Semua Hukuman Allah itu Bersumber dari Ihsan-Nya. Semua Hukuman Fikih itu (Harusnya Juga): Ihsan! (1)

Para ahli hadis berdebat, Al-Muhsin (Yang Maha Berlaku Ihsan) itu sifat Allah atau bukan. Yang bilang bahwa itu sifat Allah, sontak mengajukan beberapa hadis yang di dalamnya Rasulullah menyebut Allah sebagai Al-Muhsin. Yang tidak sepakat, segera menunjukkan bahwa hadis-hadis tersebut tidak shahih. Beginilah kelakuan kaum literalis-legalis. Mereka cenderung melihat hadis dari segi isnad (rantai periwayatan) belaka. Padahal, seperti pernah saya tulis, (saya cenderung memilih pendapat bahwa) matan/kandungan makna hadis lebih penting.

Tapi, bagaimana menilai apakah sebuah hadis itu shahih dari segi matannya? Satu, berdasar pemahaman kita tentang Al-Qur’an terkait masalah yang menjadi concern hadis yang dipersoalkan. Misal, hadis “laa diina li man laa ‘aqla lah (tak ada agama bagi yang tak berakal/menggunakan akalnya). Kata sebagian ahli hadis—saya lebih senang menyebutnya ahli sanad, jarh wa ta’dil) sebagai tidak shahih. Bagaimana tidak shahih, wong Al-Qur’an begitu “boros” dengan ayat-ayat yang memuliakan akal dan orang-orang yang menggunakan akal? (Saya pernah menulis tentang soal hadis ini). Kedua, dengan membandingkannya dengan hadis-hadis lain—yang dianggap baik kualitasnya—yang membahas tema yang sama. Sedemikian, sehingga dalam ilmu hadis, ada kategori hadis-hadis yang disebut shahih li ghayrih (shahih berdasar hadis-hadis lain).

Nah, soal apakah Allah Swt ini memiliki nama—dan nama adalah sifat, yang Allah (atau Nabi) sebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis—bisa dilihat dari segi ini. (Btw, soal jumlah asma Allah yang 99, itu hanyalah kesepakatan. Ada ulama lain yang menyebut nama Allah sebagai berjumlah 101, ada juga yang menyebutnya lebih dari 300. Sedang, pada kenyataannnya, nama Allah itu tidak terbatas, sejalan dengan tidak terbatasnya  zat Allah Swt).

Baca Juga:  Jangan Putus Harapan dan Teruslah Berdoa

Nah, sekarang, bagaimana kita bisa melihat apakah Allah memiliki sifat sebagai Al-Muhsin?

Pertama, ada hampir 200 ayat Al-Qur’an yang mengandung kata—dan banyak di antaranya, kalau tidak semuanya, mengandung perintah agar kita berbuat yang hasan (baik, indah, sempurna), serta cenderung kepadanya (ihsan). Yang menggunakan kata “ihsan” sendiri ada sekitar 50 ayat. Pertanyaannya, mungkinkah Allah begitu intens memerintahkan agar manusia berbuat ihsan, sedang Dia sendiri Swt tidak melakukannya?

Selanjutnya, untuk keperluan pembahasan ini saya hanya akan mengutip satu ayat, dan satu ayat lain sebagai pendukungnya, untuk memastikan bahwa Allah Swt memiliki sifat Al-Muhsin.

Dan apa pun (yang mengambil bentuk) kebaikan-kebaikan (yang indah, sempurna), yang terjadi atasmu, adalah dari Allah…” (QS. An-Nisa [4]: 79).

Nah, di ayat lain, Allah mengatakan: “Lan yushibanaa illaa maa katabalLaahu lanaa: tak ada yang menimpa/terjadi atas kami kecuali Allah telah tetapkan akan menimpa/terjadi atas kami (QS. At-Taubah [9]: 51). Dalam dua ayat itu, kata bahasa Arab yang dipakai berakar dari a-sh-b.

Apa artinya? Bahwa semua yang diperbuat Allah adalah kebaikan. Semuanya saja! Bukankah dua ayat tersebut, jika diseiringkan bermakna begini: Semua yang terjadi adalah dari Allah, dan semua yang dari Allah adalah baik.

Bayangkan, Allah tak menjadikan sesuatu atas kita selain kebaikan. Maka, masihkan kita ragu bahwa Allah itu Al-Muhsin? (Bersambung)

0 Shares:
You May Also Like