Ijtihad Kebangsaan R.K.H. Abdul Hamid Baqir

R.K.H. Abdul Hamid Baqir (akrab disapa Kiai Baqir) bin Abdul Majid (w. 1980 M.) adalah pengasuh kelima Pondok Pesantren Banyuanyar―salah satu pesantren tertua di bumi Nusantara (berdiri sekitar tahun 1787 M./1204 H) dan hingga kini masih memberikan kontribusi nyata bagi kemaslahatan bangsa dan kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di sisi lain, Kiai Baqir juga mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pertama Pondok Pesantren An-Nur, Kalibaru, Banyuwangi, tahun 1957 (Zainuddin Syarif, Dinamisasi Manajemen Pendidikan Pesantren; Dari Tradisional hingga Modern, 2018: 28).

Selain berkontribusi bagi kemaslahatan bangsa dan negara melalui pendidikan di dua pesantren tersebut, Kiai Baqir juga turut serta berjuang melawan penjajah Belanda di pulau Jawa, seperti di daerah Jember dan Banyuwangi. Beliau gigih berjuang semata-mata karena Allah. Oleh karena itu, beliau tidak mau diberi uang pesangon. Bahkan beliau berpesan agar segera dikubur jika sudah meninggal agar tidak diketahui oleh khalayak ramai. Sebab, beliau memang ingin menjadi pahlawan yang tidak dikenal, yang berjuang karena Allah semata (hlm. 26-27 & Achmad Baidowi (ed.), Kalam Hikmah R.K.H. Muhammad Syamsul Arifin, 2019: 91).

Pada tahun 1970-an, Jenderal Sudomo mengunjungi Pondok Pesantren Banyuanyar sembari memberikan dua monumen burung Garuda sebagai penghargaan kepada Kiai Baqir yang telah berjuang melawan penjajah Belanda. Dua monumen burung Garuda tersebut berdiri gagah di arah timur dan arah barat pintu masuk Pondok Pesantren Banyuanyar hingga kini. Menurut Achmad Baidowi (Wakil Sekretaris Fraksi PPP DPR RI), keberadaan dua monumen burung Garuda tersebut menjadi bukti nyata bahwa Pondok Pesantren Banyuanyar berada di garda terdepan dalam melindungi dan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lihat: “Memaknai Pancasila dari Ponpes Banyuanyar”, dalam http://achbaidowi.com/ memaknai-pancasila-dari-ponpes-banyuanyar/, akses 15/08/2021).

Keislaman dan Keindonesiaan dalam Satu Tarikan Napas

R.K.H. Abdul Hamid Baqir adalah sosok yang kompleks, yaitu sebagai ulama yang mendidik para santri dan masyarakat, wali yang memiliki banyak karomah (baik berupa kesaktian maupun lainnya), pedagang tembakau yang ulung, aktivis partai (seperti Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII dan Partai Persatuan Pembangunan/PPP), dan pejuang kemerdekaan yang tangguh. Makanya, tidak heran jika Kiai Baqir juga dikenal sebagai kiai pejuang yang berjiwa patriotik (Lihat: “Mengenang 40 Tahun Meninggalnya K.H. Abd. Hamid Baqir: Kiai Pejuang Berjiwa Patriotik”, Radar Madura-Pamekasan, edisi Minggu 27 Desember 2020, hlm. 12).

Menurut K.H. Moh. Zuhri Zaini (Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton), Kiai Baqir memiliki perhatian kepada pendidikan, politik, dan pengembangan ekonomi. K.H. Moh. Zuhri Zaini menjelaskan bahwa Kiai Baqir aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan tujuan memperjuangkan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Lihat: “Testimoni Seminar Nasional Pena Santri 2020”, dalam https://www.youtube.com/watch?v= 6pxciTwUYJM, akses 16/08/2021).

