Kausalitas dalam Interaksi Saintis dan Teolog Islam

M. Khusnun Niam

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni IAIN Pekalongan

Sebagian pemikir barat, terkhusus para psikoanalisis materialis dari kalangan sosiolog mengungkapkan bahwa eksistensi agama (baca; kepercayaan, keyakinan) dan ideologi bersumber pada ketakutan yang berlebihan yang dirasakan manusia. Ketakutan ini (dinilai mereka) hadir karena manusia (pengaut agama) tidak tahu ilmu pengetahuan yang didengungkan saintis yakni terkait kausalitas bahwa sesuatu itu ada sebabnya.

Selain itu, mereka (para saintis) menilai bahwa agama dianut atau diyakini oleh manusia disebabkan oleh pandangan terkait adanya kekuatan luar biasa di luar semesta ini yang mengatur dan menciptakan tatanan ini. Kebodohan ini (dianggap penggagas kausalitas) menyebabkan manusia percaya adanya Tuhan dan mengesampingkan kausalitas yang didengungkan para saintis.

Salah satu filosof yang populer dalam bahasan ini ialah Auguste Comte, seorang bapak sosiologi. Comte menganggap bahwa dengan menghadirkan kausalitas dalam kehidupan manusia, maka idealnya tidak ada lagi ruang yang kosong untuk beriman kepada kekuatan yang luar biasa. Hal ini dikarenakan dalam kausalitas terdapat pemisahan antara garis sains dan agama. Comte menganggap sains telah berhasil menggantikan peran kekuatan irasional (tidak rasional) melalui kausalitas (rasional).

Konstruksi Saintis atas Agama

Berbagai anggapan yang dilontarkan para saintis atas agama memperlihatkan konstruksi yang dibangun mereka. Mereka menganggap bahwa agama dan kausalitas itu tidak memiliki relasi bahkan bertolak. Dalam arti lain, mereka menganggap bahwa keberimanan atas kekuatan yang luar biasa diartikan sebagai bukti pengingkaran atas kausalitas. Bagi para saintis (penggagas kausalitas) menilai bahwa suatu sebab yang natural atau alami merupakan bukti empiris yang dapat diajukan kepada hakim.

Selain itu, para saintis menganggap bahwa kausalitas merupakan sistem yang bisa dibuktikan sampai hari ini daripada sesuatu yang irasional dan tidak mungkin diterima rasio. Secara tidak langsung, anggapan ini menggambarkan konstruksi yang dibangun saintis atas agama ialah ihwal irasional yang menjadikan manusia tidak dapat berpikir naturalis dan tidak berkembang.

Baca Juga:  WABAH CORONA: JEMBATAN MENUJU PERADABAN BARU?

Kritik Islam atas Konstruksi Saintis

Agama merupakan alat manusia yang diyakini berisi petunjuk keselamatan dan kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di kehidupan selanjutnya. Eksistensi agama dalam kehidupan manusia berdampak pada pengelolaan diri dan berpikir. Namun, apakah benar agama mengingkari kausalitas? Agama merupakan sesuatu yang irasio? Seperti yang didengungkan para saintis atas agama.

Konstruksi saintis atas agama terlihat beberapa kekeliruan, di antaranya mereka menganggap bahwa agama mengingkari kausalitas. Sedangkan, dalam agama kausalitas yang dimaksud ialah hukum kebiasaan. Namun, jika ihwal keberimanan maka kausalitas ini merupakan salah satu cara mengetahui Tuhan. Untuk itu, poin yang perlu dipahami ialah agama tidak mengingkari kausalitas.

Dalam agama, kausalitas dimasukan dalam hukum adat (kebiasaan). Penyebab kausalitas dalam agama disebut Tuhan. Dalam hal ini, agama mengkritik saintis terkait kausalitas, dengan pertanyaan jika seluruh yang diperkarakan memiliki sebab, lalu siapa penyebab sebab itu?

Penyebab segala sebab (kausalitas; hukum adat, kebiasaan) dalam agama disebut Tuhan. Tuhan dalam agama adalah jawaban dari pertanyaan siapa penyebab yang tidak disebabkan? Siapa penyebab segala sesuatu yang disebabkan sehingga berakibat? Dan seterusnya.

Secara nalar, sesuatu yang ada atau diperkarakan tertolak jika disebabkan oleh ketiadaan. Ketiadaan sendiri merupakan sesuatu yang tidak ada. Rasio menolak jika sesuatu yang ada berasal dari ketiadaan atau sesuatu yang tidak ada. Sehingga, jika rasio menolak sesuatu yang ada berasal dari ketiadaan, maka akan ditemukan kelogisan bahwa sesuatu yang ada disebabkan sesuatu yang adanya tidak disebabkan. Atau, rasio menolak keberadaan yang disebabkan oleh ketiadaan yang secara tidak langsung bisa dikataan adanya itu tiba-tiba (bim salabim).

Adapun misalnya kausalitas agama tentang keberadaan alam. Matahari itu ada. Keberadaan matahari mustahil (tidak mungkin; tertolak rasio) dari ketiadaan lalu tiba-tiba ada, pasti ada sebabnya (kausalitas). Penyebab adanya matahari mustahil disebabkan oleh sesuatu yang tidak ada, pasti disebabkan oleh sesuatu yang ada dan keberadaannya tidak disebabkan oleh sesuatu lagi. Jadi, matahari disebabkan oleh penyebab yang tidak disebabkan. Penyebab yang tidak disebabkan oleh apapun, dalam Islam disebut Tuhan.

Baca Juga:  Metode Kesahihan Hadis Ala Sufi

Alhasil, kausalitas tentang keberadaan yang diperkarakan oleh rasio manusia menuntun manusia untuk menemukan jawaban yang sesuatu dengan nalar. Jawaban yang ditemukan manusia tentunya yang tidak kembali mempertanyakan, melainkan konsisten atas komitmen rasio yakni menolak sesuatu yang ada karena ketiadaan atau tiba-tiba. Jadi, beragama merupakan pilihan yang logis yang ditemukan manusia. Bukan karena ketakutan yang mendasar. Melainkan karena kelogisan berpikir yang sehat, terkhusus perihal rasio dalam keimanan.

Previous Article

Gelap

Next Article

Tasawuf dan Kemerdekaan

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