BAGAI DAUN-DAUN KERING TERTIUP ANGIN DI MAKKAH DAN MADINAH (BAGIAN 2)

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menjadi akrab dengan keluarga yang baru kami kenal di London tersebut. Bukan cuma si istri, si suami pun ternyata sangat ramah, bahkan suka becanda. Kami pun asyik mengobrol, sampai tuan rumah melihat bahwa kami sudah mulai “layu” dan terkantuk-kantuk akibat jet lag. Maka, tuan rumah dengan baik hati menawarkan kepada kami untuk beristirahat sejenak di salah satu kamar tidur di rumah mereka. Kami pun setuju saja, karena memang amat mengantuk. Saya pikir waktu itu, kami akan tidur beberapa saat, lalu berkonsultasi dengan tuan rumah mengenai soal mencari penginapan yang pas untuk dompet saya yang cekak isinya.

Kami pun tertidur segera setelah badan menempel di kasur. Alhamdulillah kami tidur nyenyak saat itu. Bahkan terlalu nyenyak. Kami masuk kamar mungkin pukul 11-an siang hari. Dan, ketika kami terbangun, ternyata hari sudah gelap. Sudah hampir pukul 7 malam! Kami pun amat terkejut. Bukan saja kami belum makan siang serta shalat Zhuhur dan Asar, waktu pun menjadi amat sempit bagi kami untuk mencari penginapan. Kami pun tergopoh-gopoh menemui tuan rumah, yang tampaknya memang sengaja tak membangunkan kami.

Sebelum kami sempat berbicara panjang, tuan rumah menawarkan—bahkan mendesak—agar kami menginap di rumah mereka saja. Dengan sedikit merasa kikuk dan tidak enak, saya pun dengan suka cita menerima tawaran tersebut. Saya menganggapnya sebagai pertolongan Tuhan.

Bukan saja hal itu bisa menghemat uang bekal saya, tapi tentu saja hal ini akan memperlancar program kami di negeri asing yang baru pertama kami kunjungi ini. Setelah menyelesaikan konferensi selama dua hari, kami pun mengeksplorasi kota London. Sesekali diantar keluarga baik hati itu, setidaknya ke subway terdekat. O, iya, si suami bekerja di Kedubes Indonesia di London, sedang si istri adalah asisten seorang dokter gigi. Kelak kami menjadi makin akrab dan selalu menjalin silaturrahim. Saya selalu bertemu mereka, sesekali di rumah mereka yang masih sama, jika saya ke London, atau mereka menemui kami jika pas berkunjung ke Indonesia.

Baca Juga:  Konsep Hijab dan Wacananya dalam Pandangan Husain Thabathaba‘i: Hijab antara Syariat atau Budaya? (Bagian 1)

Sampai akhirnya saya meninggalkan London untuk berpindah ke Den Haag, Belanda. Masa jalan-jalan kami di Belanda pun berjalan lancar. Selain sempat melihat Amsterdam, oleh keluarga adik nenek saya di sana kami diantar berjalan-jalan di sekitar Denhaag dan Rotterdam. Hanya dua hari, maka kami pun berangkat ke Kairo. Sepupu saya menjemput kami di Airport Kairo. Alhamdulillah perjalanan kami di Kairo lancar, dengan segala kelucuan dan keasyikan yang terjadi di sana sini. Dan, untungnya, berbeda dengan Eropa, biaya hidup di Kairo jauh lebih murah. Tapi, meski menumpang, saya tentu harus tahu diri untuk ikut menanggung biaya hidup kami sendiri di sana. Maklum yang kami tumpangi adalah mahasiswa. Maka saya pun menikmati Kairo dan sekitarnya, seolah sepeti seorang turis kaya. Tak ketinggalan ke Sphynx dan Pyramid di Kota Giza, dan mencoba naik onta di sana. Hingga suatu saat saya dikejutkan oleh informasi bahwa ternyata tiket Kairo-Jeddah yang kami beli tdak berlaku. Mesir menetapkan bahwa tiket pesawat, bahkan bagi orang asing, harus dibeli dengan kurs Dolar Mesir—yang waktu itu lebih tinggi dari di Indonesia. Sempat bingung juga saya waktu itu. Jika saya harus membeli tiket yang sama sekali baru untuk dua orang—tanpa bisa diperhitungkan dengan tiket lama—pasti akan habislah bekal saya. Lalu, dengan apa saya harus membayar seluruh pengeluaran kami di Saudi Arabia nanti?

Untunglah, seperti sudah diatur, sebelum itu sepupu saya ada menitipkan dana untuk diberikan kepada seseorang di Indonesia. Segera saja saya meminta izin kepadanya untuk memakai sementara dana tersebut sebagai penambah bekal saya, untuk saya ganti—dan serahkan kepada penerima yang berhak—sesampainya saya di Indonesia lagi.

Baca Juga:  SAINS ITU PRODUK KHAYAL (JUGA). YA, KHAYAL! BAHKAN DIILHAMI KITAB SUCI JUGA

Maka, saya pun meninggalkan Kairo menuju Jeddah, terus langsung naik kendaraan umum ke kota Makkah. Di Makkah saya langsung menuju ke rumah sepupu ayah saya. Dari sinilah kisah-kisah menegangkan—dan berakhir mengejutkan. Bermula… (bersambung)

0 Shares:
You May Also Like