Kiai Baqir tidak fanatik terhadap partai yang diikutinya. Sebab, partai bukan sebuah tujuan (ghâyah/maqâid), tetapi hanyalah sebuah sarana atau alat (waîlah) untuk mendapatkan tujuan. Oleh karena itu, beliau senantiasa membuka ruang untuk bekerjasama dengan sesama pejuang dan aktivis dari partai manapun asalkan memiliki tujuan yang sama. Dalam hal ini, beliau sering berdiskusi secara baik dengan K.H. Zaini Abdul Mun’im (yang merupakan aktivis Partai Nahdlatul Ulama/NU) mengenai masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Baca Juga:  Konsep Kematian Menurut Ibnu Sina dan Mulla Sadra

Menurut K.H. Abdul Ghofur (Pengasuh Pondok Pesantren al-Mujtama’, Plakpak), perjuangan Kiai Baqir selalu mengedepankan kebaikan dan kebersamaan tanpa permusuhan meski kepada lawan politiknya. Oleh karena itu, meskipun beliau sering bertentangan dengan beberapa kiai dalam masalah politik, tetapi beliau tetap menjalin silaturahmi ke kediaman mereka minimal tiga bulan sekali, seperti K.H. As’ad Syamsul Arifin, K.H. Zaini Abdul Mun’im, K.H. Mahrus Ali, dan K.H. Abdul Hakam.

Dalam hal ini, meskipun perjuangan Kiai Baqir keras, tetapi beliau tidak kasar. Sehingga beliau tidak menyakiti lawan politiknya ataupun pemerintah. Beliau memang sering bertentangan dengan pemerintah, tetapi tidak pernah menentang atau melawan pemerintah (Lihat:“Politik K.H Abd Hamid Baqir dan Awal Mula Berdirinya Sekolah Formal di Banyuanyar”, dalam https://www. youtube.com/watch?v=ywd39MOHNoA, akses 11/07/2021).

Trilogi Kebangsaan Kiai Baqir: Negara, Pancasila dan Rakyat

Zainuddin Syarif (Direktur Pascasarjana IAIN Madura) menjelaskan bahwa Kiai Baqir memiliki jiwa kebangsaan (patriotisme dan nasionalisme) yang membaja. Jiwa kebangsaan Kiai Baqir ini juga ditanamkan kepada segenap santri Pondok Pesantren Banyuanyar. Sehingga dalam jiwa mereka senantiasa terpatri dua hal yang tidak bisa dipisahkan, yaitu agama dan negara. Dalam hal ini, Kiai Baqir menekankan santri-santrinya membela negara dari rongrongan tangan-tangan jahat yang merugikan agama dan negara (Khoyrul Umam Syarif, “R.KH Abd Hamid Baqir, Sosok Pejuang Penuh Teladan: Kepemimpinan Religius Nasionalis Jadi Cerminan”, Kabar Madura, edisi Senin 4 Januari 2021, hlm. 1 & 7 & Dinamisasi Manajemen Pendidikan Pesantren, hlm. 29-30).

Menurut K.H. Abdul Ghofur, Kiai Baqir sendiri sangat gigih dan konsisten dalam mempertahankan Pancasila. Selain itu, Kiai Baqir mencetuskan pemikiran cemerlang berupa piagam TRI SAKTI P.P.B (Pondok Pesantren Banyuanyar) yang bisa dijadikan pegangan oleh para santri Pondok Pesantren Banyuanyar dan para santri pondok lain dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Isi piagam TRI SAKTI P.P.B ini adalah: Langkah dan Tindak-Tanduk. Minimal: (1) Negara jangan sampai rugi; (2) Pancasila jangan sampai terongrong; (3) Rakyat jangan sampai sakit. Maksimal: Harus menguntungkan ketiga-tiganya. Panca Bakti: (1) Cakap; (2) Rajin; (3) Jujur; (4) Taat; (5) Ikhlas. Memiliki 4 A: (1) Agama; (2) Akhlak; (3) Ahli; (4) Amal (Dinamisasi Manajemen Pendidikan Pesantren, hlm. 29).

Melalui piagam TRI SAKTI P.P.B tersebut, Kiai Baqir (sebagai santri zaman old yang turut serta berjuang memerdekakan bangsa Indonesia dari cengkeraman para penjajah) menitipkan amanah suci, baik kepada generasi santri berikutnya maupun kepada seluruh santri zaman now, agar berjuang sekuat tenaga (jihad) mengisi kemerdekaan dengan perbuatan-perbuatan baik untuk memakmurkan, menyejahterakan, dan menguntungkan negara, Pancasila, dan rakyat. Jika tidak, setidaknya (minimal) mereka menjaga negara (agar tetap lestari, aman, dan tidak rugi), Pancasila (agar tidak terongrong), dan rakyat (agar tidak sakit).

