Dimensi Akhlak-Tasawuf TGKH. Zainuddin Abdul Madjid: Sebuah Pengantar

Sebelum masyarakat Lombok (Suku Sasak) memeluk Agama Islam, suku Sasak percaya kepada roh dan kekuatan gaib (animisme dan dinamisme). Selain itu, pulau Lombok juga dikenal dengan sebutan Gumi Selaparang. Karena pada masa-masa kedatangan dan pertumbuhan agama Islam di pulau Lombok, bersamaan dengan itu berdiri kokoh kerajaan Selaparang. Selaparang merupakan nama kerajaan yang terbesar di pulau Lombok, yang didirikan oleh Prabu Rangkesari pada abad ke-16 M.

Abad ke-13, ditandai sebagai masa awal Islam masuk ke pulau Lombok. Masyarakat Lombok, pada umumnya mempercayai bahwa yang menyebarkan Islam di pulau Lombok adalah para raja Jawa Muslim yang dipenuhi dengan ajaran mistisime. Berdasarkan mitologi lokal yang dicatat dalam berbagai babad atau “sejarah-sejarah” dituliskan bahwa Sunan Giri yang termasuk dalam sembilan wali (Wali Songo) dikatakan yang telah menyebarkan Islam di seluruh Nusantara bertanggung jawab atas diperkenalkannya Islam di tanah Lombok pada tahun 1545, penyebaran agama Islam ke pulau Lombok dilakukan oleh Sunan Prapen atas perintah dari Sunan Giri.

Abad ke-16, dikatakan sebagai masa kejayaan Islam di Lombok yang ditandai dengan masuknya Islam ke dalam tatanan istana kerajaan-kerajaan di Lombok. Hal-hal demikian ditandai dengan dijadikannya kerajaan sebagai tempat utama urusan keagamaan—segala sesuatu yang berkaitan dengan agama dijadikan sebagai urusan kerajaan—seperti; ditunjuknya seseorang yang akan menjadi guru agama oleh raja. Selain itu, hal-hal demikian juga ditunjukkan dengan dijadikannya istana sebagai tempat dilangsungkannya dakwah keagamaan. Sebut saja kerajaan Selaparang dan kerajaan Pejanggik, ialah dua kerajaan Islam yang pernah eksis di pulau Lombok, yang selanjutnya dikenal dengan nama Gumi Selaparang.

John Ryan Bartholomew menjelaskan dalam bukunya yang berjudul (Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak). Kedatang Islam ke Pulau Lombok, sangat berkaitan erat dengan kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Secara keseluruhan, awal perkembangan agama Islam di pulau Lombok dari yang diketahui, terdapat dua terma penting:

Baca Juga:  Meneladani Moh Hatta (2): Keberanian, Visi Persatuan dan Pentingnya Pendidikan dalam Sebuah Perjuangan

Pertama, pulau Lombok merupakan situs dari bermacam-macam inkursi-inkursi yang mempengaruhi praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan suku Sasak. Kedua, ada seruan priodik namun konsisten terhadap purifikasi agama.

Kedua terma (kondisi sosial, ekonomi, dan politik) tersebut yang menurut John Ryan Bartholomew kadang-kadang yang memberi stimulus perasaan (orang-orang suku Sasak saat itu) akan kebutuhan untuk memperbarui agama atau jika dibahasakan dengan bahasa yang sederhana ialah kedatangan Sunan Prapen dengan misi suci untuk menyebar luaskan agama Islam ke pulau Lombok juga menggunakan perlawanan dengan peperangan yang dikarenakan tidak seluruh masyarakat suku Sasak saat itu menerima kedatangan agama Islam ke pulau Lombok. Hal itulah yang menyebabkan Sunan Prapen dan pasukannya menyerbu kerajaan-kerajaan di Lombok hingga kerajaan-kerajaan Lombok jatuh ke tangannya. Kekalahan kerajaan-kerajaan Lombok dari tangan Sunan Prapen dan para prajuritnyalah yang menyebabkan timbul perasaan akan kebutuhan untuk memperbarui agama dan kondisi sosial masyarakat suku Sasak.

Sesudah para Wali Jawa, Tuan Guru menjadi generasi pelanjut misi dakwah Islam di pulau Lombok. Tuan Guru, ialah tokoh yang begitu sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan Islam di pulau Lombok, dan juga menjadi tokoh yang berpengaruh dalam hal laku keagamaan ataupun laku spiritual masyarakat Lombok. Sebagai tokoh yang sangat berpengaruh, Tuan Guru memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan dan keberadaan Islam di pulau Lombok sampai hari ini.

