Yang Sirna dari Kita: Tabayun

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa STFI Sadra Jakarta

Alquran sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw. merupakan sebuah kitab paling sempurna yang diturunkan oleh Allah ke muka bumi. Empat belas abad lamanya, Alquran telah membangun peradaban umat Islam di penjuru dunia, menjadi referensi utama dalam membimbing kehidupan masyarakat Muslim (bahkan juga non-Muslim). Alquran bukan saja menyediakan pedoman bagi hubungan manusia dengan Tuhan, lebih dari itu, Alquran merupakan kitab etika dan sosial yang mengatur hubungan antar manusia dan masyarakat. Tujuannya, demi memperbaiki moral umat manusia yang kian hari makin terpuruk.

Hidup di era digital, setiap hari kita dicecar dengan berbagai informasi dan berita tanpa henti. Fenomena yang oleh Mc Luhan diistilahkan sebagai global village, sebuah kondisi di mana masyarakat manusia telah terkoneksi melalui internet satu sama lain sehingga mengaburkan batas-batas geografis, dengan kata lain siapa pun bisa memperoleh berita atau informasi dari mana pun hanya melalui gadget. Demikian derasnya aliran informasi di media sosial, membuat sebagian orang kesulitan menyaring informasi yang masuk ke pikiran mereka.

Media sosial, seolah telah menjadi arena dialektika masyarakat modern, sebuah pencapaian peradaban yang patut disyukuri. Namun demikian, tak jarang arena tersebut dikotori oleh sekelompok orang yang menginginkan terjadinya kekisruhan di tengah masyarakat dengan menebar berita bohong/hoaks. Berita-berita bermuatan hoaks ini dengan cepat memasuki kepala-kepala kita, menumbuhkan benih-benih pemikiran keliru, berupa kebenaran semu. Sebagian manusia meyakini bahwa apa yang masuk ke dalam pikirannya adalah pasti sebuah kebenaran. Inilah yang membuat manusia modern mengalamai kemerosotan moral, sebab  kebiasaan menikmati sajian informasi yang tidak benar. Pada gilirannya, kebiasaan ini akan menyebabkan penderitaan sosial, yakni keadaan di mana batas-batas kebenaran dan kesalahan menjadi kabur.

Baca Juga:  BERTEMU AL-GHAZALI DI BASEMENT SEBUAH TOKO BUKU DI HARVARD SQUARE (BAGIAN 3)

Alquran sebagai kitab paling sempurna telah meletakkan dasar-dasar etika dan moral dalam bersosial, termasuk bersosial media. Alquran mengatur bagaimana sikap seorang Muslim dalam menghadapi gempuran informasi yang datang menghampirinya. Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman! jika datang kepadamu seorang fasik (keluar dari ketaatan kepada Allah swt.) membawa berita (penting), maka, (bersungguh-sungguhlah) mencari kejelasan (isi berita itu) supaya kamu tidak menimpakan (musibah) kepada suatu kaum tanpa pengetahuan, yang menyebabkan kamu menjadi orang-orang yang menyesal atas apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Hujurat [49] :6). Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang haruslah senantiasa teliti dan cermat dalam menerima suatu berita. Tabayun merupakan istilah Alquran untuk menekankan bahwa sikap kritis sangat diperlukan dalam berinteraksi dengan informasi yang didapatkan, sehingga reaksi yang kita keluarkan saat menanggapi informasi tersebut tidak menimbulkan tindakan keliru yang mengakibatkan penyesalan di kemudian hari.

Jika kita analisa, redaksi ayat di atas sangatlah berkesesuaian dengan salah satu teori etika mengenai tindakan manusia (actus humanus). Menurut Maurice Blondel, tindakan manusia adalah representasi dirinya yang paling umum dan paling lengkap. Eksistensi manusia sangat bergantung dengan tindakan yang dilakukannya. Dengan tindakan manusiawi (actus humanus), manusia membedakan dirinya dengan binatang. Ketika manusia bertindak, mereka adalah tuan (pemilik) dari setiap pergerakan yang dilakukannya. Sedangkan hewan, setiap tindakan dan gerakannya hanyalah serangkaian aktivitas yang didorong oleh insting dan naluri kehewanannya saja.

