Meneladani Moh Hatta (3): Kematangan dan Kedewasaan dalam Berpikir dan Bertindak

Menjadi seorang aktivis di tengah pemerintahan kolonial, tentu mempunyai tantangan tersendiri, itulah yang dirasakan dan dialami oleh Mohammad Hatta dan teman-temannya di Perhimpunan Indonesia. Terlebih lagi bagi seorang Mohammad Hatta, yang saat itu berstatus sebagai ketua Perhimpunan Indonesia. Hatta dihadapkan pada situasi, di mana anggota-anggotanya di Perhimpunan Indonesia mengalami berbagai ancaman, dari soal beasiswa pendidikan yang dicabut pemerintah Belanda, kemudian para anggotanya mendapat tekanan dari orang tuanya untuk meninggalkan Perhimpunan Indonesia, karena sebelumnya pemerintah kolonial menekan orang tua mereka yang berstatus sebagai birokrat atau pegawai sipil.

Di situlah tantangan bagi Hatta dan para aktivis Perhimpunan Indonesia lainnya agar membuat organisasi tetap solid. Tidak hanya itu, Hatta dan teman-temannya pun dihadapkan pada ancaman penjara, karena aktivitasnya di Perhimpunan Indonesia dianggap membahayakan pemerintahan kolonial Belanda. Ujian bagi Hatta dan para aktivis saat itu, yakni gagalnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926, yang menyebabkan PKI menjadi partai terlarang. Status terlarangnya PKI saat itu, jelas merugikan pergerakan nasional, karena mengurangi kekuataan perlawanan terhadap kolonialisme.

Di tengah himpitan situasi yang saat itu, mungkin terasa sangat pengap bagi Hatta, Hatta tetap berusaha memutar otaknya dan tidak menyurutkan semangat dan harapannya agar rakyat Indonesia terbebas dari kolonialisme Belanda yang dianggap menyengsarakan rakyat. Dalam buku Students, Nationalism & Prison: Perhimpunan Indonesia (2018) yang ditulis oleh Jhon Inglesoon, dikatakan bahwa Hatta menyerukan agar para alumni Perhimpunan Indonesia turut aktif di berbagai organisasi/partai yang ada di Indonesia, dan turut memasukan ideologi Perhimpunan Indonesia di dalam berbagai organisasi atau partai tersebut.

Hatta pun saat itu menginginkan terbentuknya suatu partai nasionalis di Indonesia, yang tidak condong baik ke Islam maupun komunis. Dalam pengakuannya, melalui makalahnya yakni “Participating in the Struggle for Indonesia’s National Independence” (1974), Hatta mengatakan bahwa partai tersebut harus merupakan duplikat dari Perhimpunan Indonesia itu sendiri dan harus menjalankan tugas politik Perhimpunan Indonesia bagi Tanah Air, apalagi saat itu PKI telah menjadi partai terlarang. Sebab itu, partai baru harus sedikit moderat, tapi tetap berdasarkan prinsip nonkoperasi. Tekanan utama kegiatannya haruslah mengorganisasi, dan bukan agitasi.

Baca Juga:  Ijtihad Kebangsaan R.K.H. Abdul Hamid Baqir

Bila kita cermati dari pernyataan Hatta tersebut, maka nampak jelas Hatta lebih mementingkan pendidikan rakyat dibanding perjuangan dengan kekerasan. Hal itu juga yang menyebabkan Hatta tidak menyepakati pemberontakan PKI. Saya rasa, pertimbangan Hatta tentu tidak bisa dilepaskan dari basis-basis material pemerintah Belanda yang jelas jauh lebih unggul, sehingga perjuangan dengan kekerasaan bukan hanya merugikan gerakan nasional, tapi akan merugikan atau mengorbankan rakyat juga.

Inglesoon (2018) menulis “Hatta menekankan keyakinannya yang selalu ia kemukakan tentang pentingnya secara bertahap mendidik rakyat Indonesia dan mempersiapkan mereka untuk menjadi bangsa merdeka”.

Akan tetapi, rencana Hatta tersebut disambut dingin oleh alumni Perhimpunan Indonesia yang saat itu aktif di Studi Umum. Rencana Hatta dianggap terlalu moderat. Pada 1927, terbentuklah PNI dengan Soekarno sebagai ketuanya. Sebelumnya, Hatta bisa dikatakan dipinggirkan oleh para alumni PI yang turut membentuk PNI tersebut. Dalam konteks tersebut, jelas menghadirkan perselisihan antara Hatta dengan PNI, terutama menyoal taktik dan strategi.

Meski demikian, bisa dikatakan Hatta tetap mempunyai jasa atas terbentuknya PNI tersebut. Mengingat, konsepsi PNI saat itu sesuai dengan konsepsi yang sebelumnya dikembangkan oleh PI, yakni kesatuan nasional, solidaritas, nonkooperasi dan swadaya. Artinya, meski saat itu terjadi perbedaan taktik dan strategi, terbentuknya PNI tetap mengambil inspirasi dari Hatta dan  Perhimpunan Indonesia.

Pembelajaran dan Aktualisasi

Apa yang saya uraikan di atas, tentu merupakan ulasan yang amat sederhana, bukan ulasan yang mendalam. Akan tetapi, untuk mengambil pembelajaran dan diterapkan secara praksis dalam konteks kekinian, serta mengaktualisasikan dari uraian sederhana tersebut, bukanlah hal yang mudah. Hatta sudah menunjukkan keteladanan yang luar biasa, yang bahkan sudah diperlihatkannya sejak usia muda.

Baca Juga:  Raden Ajeng Kartini dan Tafsir Sufi Faidh al-Rahman

Pertama, yakni soal pengorbanan. Saya rasa, dengan status pelajar di negeri Belanda, Hatta dan teman-temannya bisa mendapat berbagai jabatan setelah lulus nanti. Akan tetapi, dibanding “hidup nyaman dan aman”, mereka justru lebih memilih untuk memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat banyak, dan ganjaran atas pilihan tersebut saat itu, yakni penjara.

Kedua, Hatta menunjukkan bahwa ia bukan hanya “seorang pemimpin, tapi sekaligus pemikir”, sehingga meskipun di usianya yang masih sangat muda, meski dalam keadaan sulit dengan berbagai himpitan, berbagai tantangan dalam perjuangan sebagaimana yang dikemukan di atas, bahkan tengah menghadapi ancaman hukuman. Hatta tetap bisa berpikir tenang, sambil menyusun berbagai taktik dan strategi agar gerakan perlawanan terus bisa dilancarkan.

Ketiga, dari uraian di atas, memperlihatkan juga bagaimana kepedulian Hatta pada rakyat. Nampak jelas bagaimana seorang Hatta lebih mengutamakan “keselamatan rakyat”, sehingga ia lebih menghendaki mengutamakan pendidikan rakyat dibanding perjuangan melalui kekerasan. Tentu saja, pendapat Hatta didasarkan pada analisis yang jelas, mengingat basis-basis material yang belum memungkinkan, sehingga perjuangan dengan kekerasaan, bukan hanya akan merugikan pergerakan, tapi juga akan mengorbankan darah rakyat.

Saya rasa, sosok Hatta memang sangat inspiratif. Kematangan dan kedewasaannya dalam berpikir dan bertindak bahkan sudah diperlihatkannya sejak usia mudanya. Oleh sebab itu, bagi saya, Hatta adalah salah satu referensi terbaik yang bisa dijadikan teladan, baik oleh elite politik, dan terutama para generasi muda.

0 Shares:
You May Also Like