Keberadaan Tuan Guru di pulau Lombok merupakan sebuah instrumen yang sangat penting dan memiliki andil yang sangat besar dalam keberlangsungan hidup masyarakat di pulau Lombok, mulai dari  pembinaan dan peningkatan sumber daya masyarakat terlebih dalam urusan sosial-keagamaan. Tuan Guru yang secara etimologi memiliki pengertian sebagai seseorang yang sangat pandai dalam urusan ilmu Agama. Istilah Tuan Guru biasanya disandangkan kepada seseorang yang secara keilmuan, telah belajar ilmu Agama secara sangat mendalam di kota Makkah. Mengutip perkataan Geertz dan Hiroko Hirokoshi dalam penelitiannya yang telah dikutip oleh Muharir; menunjukan bahwa Kiai atau Tuan Guru merupakan tokoh agama yang memiliki posisi sangat penting dalam keberlangsunga kehidupan suatu masyarakat, terkhusus dalam laku sosial dan laku keberagamaa suatu masyarakat.

Baca Juga:  Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan dan Pembaharuan Islam di Pulau Lombok

Istilah Tuan Guru digunakan untuk menyebut ulama atau seseorang yang dapat memahami ilmu agama secara mendalam yang pernah belajar ilmu Agama ke kota Makkah, dan juga pernah menunaikan ibadah haji. Muharir dalam penelitiannya yang berjudul Pesantren Tuan Guru dan Semangat Perubahan Sosial mengatakan, bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat di Lombok, Tuan Guru memiliki otoritas dan kharismatik. Dalam masyarakat Sasak, sebagaimana disebutkan oleh Jamaluddin dalam bukunya yang berjudul Sejarah Islam Lombok: Abad XVI-Abad XX, dikatakan bahwa Tuan Guru memiliki pengaruh yang sangat besar, lebih dari itu status sosial Tuan Guru menduduki posisi yang sangat strategis. Masyarakat Sasak memiliki pandangan tersendiri tentang Tuan Guru, besarnya pengaruh Tuan Guru juga tidak dapat dilepaskan dari sikap dan pemahaman keagamaan masyarakat Sasak itu sendiri. Dalam tradisi masyarakat Sasak, Tuan Guru sebagai tokoh agama dijadikan patron atau panutan yang setia bagi masyarakat dalam mengarungi proses kehidupan.

Salah satu sosok Tuan Guru yang terdapat di pulau Lombok, yang memiliki peranan yang sangat sentral dalam urusan keberagamaan dan kesosialan masyarakat Lombok ialah TGKH. Zainuddin Abdul Madjid yang selanjutnya dekenal dengan sebutan al-Magfurul Maulan Syaikh, yang akan penulisa jadikan sebagi tokoh sentral atau sebagai fokus utama pembahasan dalam tulisan ini, dan tema yang akan digali dalam tulisan ini ialah Menyelami Dimensi Akhlak-Tasawuf  Tuan Guru dalam Keberlangsungan dan Perkembangan Agama Islam di Pulau Lombok.

Tasawuf sebagai suatu cabang keilmuan Islam tradisional pada awalnya dipahami dalam pengertian zuhud, ialah sebagai suatu sarana untuk mendekatkan diri dan berserah diri kepada Allah. Tasawuf dalam literatur Barat disebut sebagai Islamic mysticsm atau Islamic esoteric, baik sebagai praktik maupun doktrin telah melewati perjalanan sejarah yang panjang. Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam (Islamic Studies) yang memusatkan perhatian pada aspek pembersihan rohani manusia agar dapat membentuk akhlak yang mulia.

Baca Juga:  Menengok Kembali Semangat Persatuan Soekarno

Dalam konteks ini, sebagaimana dikatakan oleh Ashadi dalam penelitiannya yang berjudul; Nahdlatul Wathan Dalam Gerakan Islam di Nusantara (Studi Atas Pemikiran dan Model Dakwah Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid di Kabupaten Lombok Timur). Pemikiran keagamaan TGKH. Zainuddin Abdul Madjid dalam bidang tasawuf, dapat dilihat dalam Shalawat Nahdatain dalam organisasi Nahdlatul Wathan, hal tersebut merupakan, buah pemikiran yang muncul dari pandangannya dalam bidang tasawuf. Sebab, di dalam bidang tasawuf seseorang akan menjernihkan jiwa, menjernihkan akhlak. Selain itu, pemikiran TGKH. Zainuddin Abdul Madjid tentang tasawuf juga terlihat dalam Hizib Nahdatul Wathan. Dalam pengamalannya—membaca Hizib Nahdlatul Wathan—bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk menennangkan jiwa dan batin serta dijauhkan dari sifat-sifat tercela, dan tertujunya kehidupan dunia dan akhirat.

0 Shares:
You May Also Like