Ketimbang hewan yang setiap perbuatannya hanya dipicu oleh insting dan rangsangan semata, manusia bertindak dengan rangkaian proses yang jauh lebih rumit. Actus humanus memiliki rangkaian proses sebelum terealisasi dalam tindakan nyata. Sebelum memberikan reaksi, manusia terlebih dahulu akan merefleksi setiap informasi yang datang dari luar dirinya, berbarengan dengan refleksi itu, manusia juga mengevaluasi berbagai kemungkinan konsekuensi dari setiap tindakan yang akan ia lakukan. Jadi suatu tindakan akan disebut manusiawi jika melalui rangkaian proses refleksi-aksi dan evaluasi tersebut.

Baca Juga:  Menilik Kembali Gerakan Ahmadiyah di Indonesia

Dalam konteks kehidupan modern, yang lebih sering terjadi adalah sebuah tindakan yang tidak dapat dikatakan sebagai actus humanus. Bisa kita saksikan kebiasaan mengkonsumsi berita hoaks sudah menjadi keseharian bagi sebagian masyarakat. Alasannya beragam, minimnya literasi dan sikap skeptis terhadap media massa termasuk di antaranya. Namun yang lebih utama sebenarnya adalah karena berita hoaks itu lebih melegakan hasrat dan nafsu mereka ketimbang berita yang valid. Mereka seolah mendapatkan pembenaran atas asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan penilaian subjektif mereka—tidak sebagaimana adanya—selama hawa nafsunya terpuaskan, mereka tak terlalu memusingkan masalah validitas informasi tersebut. Akhirnya, kebencian pun memenuhi global village (kampung global) kita. Dampaknya, kita pun memasuki suatu lingkup masa bernama era post truth, yakni suatu rentang masa yang cenderung mengabaikan kebenaran.

Alquran dengan tepat menegaskan perintah kehati-hatian dalam menerima segala kabar berita. Semua itu bertujuan agar kita tidak memutuskan suatu tindakan yang salah. Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menjelaskan sebab turunnya ayat tabayun di atas, berkaitan dengan berita yang dibawa kepada Rasulullah oleh al-Walid bin Uqbah bin Abu Mu’ith. Saat itu al-Walid diperintahkan oleh Rasul untuk memungut pajak pada bani Musthaliq yang mengaku telah memeluk agama Islam. Namun, sesampainya di sana, niatnya itu tidak berhasil, lantas ia pun pulang dan melaporkan kepada Rasul bahwa bani Musthaliq telah murtad. Namun, Rasul tidak serta merta mempercayai berita tersebut, sehingga Rasul mengutus Khalid bin Walid untuk melakukan klarifikasi dan validasi dengan menanyakan langsung pada bani Musthaliq tersebut. Setelah mengamati dengan mendalam, Khalid pun merasa tidak ada yang salah dengan bani Musthaliq, mereka melaksanakan salat dan ibadah layaknya kaum Muslim. Dari situ, Khalid melaporkan pada Rasul bahwa berita yang dibawa oleh al-Walid itu adalah berita bohong alias hoaks. Berkenaan dengan ini, maka turunlah ayat di atas (QS. Al-Hujurat [49] : 6).

Baca Juga:  Siapa Itu Mukallaf?

Dalam masyarakat modern, telah tumbuh suatu kebiasaan men-share berita atau informasi apapun di media sosial, baik melalui Facebook, Whatsapp, Instagram, Twitter dan sebagainya. Namun sayangnya, hal itu tidak diiringi dengan kecermatan dan ketelitian dalam memilah berita yang dibagikan. Bahkan sebagian hanya membaca judul lantas membagikan tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Jika kita mengacu pada teori etika tindakan di atas, pantaskah ini disebut sebagai perbuatan yang manusiawi? Tindakan seperti ini, pada dasarnya telah membuat kita seolah kehilangan sisi penting dari kemanusiaan kita, yakni rasionalitas. Dampaknya, kita jatuh dalam perdebatan panas dan ketersinggungan tiada akhir.

Tampaknya, kita perlu merenungi kembali ayat-ayat Alquran serta teladan yang diberikan oleh Nabi kita tercinta. Tindakan tabayun Nabi dalam merespon khabar dari al-Walid di atas merupakan contoh nyata, bagaimana seseorang bertindak dengan mengedepankan rasionalitas ketimbang hawa nafsu rendahan. Nabi Muhammad saw. merupakan figur manusia yang bertindak manusiawi (actus humanus). Dengan itu, Beliau berhasil membangun suatu masyarakat yang hidup dengan penuh kedamaian. Sebuah kebahagiaan sosial yang menjadi cita-cita kita semua.

0 Shares:
You May Also Like