya, sebagaimana Hatta yang aktif menjalin persaudaraan global dalam perjuangannya, hal tersebut pun jelas sangat relevan untuk hari ini dan seterusnya, kita perlu membangun atau memperkuat persaudaraan global dan mengupayakan solidaritas global untuk menghadapi apa-apa yang memang menjadi permasalahan global.

 

0 Shares:
You May Also Like