Baca Juga:  Syekh Abdul Karim al-Bantani: Guru Sufi dan Dalang Perlawanan Petani Melawan Belanda

Artinya, jika para santri zaman now tidak bisa mengisi kemerdekaan dengan perbuatan baik yang menguntungkan negara dan Pancasila dan menyejahterakan rakyat, maka minimal mereka menjaga dan mencegah perbuatan-perbuatan buruk yang bisa membuat negara rugi, Pancasila terongrong, dan rakyat sakit, baik perbuatan itu datang dari diri sendiri maupun datang dari orang lain.

Kiai Baqir menyebutkan bahwa masyarakat santri adalah bagian dari warga negara Indonesia. Oleh karena itu, mereka memiliki kewajiban moral untuk menjaga keamanan dan kelestarian bangsa dan berbakti kepada bangsa dan negara. Dalam hal ini, para santri bisa berbakti dengan pengetahuan (ilmu) yang diperoleh dari pondok pesantren yang didasari oleh agama dan sifat luhur santri (al-akhlâq al-karîmah), seperti kejujuran, ketaatan, dan keikhlasan (Dinamisasi Manajemen Pendidikan Pesantren, hlm. 29).

Menurut Zainuddin Syarif, Kiai Baqir sangat menekankan tanggungjawab moral komunitas pesantren (baik kiai maupun santri) dalam kehidupan beragama dan bernegara, yaitu menjadi aktor intelektual yang mampu memberikan kontribusi dan manfaat bagi agama dan negara (R.K.H. Abd Hamid Baqir, Sosok Pejuang Penuh Teladan, hlm. 7).

Beberapa modal yang harus dimiliki oleh para santri untuk mengisi kemerdekaan Indonesia adalah: agama, akhlak, ahli, amal, cakap, rajin, jujur, taat, dan ikhlas. Dengan demikian, seorang santri tidak hanya dituntut memiliki keislaman dan akhlak yang baik, tetapi juga dituntut memiliki pengetahuan, keterampilan (skill), kecakapan, keahlian, konsistensi, dan keikhlasan dalam mengembangkan dan memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Trilogi Prinsip Dakwah Kiai Baqir: Pangérân, Naghârah, Masrâkat

R.K.H. Abdul Hamid Baqir adalah sosok ulama yang ahli zikir, salawat, dan pencinta żurriyah (anak-cucu) Rasulullah saw. Oleh karena itu, beliau menekankan santri-santrinya agar tekun dalam ‘ubûdiyyah-spiritual, seperti salat malam dan lainnya. Selain itu, K.H. Mistari menyebutkan bahwa Kiai Baqir sangat menaruh hormat kepada żurriyah Rasulullah saw. seperti para habib (Dinamisasi Manajemen Pendidikan Pesantren, hlm. 30-32, “Amalan dan Ajaran K Baqir Banyuanyar oleh K.H. Khozin Sanusi-K.H. Syibli”, dalam https://www.youtube.com/watch ?v=5k2besrIA18, dan “Kecintaan K. Baqir kepada para Habaib-K.H Mistari”, dalam https://www.youtube.com/watch?v=T6vupANgj8s, akses 16/08/2021).

Adapun salah satu amalan Kiai Baqir adalah membaca kasidah Burdah karya Imam al-Bûṣîrî dan salawat Dalâ’il al-Khairât karya Imam Muḥammad al-Jazûlî. Keterangan ini disampaikan oleh K.H. Mistari dan K.H. Syibli. Menurut K.H. Mistari, Kiai Baqir menganjurkan santri-santrinya, baik masih aktif di pondok maupun sudah alumni, agar membaca kasidah Burdah. Sebab, salah satu amalan dan anjuran R.K.H. Abdul Majid (ayah Kiai Baqir) adalah membaca kasidah Burdah. Kiai Baqir sendiri membaca kasidah Burdah sampai khatam setelah zikir salat Subuh sebelum berdoa, di mana para santri mengikutinya dengan membaca salawat “mawlâya alli wa sallim dâ’iman abadân # ‘alâ abîbika khairil khalqi kullihimi.”

