Sudah menjadi pembicaraan semua orang, bahwa makin ke sini, waktu seperti berjalan makin cepat. (baca tulisan saya, Busur Waktu) Sehari terasa amat cepat berlalu. Bahkan seminggu, sebulan, sampai setahun. Bukan saja hari dan minggu makin cepat berlalu, umur kita terasa bertambah amat cepat.
Pertanyaannya, apakah mungkin kita memperlambat jalannya waktu? Apakah mungkin kita memanjangkan umur kita? Ataukah menjadikan waktu kita lebih berkah? Yakni, apakah kita bisa menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dan lebih santai dalam menikmati hidup? Dengan kata lain, secara lebih rehat? Mungkin banyak orang akan menyatakan mustahil. Mana bisa menjadikan waktu lebih panjang? Bukankah waktu itu sudah fixed durasinya? Jika begitu, paling banyak yang bisa kita lakukan adalah bekerja lebih cepat.
Masalahnya, dengan bekerja lebih cepat, jangan-jangan justru waktu terasa berjalan lebih cepat? Yang pasti, dengan lebih buru-buru, kita pasti lebih tak bisa menikmati hidup. Lalu, di manakah terletak masalahnya?
Sadar atau tidak, kita menganggap bahwa durasi waktu itu fixed. Lima menit, ya lima menit. Satu jam, ya satu jam. Tapi, tahukah kita, bahwa sebetulnya waktu itu bisa mulur-mungkret? Bisa memanjang dan memendek? Bahwa lima menit waktu yang ditunjukkan arloji kita, bisa kita rasakan atau alami sebagai enam jam? Bahwa sejam bisa terasa seperti tiga hari? Dan, saat saya menyatakan tiga hari, memang saya maksudkan bahwa kita bisa mendapatkan pengalaman yang begitu banyak, seolah-olah kita telah melewati durasi waktu tiga hari, dan bukan sejam?
Di mana kesalahan kita selama ini? Kesalahan kita terletak pada anggapan bahwa waktu itu hanya ada satu jenis saja. Yakni, waktu serial linier saja. Padahal ada jenis waktu lain. Yaitu, yang disebut sebagai waktu perpetual (waktu yang lebih panjang, yang berjalan lebih lambat), atau sirkular. Dalam pemikiran Islam waktu jenis ini disebut sebagai dahr. Seperti sebutannya, waktu ini tak berjalan linear. Melainkan sirkular. Meski sirkular, dia mencakup yang linear juga. Jadi, linier tapi berulang. Belakangan saya dengar, Ibn ‘Arabi—yang di dalam pemikirannya, konsep waktu bersifat sentral—menyebutkan bahwa durasi waktu dahr itu tujuh puluh dua kali durasi waktu linier.
Bagaimana ini ceritanya? Mari kita lihat fenomena mimpi. Dalam mimpi, kejadian yang dalam jaga bisa memakan waktu panjang, terbukti hanya berlangsung beberapa menit bahkan detik saja dalam mimpi. Kenyataan ini telah dibuktikan dalam sains mengenai mimpi itu. Nah, waktu yang terlibat dalam tidur inilah yang disebut sebagai waktu dahr. Jangka waktu pendek dalam waktu dahr, menghasilkan efek “konkret” yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan durasi yang sama di waktu jaga. Inilah waktu dahr. (Melontarkan diri ke waktu dahr ini adalah sesuatu yang mungkin, soal ini akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini).
Pertanyaannya sekarang, bagaimana supaya kita bisa hidup di perpetual time, agar waktu menjadi lebih panjang? Tapi, sebelum itu, kita perlu memahami, apa yang kita maksud dengan durasi waktu yang lebih panjang itu, sehubungan dengan lebih banyaknya pekerjaan yang kita selesaikan dan teraihnya kerehatan hidup yang lebih baik? (Bersambung)