LAKU SUFI R.A. KARTINI
Hari Kartini telah usai. Dunia maya dibanjiri oleh ucapan selamat, para guru dan murid berpakaian dengan kebaya, bahkan beberapa instansi juga melakukannya sebagai bentuk apresiasi. Tulisan di beberapa media online juga tidak sedikit yang mengulas sosok Kartini dengan berbagai perspektif. Agar tidak ketinggalan laju digital yang terus berjalan, tulisan ini mencoba membahas mengulas Kartini dari segi yang banyak belum orang ketahui.
Kartini akrab dianggap sebagai pelopor perjuangan emansipasi di Indonesia, bahkan namanya kerap dihubung-hubungkan dengan kata feminisme. Ia hanyalah perempuan yang hidupnya diselimuti rasa resah dan gelisah. Laku akhir hayat kehidupannya tak banyak terungkap. Hanya pemikiran awal (proses) yang lantang disuarakan saat ini. Menjelang akhir hayatnya, Kartini telah melakukan transformasi pemikiran. Tidak menolak bahwa emansipasi merupakan bagian dari pemikirannya, namun juga perlu diketahui kekayaan pemikiran dari Kartini. Bahwa terdapat laku hidupnya yang bernuansa sufistik.
Raden Ajeng Kartini seseorang anak dari kalangan priyayai atau bangsawan Jawa. Putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Ibunya bernama Ngasirah, putri dari Siti Aminah dan Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Secara materi kehidupan Kartini tidak berkekurangan. Namun memiliki gejolak batin yang mendalam. Dimulai dari ibunya Ngasirah yang notabene bukan dari kalangan bangsawan, hingga ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan yang memiliki garis keturunan dari Raja Madura.
Singkat cerita. Kartini memiliki seorang kakak bernama Sosrokartono, seorang yang ahli dalam bidang bahasa. Hidupnya syarat akan laku spiritual. Menjadi tabib pun dilakukan atas nama kemanusiaan demi mengabdikan diri kepada Tuhan. Beberapa karya Sosrokartono bernuansa tasawuf yang melekat pada sifat zuhud adalah ajaran Ilmu Kantong Bolong dan Ilmu Kantong Kosong. Ajaran tersebut mengindikasin bahwa keduniawian bukanlah tujuan melainkan sekedar jalan untuk mengabdi kepada Tuhan. (Wahyudi, 2016)
Pada usia 12 tahun, Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sinilah Kartini belajar bahasa Belanda. Bahasa menjadi syarat dalam proses pencarian ilmu dari dulu hingga kini. Bahasa bagaikan cahaya di tengah kegelapan. Namun, pada usia 12 tahun, Kartini harus menetap di rumah karena sudah bisa dipingit. Kondisi semacam ini menjadikan Kartini mulai muncul pemikiran untuk memperjuangkan emansipasi, mendobrak adat, berkiblat ke Barat, bahkan sampai mengkritisi Islam.
Pada awal proses pemikiran Kartini memang terkesan sekuler dan penganut feminisme. Sebenarnya bukan Islam yang dilontarkan kritik oleh Kartini, melainkan orang-orang penganut agama Islam. Ia merasa kalau Islam terlalu susah dipahami oleh pribumi yang notabene belum dapat memahami bahkan membaca Al-Qur’an yang berbahasa Arab.
Emansipasi, mendobrak adat, meniru Barat, merupakan bagian dari pergulatan batin seorang Kartini. Sampai pada akhirnya, ia bertemu dengan Kyai Sholeh Darat, yang kelak menjadi guru agama dan spiritual dari Kartini. Selain Sosrokartono, sosok Kyai Sholeh Darat telah mewarnai pemikiran dan perilaku Kartini. Pertemuannya menghasilkan maha karya berupa kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an yang diberi nama Kitab Faidhur-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Sekaligus dijadikan kado Kyai Sholeh Darat untuk Kartini saat melangsungkan pernikahan.
Begitu bahagianya Kartini mendapatkan kado tersebut, sehingga mengilhaminya dalam sebuah karya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ketidakpahaman mengenai Al-Qur’an dianggap sebagai kegelapan, setelah Kartini dapat memahami Al-Qur’an, ia merasa tercerahkan. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya” (QS. Al-Baqarah. 2: 257).
Kyai Sholeh Darat telah membawa Kartini menuju transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat berubah, sebelumnya Barat dijadikan kiblat dan panutan. Sebagaimana surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Pandangan Kartini terhadap Islam juga telah bertransformasi menjadi lebih baik. Sebelumnya Islam menjadi bahan kritikannya namun kini ia sangat mencintainya. Sebagaimana dalam surtanya:
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai”
(surat kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
Setelah Kartini dapat membaca isi Al-Qur’an, ia masih memiliki kegelisahan batin dan keresahan spiritual. Sebab Al-Qur’an jika hanya sebatas dibaca tanpa dipahami dan tanpa dilakukan pengahayatan maknanya maka akan sia-sia. Pencerahan pun tidak akan didapatkan. Ini merupakan laku sufi Kartini dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Memelajari Al-Qur’an dengan penuh penghayatan agar memperoleh pencerahan dari Tuhan.
Pencerahan di sini diartikan sebagai cahaya Ilahi. Bukankah seluruh penempuh laku tasawuf merupakan seorang yang berjalan di tengah kegelapan yang diterangi oleh limpahan cahaya Ilahi. Pencerahan dari-Nya yang menjadikan pengharapan di setiap laku kehidupan yang ditempuhnya. Seorang sufi setelah mendapatkan pencerahan memiliki tugas melakukan perubahan yang lebih baik untuk dirinya dan manusia lainnya. Begitu juga Kartini, atas pencerahannya ia mengajak para perempuan Indonesia untuk sadar, bergerak, mengobarkan semangat membara, serta mendidik anak bangsa dengan asmara. Mengajak perempuan Indonesia untuk mendobrak batas-batas sosial dalam mengambil peran.
Sebagai penutup, penulis mengutip syair Dr. KH. Syamsul Bakri, M.Ag. dalam karyanya “Perempuan, Kartini dan Gerak Zaman” syairnya berbunyi:
“Perempuan adalah citra Tuhan, Sempurnanya sebuah penyaksian, Keanggunan yang menggerakkan, Feminim yang menaklukan kaum jantan”