Peran Tarekat Syattariyah dalam Penyebaran Islam dan Eksistensi Ritual Basapa di Minangkabau

Tradisi di Minangkabau atau wilayah Provinsi Sumatera Barat selalu dikaitkan dengan ritual keagamaan, seperti halnya proses pernikahan, memperingati Maulid, memperingati Isra’ Mi’raj, dan kegiatan tradisi ritual Basapa yang dilaksanakan oleh Tarekat Syattariyah bersama para jamaahnya di Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman. Mereka meminta keberkahan kepada Syekh Burhanuddin yang dianggap telah berjasa dalam menyebarkan Islam di Minangkabau.

Kata tarekat berasal dari kata Arab yaitu tarīqatūn berarti ‘jalan’ atau ‘cara’. Oleh sebab itu, tarekat merupakan suatu metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid. Tarekat diartikan sebagai wadah persaudaraan kaum sufi tumbuh. Kemudian lahir pula konsep ijazah, silsilah ditunjukan untuk menopang persaudaraan sufi. Bahkan pada masa-masa berikutnya seorang murid tidaklah sekedar pengikut sang mursyid atau syekh tarekat tetapi mereka juga harus menerima bai’at (sumpah setia) kepada sang syekh hingga kepada seluruh silsilah pendiri tarekat (dalam hal ini Tarekat Syattariyah).

Pada abad ke-17, Tarekat Syatariyah sudah berkembang di Minangkabau dibawa oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan. Tarekat Syatariyah berkembang melalui rute-rute perdagangan ke Kapeh-Kapeh dan Mensiangan, dekat Padang Panjang, terus Koto Lawas dan ke arah persawahan yang kaya di Agam Selatan, daerah Kota Tuo di dekat Cangkiang, serta daerah Ampek Angkek, terus berkembang ke seluruh alam Minangkabau (Halim, 2018, hal. 74).

Ajaran Tarekat Syatariyah diajarkan Syekh Burhanuddin kepada para pengikutnya seperti yang dikembangkan oleh Syekh Abdurrauf al-Singkili di Aceh. Pengajian tarekat ini secara intens dikembangkan di surau Tanjung Medan Ulakan. Pengaruh surau Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam ke pelosok-pelosok Minangkabau melalui jalur tarekat dapat diamati dari beberapa hal, sampai saat ini tetap dijaga oleh masyarakat yang punya hubungan keilmuan atau silsilah dengannya, antara lain:

Baca Juga:  Menguak Daya Imajinasi

1) Kunjungan ulama dan pengikut Tarekat Syatariyah pada acara Basapa setiap bulan Shafar di Makam Syekh Burhanuddin Ulakan. Mereka menghadiri acara Basapa adalah untuk melakukan ziarah dan menampilkan pengajian Tarekat Syattariyah setelah selesai melakukan ibadah-ibadah khusus, seperti dzikir, shalat sunnat dll.

2) Ziarah dan ibadah, pada hari Selasa sebelum dilakukan Basapa pada hari Rabu setelah tanggal 10 Shafar setiap tahunnya di surau Tanjung Medan sebagai tempat pertama Syekh Burhanuddin menyebarkan paham Tarekat Syattariyah ke seluruh Minangkabau. Ziarah ke Tanjung Medan ini disebut juga “menjelang guru” (maksudnya mengunjungi guru untuk mendapatkan keberkatan dan kemanfaatan dari pengajian tarekat yang sudah diketahui dan diamalkan.

3) Termasuk juga salah satu persyaratan untuk mendapatkan keberkatan dan kemanfaatan ilmu pengajian tarekat yang sudah dipunyai adalah melihat pakaian yang terdiri dari baju panjang, kopiah, sorban serta kitab Al-Qur’an tulisan tangan yang disimpan oleh khalifah H. Burnawi di surau pondok Koto Panjang, terletak antara makam dengan surau Tanjung Medan (Halim, 2018, hal. 75).

Tarekat Syattariyah memiliki hubungan dengan Syekh Burhanuddin tetap dijaga kesinambungannya oleh pengikutnya melalui kunjungan dari khalifah di Ulakan ke sentra tarekat di daerah-daerah lain: Sawahlunto Sijunjung dengan pusatnya di surau Calau Muaro Sijunjuang, surau di Taluak Kuantan, di Lubuak Jambi, di Singkarak, di Koto Tuo, dan daerah lainya.

