Ibnu Taimiyah: Pelatak Dasar Neo-Sufisme

Taqiyuddin Abu al-Abbas Ibnu ‘Abd al-Halim bin al-Imam Majduddin Abil Barakat ‘Abd al-Salam bin Muhammad bin Abdullah bin Abi Qosim bin Khuddlar bin Ali bin Taimiyah al-Harrani al-Hambali, atau biasa dikenal Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah lahir di Syiria hari Senin, 10 Rabi’ul Awwal tahun 1263 M, sekitar lima tahun sesudah jatuhnya pusat peradaban Islam Dinasti Abbasiyah kota Bagdad ke tangan tentara Mongol tahun 1257 M.

Dalam berbagai literatur kontemporer, Ibnu Taimiyah dinarasikan dan disebut-sebut sebagai tokoh yang menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan Islam Salafi-Wahabbi dengan slogannya Back to the Quran and Sunnah. Dalam pemikiran dangkal, ekstrem, segala bentuk persoalan terkait wajah Islam, baik intoleran, rigid, dan reaksioner, bid’ah, pengkafiran, dan ekstremisme, fundamentalis, bahkan terorisme sekalipun dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah.

Terlepas benar dan tidaknya penisbatan negatif di atas, Ibnu Taimiyah tetap merupakan salah satu tokoh Islam klasik dalam khazanah intelektual Islam, di mana kapasitasnya sebagai ulama, teolog, dan “sufi” tak perlu diragukan. Dan, terbukti karya-karyanya hampir melingkupi seluruh bidang keislaman.

Misalnya, semangat Ibnu Taimiyah dalam memurnikan ajaran tasawuf oleh sebagian pesaing dan pengikut fanatiknya dianggap sebagai ulama yang sangat anti tasawuf. Bahkan, dianggap ajaran bid’ah, tak pernah dilakukan dan diamalkan para ulama salaf terdahulu. Mulyanto Sumardi dalam, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran (1982), menarasikan bahwa sentimen negatif tersebut, dikarenakan karya-karya autentik Ibnu Taimiyah dalam bidang tasawuf sangat sedikit sekali dibaca, dipelajari, bahkan dikaji secara serius seperti, Al-Faraq Baina Aulia al-Rahman wa Aulia Syaithan, Abthalu Wahdah al-Wujud, Al-Tawasul wa al-Wasilah Risalah fi al-Salma wa al-Raqsi, Kitab Taubah dsb.

Dalam wacana pemikiran tasawuf, Ibnu Taimiyah dapat dibilang agak sedikit banyak kontradiksi dengan para sufi pada umumnya. Ibnu Taimiyah membangun konsep tasawufnya sambil mengkritik ajaran-ajaran tasawuf yang sudah mapan dalam tubuh umat Islam, dan bahkan menginstitusional dalam bentuk thariqahthariqah.

Misalnya, kritikan keras Ibnu Taimiyah atas tasawuf kaum sufi terkait konsep fana’ dalam arti ittihad. Dalam pandangannya, banyak kaum sufi menyangka bahwa seorang pecinta sudah bersatu dengan Yang Dicintai, menjadi jiwa tunggal dan tak berbeda.

Baca Juga:  ILMU MANTIK DI DUNIA ISLAM (3): AL-KINDI

Bagi Ibnu Taimiyah, pandangan ini sesat dan menyesatkan, karena al-Haqq tak akan pernah menyatu dengan sesuatu apapun. Baginya, konsep fana’ ini ada sesi yang menyimpang dari syariat. Ibnu Taimiyah membagi dalam ketiga katagori, di mana dua di antaranya fana’ tak terpuji, seperti fana’ dari selain Allah, tak mencintai selain Allah dan satunya fana’ terpuji seperti, fana’ dari melihat selain Allah.

Kritik atas dokrin ittihad Abu Yazid al-Busthami (804-874) juga dilontarkan. Konsep ini dikritik karena setiap tindakkan dan ucapan seorang tak pernah sempurna, perkataan dan tindakan seorang sufi yang keluar diluar kontrol dirinya, bukan berarti seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Dalam konteks ini, bagi Ibnu Taimiyah perlu adanya self control bagi seorang sufi, agar ucapan dan tindakkannya tak keluar dan menyalahi agama.

Ibnu Taimiyah juga mengkritik konsep hulul yang dipopulerkan Abu Mansur al-Hallaj (858-922). Bagi Ibnu Taimiyah, kata-kata ini kemungkinan diucapkan ketika al-Hallaj dalam keadaan gaib dari dirinya sendiri, bukan kata-kata Allah dengan menggunakan lidah al-Hallaj. Bagi Ibnu Taimiyah ucapan al-Hallaj ini bisa dinarasikan seperti seseorang yang kesurupan yang hilang kesadaran. Hilangnya kesadaran disebabkan kerasukan jin dalam pikiran orang kesurupan. Jin yang menyusup ke dalam jiwa manusia bersifat global. Pada dasarnya jiwa jin tak benar-benar memasuki semua anggota badan manusia yang dirasukinya.