Dalam kehidupan sehari-hari, Kiai Baqir tidak hanya fokus kepada satu lapis masyarakat, tetapi bergaul dengan semua lapisan masyarakat, baik masyarakat biasa maupun para tokoh dan pejabat. Bahkan beliau menekankan santri-santrinya agar bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama pemerintah. Menurut K.H. Moh. Zuhri Zaini, Kiai Baqir adalah tokoh yang kharismatik dan sangat berpengaruh, baik di kalangan masyarakat biasa maupun di kalangan para pejabat (Lihat: “Testimoni Seminar Nasional Pena Santri 2020” dan Dinamisasi Manajemen Pendidikan Pesantren, hlm. 29).

Baca Juga:  BERTEMU AL-GHAZALI DI BASEMENT SEBUAH TOKO BUKU DI HARVARD SQUARE (BAGIAN 2)

Di sisi lain, Kiai Baqir memberikan nasihat agung dan brilian yang bisa dijadikan pegangan oleh para dai (baik santri Pondok Pesantren Banyuanyar maupun santri pondok lain) dalam berdakwah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Kiai Baqir, “tellô’ prinsip dhâlem ada‘wah: tâ’ salâ kâ Pangéran, tâ’ salâ kâ naghârah, oréng sé ngartéyah” (Tiga prinsip dalam berdakwah: tidak salah kepada Allah, tidak salah kepada negara, masyarakat bisa memahaminya). Zainuddin Syarif menyebutkan bahwa tiga prinsip dakwah tersebut disampaikan kepada menantunya, R.K.H. Muhammad Syamsul Arifin, saat beliau hendak berceramah menggatikan Kiai Baqir (Dinamisasi Manajemen Pendidikan Pesantren, hlm. 29).

Melalui tiga prinsip dakwah tersebut, Kiai Baqir menghendaki setiap dai memerhatikan isi (materi) dakwahnya agar tidak melanggar aturan agama (Islam) dan negara dan bisa dipahami oleh masyarakat yang menerima dakwah tersebut. Ketika seorang dai memerhatikan tiga prinsip dakwah tersebut, maka kemungkinan besar dakwahnya (baik berupa ceramah maupun aktivitas dakwah lainnya) akan berjalan lancar, sukses, dan memberikan maslahat kepada masyarakat. Sebaliknya, jika seorang dai mengabaikan salah satu dari tiga prinsip dakwah tersebut, maka tidak menutup kemungkinan dakwahnya akan menimbulkan masalah dan keresahan di tengah-tengah masyarakat.

Salah satu perbuatan buruk yang melanggar aturan agama dan negara adalah caci maki dan ujaran kebencian (hate speech), baik kepada masyarakat biasa maupun kepada para pejabat. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika ada dai yang menebarkan ujaran kebencian dan mencaci maki seseorang ketika berceramah. Kiai Baqir sendiri tidak setuju dengan ujaran kebencian dan cacian di atas panggung dakwah. Bahkan beliau menyayangkan sikap seorang kiai yang mencaci dan menentang pemerintahan Orde Baru saat berceramah di atas panggung (Dinamisasi Manajemen Pendidikan Pesantren, hlm. 29-30).

Dalam kesempatan lain, Kiai Baqir juga memberikan nasihat brilian bagi para kiai yang ingin terjun ke dunia politik. Menurut K.H. Khozin Sanusi, Kiai Baqir menegaskan bahwa seorang kiai yang ingin berpolitik tidak boleh meninggalkan kekiaiannya, tetapi harus tetap menempati posisi kekiaiannya. Dia juga harus senantiasa memerhatikan penasihatnya, yaitu Al-Qur’an, hadis, dan ijmak. Selain itu, dia juga harus pandai mengambil posisi dan mengikuti dinamika politik yang sedang berkembang, baik secara regional, nasional, maupun internasional (Lihat: “Amalan dan Ajaran Kiai Baqir Banyuanyar oleh K.H. Khozin Sanusi-K.H. Syibli”). Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Akam…

0 Shares:
You May Also Like