Peran Habaib dalam Mengembangkan Islam Nusantara
Sepuluh tahunan lalu saya pernah diminta bicara dalam sebuah konferensi tentang Filsafat Nusantara. Saya pun diminta menyampaikan pendapat tentang Filsafat Islam Nusantara. Setelah sedikit berargumentasi, saya bilang bahwa filsafat Islam “asli” Nusantara itu pada dasarnya bersifat panteistik—dalam makna semacam paham Wahdah al-Wujud (Kesatuan Wujud). Banyak orang—tak sedikit ahli di dalamnya—shock mendengar statemen saya. Malah ada yang marah juga. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah acara diskusi zoom, ternyata seorang ahli sejarah/antropologi dari New York University—Prof. Ismail Fajrie Alattas, atau akrab dipanggil Prof. Ajie—tampaknya punya pendapat yang mirip. Bahkan minggu lalu, saya sendiri masih menyinggung hal yang sama pada diskusi tentag habaib dalam jaringan ulama Nusantara bersama Sanad Media.
Awalnya adalah keprihatinan para ulama Nusantara yang lebih ortodoks terhadap dominasi Islam (yang berpusat di) Keraton dalam wacana keislaman di Indonesia. Inilah paham keislaman yang bersifat panteistik dan terkadang klenik (baik dalam makna esoteris maupun melibatkan apa yang belakangan disebut sebagai takhayul). Pada saat yang sama terbentuk interaksi dan jaringan antara para ulama Nusantara tersebut dengan para habaib dari Hadhramawt, sebagai salah satu pusat Islam.
Prof Ajie menyatakan dalam hal perlunya ada pengajaran Islam yang lebih ortodoks (tradisional, setia pada nash, serta pada pemahaman ulama salaf), sekaligus standar, lebih mudah dipahami awam, mencakup prinsip-prinsip dasar, sekaligus bersifat lebih “murni”, kepada orang-orang Muslim di Nusantara. Para Kiai itu—yang belakangan mendirikan NU—memiliki kesejalanan dengan para habaib dalam hal menganggap tingkat dan cara pemahaman keislaman umumnya orang Nusantara pada masa itu masih rendah atau, di sisi lain, malah “kejauhan” sehingga menyebal dari Islam “murni”, serta lebih dekat pada apa yang kemudian biasa disebut sebagai “kebatinan” atau “kejawen”—yang banyak dipengaruhi oleh ajaran tasawuf (teoretis/filosofis-Wujudi) tersebut, baik melalui Tarikat Syaththariyah maupun ajaran Syaikh Ibn ‘Arabi (martabat tujuh). Paham ini memang sangat rentan dituduh sebagai amat dipengaruhi oleh filsafat Hinduisme—yang memang dominan hingga sebelum kedatangan Islam di Nusantara. Islam seperti ini memang berkembang dengan pusat keraton-keraton di Nusantara. Inilah model Islam aristokratik atau yang belakangan disebut sebagai Islam Patrician. Memang, pembelajaran Islam dan pengembangan pemikiran Islam yang lebih “standar” bahkan “puritan” yang diprakarsai para habaib ini tak mugkin terjadi tanpa kesepakatan para Kiai tersebut. Oleh Prof. Ajie, disebut sebagai adanya kesamaan visi-misi dan isnad. Hal yang terakhir ini terkait dengan kenyataan banyaknya ulama Nusantara—yang belakangan terlibat dalam pendirian NU tersebut—yang belajar dari para ulama habaib dari Hadhramawt, baik yang pada waktu itu berada di Makkah (bahkan beberapa menjadi mufti Makkah), atau ulama Indonesia yang datang ke wilayah Nusantara, termasuk ke Indonesia dan Singapura. Hasilnya, tampak pada penggunaan buku-buku ajar pendahuluan di banyak pesantren di Indonesia. Termasuk di antara buku-buku tersebut adalah Safinah Al-Najah, Safinah Al-Shalah, Aqidah Al-‘Awam, Ar-Risalah Al-Jami’ah, Sullam Al-Tawfiq, dan Bughyat al-Mustarsyidin, dll.
Dan, dalam diskusinya dengan saya setelah itu, Prof. Ajie menyampaikan bahwa proyek “standarisasi” pemahaman Islam yang merupakan kolaborasi dari beberapa ulama dari habaib dan para Kiai ini begitu berhasil, sehingga bisa dibilang telah melahirkan/membakukan manhaj Ahl al-Sunnah di Nusantara, dan dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia—khususnya, ini tambahan dari saya, hingga masa-masa masuknya modernisme Islam di Indonesia. Tapi tampaknya sudah waktunya, zaman yang di dalamnya ilmu dan pemikiran keislaman sudah berkembang begitu jauh ini, perlu ada upaya untuk menawarkan kembali pemikiran Islam yang lebih “canggih” (yakni, lebih khawash, kompleks, dan intelektualistis) di atas fundamen ortodoksi Islam yang sudah kokoh terbangun itu. Dan, sebetulnya, upaya ini bukannya belum pernah terjadi di Nusantara, masih dalam kaitan dengan jaringan antara para kiai/ulama habaib dari Thariqah ‘Alawiyah. Seperti kita ketahui pada kenyataannya, interaksi yang melibatkan transmisi pemikiran keislaman yang lebih “canggih” seperti ini sudah terjadi sejak beberapa abad sebelumnya. Pada masa-masa itu, ulama Hadhramawt justru menjadi kunci transmisi elemen Thariqah Alawiyah yang lebih bersifat filosofis wujudiyah. Memang, sesungguhnya, ada elemen ‘irfan—disebut sebagai ilmu hakikat atau ilmu haqa’ iq vis a vis ilmu muamalah atau raqa’iq oleh para ulama Thariqah Alawiyah sendiri, di samping aliran Haddadiyah yang lebih “standar”, simpel, dan ortodoks yang diarahkan kepada kaum awam itu.
Di antara transmisi pemikiran Islam model begini adalah terkait dengan Nuruddin ar-Raniri yang merupakan murid al-Aydrus, Syaikh Yusuf Makassari yang merupakan Qusyasyi dan Kurani, guru Makasari, Singkeli. Walisongo yang konon semua atau hampir semua dari keturunan Azhamat Khan, yang notabene adalah ‘Alawiyin/habaib dari keturunan ‘Ammul Faqih yang hijrah ke India. Bahkan konon, meski banyak diliputi mitos, Syaikh Sitti Jenar juga diriwayatkan berasal dari keluarga ‘Alawiyyin atau habaib. Belum lagi Syaikh Nur Jati, Datuk Kahfi, mungkin juga Syaikh Mutamakkin yang lebih belakangan, dan lain lain.
Artinya, sebetulnya peran habaib ada di dalam dua jenis Islam di Indonesia itu. Yang “canggih” dan wujudi-filosofis yang lebih banyak berkembang di keraton-keraton, dan yang lebih puritan dan standar itu. Peran yang disebut pertama inilah yang kiranya perlu direvitalisasi kembali, tanpa mengecilkan posisi pemahaman Islam yang lebih standar tersebut, demi memampukan Islam Nusantara berdialog secara lebih canggih dengan pemikiran-pemikiran ilmiah-filosofis yang sudah maju di berbagai belahan dunia di zaman ini.