Biasanya setelah Basapa tersebut Tuanku Kuniang Syahril Luthan, berkeliling memberikan pengajian ke daerah-daerah sebagai tindak lanjut dari bai’at (sumpah setia) yang mereka terima ketika kegiatan Basapa. Untuk mempertahankan hubungan penganut Tarekat Syattariyah dengan khalifah Syekh Burhanuddin maka setiap kali Basapa ke Ulakan, khusunya Basapa ke surau Tanjung Medan, khalifah ini melakukan pengajian umum dan sekaligus membai’at angota baru serta memperkuat bai’at anggota lama.

Baca Juga:  Kasih-Ku Mendominasi Murka-Ku

Melihat jaringan ulama dan pengikut Syekh Burhanuddin tampak dengan jelas betapa surau adalah suatu alat dan tempat perjuangan mereka menyebarkan dan mempertahankan Tarekat Syattariyah. Kenyataan bahwa Basapa itu mayoritasnya diikuti oleh pengikut Syattariah berpusat pada surau-surau tertentu diungkapkan oleh Ali Amran Tuanku Kali Ulakan bahwa semua orang asli Minangkabau itu bertarekat Syattariyah dan pada dasarnya mereka memiliki tiga paham kegamaan paling pokok (1) Aqidah ahl as-sunnah wa al-jama’ah, 2) Mazhab Syafi’i 3) Bertarekat dengan Tarekat Syattariyah (Halim, 2018, hal. 76).

Bagi jamaah Tarekat Syattariyah, Syekh Burhanuddin dianggap sebagai sosok keramat; kata keramat dalam hal ini diterjemahkan sebagai sosok suci; mampu mewujudkan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa. Kata keramat juga dapat diartikan sebagai orang bertuah yaitu sosok yang memberikan efek magis dan psikologis kepada orang lain. seperti halnya Syekh Burhanuddin merupakan sosok penuh mitos dan akhirnya menjadi alasan bagi para pengikutnya dalam memahami ritual Basapa sebagai ritual keagamaan lokal yang  berhubungan erat dengan  keberadaan Syekh Burhanuddin (Febriyanto, 2000, hal. 40).

Semisal, Syeikh Burhanuddin pernah melakukan perjalanan di laut menggunakan dengan lapiak pandan (tikar pandan) setelah pulang menuntut ilmu dari Singkil (Aceh). Syeikh Burhanuddin menaiki sebuah perahu dari Aceh dan menyinggahi pulau Angso; dari pulau Angso ke pantai Pariaman dia naik tikar shalat, yang terbuat dari pandan, dan melabuhkan tikar pandan tersebut di pantai Pariaman. (Halim, 2018, hal. 69-70)

Masyarakat sekitar mempercayai bahwa mengambil pasir makam Syekh Burhanuddin bisa menjadi obat. Setiap orang mempunyai keinginan dalam kehidupannya dengan bermacam-macam seperti keinginan untuk membeli rumah, keinginan untuk mempunyai anak ataupun keinginan untuk mendapatkan penghargaan. Sehubungan dengan itu, jika keinginan ini terwujud biasanya orang-orang mempunyai niat untuk melepaskan seperti jika umat islam berinfak, memberi makan fakir miskin dan lain-lain. (Nidiya Sonia dan Erianjoni Erianjoni, 2020, hal. 184)

Baca Juga:  Eksistensi Tuhan dalam Mukadimah Bar Jahān Baina Islāmi Murtadha Muthahhari

Secara sederhananya, nilai sakralitas ritual Basapa awalnya berasaskan dimensional religius, namun dalam perkembangannya menjadi konsensus tradisi lokal menjadi identitas etnik tunggal. Pemaknaan terhadap masing-masing benda yang awalnya non-fungsional, namun ketika berinteraksi dengan prosesi ritus-ritusnya sehingga bendanya menjadi mistis-fungsional berupa keberuntungan, penyembuhan, kekayaan. Mereka mempercayai keberkahan dari benda-benda itu, sebagai perwujudan dari keyakinan mereka invisible-contact antara benda dan makam.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

ZIARAH (6)

Baru di hari pertama konferensi, yakni di malam Welcoming Reception itu, saya sudah berbesar hati mendengar Sayed Ammar…