Kritik selanjutnya ditunjukkan langsung pada pengikut sufi besar Ibn al-‘Arabi (1165-1240) terkait Wahdatul Wujud. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah pernyataan Ibn al-‘Arabi yang berbunyi, “Sesungguhnya wujud makhluk adalah wujud Allah juga” dianggap lebih kafir daripada non-Muslim, karena menyakini Tuhan tak menciptakan apapun, dan setiap perbuatan dan tindakan merupakan manifestasi dari wujud Allah seperti, buruk dan baik.

Baca Juga:  Inilah Penafsiran Syaikh M. Said Ramadhan Al-Buthi tentang Hadis Iftiraqu al-Ummah

Dalam bukunya Majmu’ al-Rasail wa Masail (1983: vol. IV. 88) Ibnu Taimiyah memang secara tegas mengatakan bahwa kata-kata Ibn Al-‘Arabi di atas bisa menyebabkan kafir, akan tetapi, Ibn al-‘Arabi sendiri bagi Ibnu Taimiyah lebih dekat pada Islam daripada pengikutnya. Banyak kata-katanya yang baik dan Ibnu al-‘Arabi tak konsisten dengan konsep ittihad, sehingga ia sering kali dianggap terjebak keraguan dengan teori yang diwacanakan.

Selain itu, Ibnu Taimiyah juga mengkritik konsep maqamat dan ahwal di kalangan kelompok sufi yang terlalu berlebih-lebihan dalam hal zuhud dan menolak rasionalisme. Di mata Ibnu Taimiyah, kalangan ahli zuhud lebih banyak menitikberatkan pada jenis iradah (kata hati dan mencela hawa) saja. Kaum sufi banyak yang tak bisa membedakan mana iradah syar’i dan mana iradah yang bersifat bid’ah. Kritik Ibnu Taimiyah ini disinyalir karena sikap kaum sufi pada waktu itu banyak yang berbaju zuhud dan ahli ibadah namun cenderung lebih lunak pada tentara Tartar.

Pada dasarnya kritik-kritik Ibnu Taimiyah di atas, harus dimaknai sebagai upaya meluruskan kembali penyimpangan yang dilakukan para kaum sufi generasi belakangan. Bukan berarti Ibnu Taimiyah anti terhadap tasawuf. Selain itu, kritiknya tersebut juga bisa maknai sebagai realitas sosial-kultural keagamaan, di mana ketika Ibnu Taimiyah hidup situasi politik di Syiria dalam keadaan bahaya dan tak menentu. Tentara Mongol dengan senjata yang relatif modern berhasil merebut sebagian besar wilayah Syiria.

Dengan kondisi demikian, Ibnu Taimiyah mendorong pada kaum sufi untuk menghentikan polemik pemahaman keagamaan untuk sementara waktu, dan mencurahkan perhatian menghadapi serta mengusir tentara dari negerinya. Bagi Ibnu Taimiyah, seorang sufi bisa mengisi khalwat dan uzlah dengan aktivitas ibadah itu penting. Akan tetapi legalitas khalwat dan uzlah sebagai syarat komitmen menjalankan kewajiban agama dan jihad juga penting.

Baca Juga:  Samora Machel: Pemikir dan Pejuang (Marxis-Leninis) Mozambik

Dengan demikian, seorang sufi tak harus melulu mengejar kemuliaan-kemuliaan sufistik dan mengabaikan nilai-nilai normativitas agama norma kesalehan sosial. Bagi Ibnu Taimiyah, zuhud juga bisa dilakukan dengan jihad melawan musuh, zuhud juga bisa bersanding dengan kekayaan serta kefakiran. Baginya, banyak para sahabat di zaman Nabi dan para tokoh terdahulu menjadi zahid di tengah-tengah kekayaan yang melimpah.

Fazlur Rahman dalam bukunya, Islam (1979) menarasikan bahwa konsep tasawuf yang diwacanakan Ibnu Taimiyah ini sebagai Neo-Sufisme, di mana ciri dan nilai-nilai asketik serta metafisinya diganti dengan nilai-nilai dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Fazlur Rahman, sebagai tokoh yang memberi lebel dan mengembangkan konsep Neo-Sufisme dalam kehidupan kontemporer ini, mengakui bahwa konsep tawasuf yang diwacanakan Ibnu Taimiyah ini lebih menekankan dan memperbaharui faktor moral dan self control puritan dalam bertasawuf.

Dan, pada akhirnya, melalui kritik atas kaum sufi tersebut, Ibnu Taimiyah membangun gagasan tasawuf atau sufisme yang lebih cenderung menimbulkan aktivitas sosial dam sikap positif terhadap dunia. Konsep neo-sufisme Ibnu Taimiyah ini tak menolak epistemologi kasyf sebagai bagian dari proses yang bersifat intelektual dengan menggunakan terminologi esensial sufi ke dalam sufisme yang bermakna moralitas dan etos sosial.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Menyoal Islamofobia

Oleh: Cusdiawan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Samuel Paty, seorang guru sejarah dibunuh di Conflans-Sainte-Honorine. Penyebab pembunuhan…
Read More

PASCAL WAGER

Oleh: Faqry Fakhry Muhib di jalan menuju Mahbub Dikutip dalam Ihya’ Ulumiddin bahwa suatu kali Imam ‘Ali Zaynal…