GURU IDEAL PERSPEKTIF AL-GHAZALI

Menurut Prof. Abuddin Nata, persoalan penting yang dihadapi oleh pendidikan Islam selama ini adalah dalam pendidikan Islam belum ada kejelasan. Pendidikan Islam masih belum menemukan format dan bentuknya yang khas sesuai dengan ajarannya. Hal ini dikarenakan banyaknya konsep pendidikan yang ditawarkan para ahli yang belum jelas keislamannya, dan juga dikarenakan belum banyak pakar pendidikan Islam secara seksama. Hal ini juga sepertinya belum banyak diperkenalkan oleh para pemikir pendidikan terkait konsep pendidikan ideal para filsuf Muslim, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwanusshofa dan lain sebagainya (Abu Muhammad Iqbal, 2015:v).

Di sini saya akan membahas bagaimana guru yang ideal menurut al-Ghazali dalam mendidik para muridnya. Pendidikan menurut al-Ghazali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Dengan demikian, pendidikan merupakan wadah dan proses kegiatan yang dilakukan secara sitematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia. Maka dari itu, pendidikan yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah membentuk tingkah laku manusia sesuai ajaran Islam (Zainudin, 2009:166).

Dalam pengertian akademik, guru dalam pandangan al-Ghazali ialah seseorang yang menyampaikan sesuatu kepada orang lain atau seseorang yang menyertai sesuatu institusi dalam menyampaikan ilmu pengetahuan kepada para didikannya. Di dalam kitab yang lain, al-Ghazali memdefinisikan guru itu seorang yang menyampaikan sesuatu yang baik, positif, kreatif atau membina kepada seseorang yang berkemauan tanpa melihat usia, walaupun terpaksa melalui pelbagai cara dan strategi dengan tanpa mengharapkan ganjaran apapun dan hanya mengharapkan rida dari Allah swt. saja.

Menurut al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang cerdas dan sempurna akalnya, dan juga guru yang baik akhlaknya serta kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akalnya ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, sehingga dapatlah ia menyampaikan kepada para didikannya, dan dengan akhlak yang baik pula ia dapat menjadi suri tauladan bago para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan murid-muridnya.

Baca Juga:  BETEMU AL-GHAZALI DI BASEMENT SEBUAH TOKO BUKU DI HARVARD SQUARE (BAGIAN 4)

Kompetensi profesional guru sudah menjadi perhatian serius al-Ghazali dalam proses mendidik anak didik. Guru dituntut harus profesional dalam mendekati aspek-aspek kejiwaan dan prilaku/watak peserta didiknya. Guru hendaknya mendidik dengan cara-cara yang baik (keteladanan/percontohan) yang bisa menumbuhkan etika dan prilaku yang positif di dalam pergaulan sosial, maka dari itu seorang guru dituntut untuk menjaga wibawanya sebagai seorang guru yang baik kepada anak didiknya baik itu di tempat proses belajar mengajar (sekolah) maupun di luar, karena itu, sudah menjadi keharusan baginya (Abu Muhammad Iqbal, 2015: 96).

Di sini, kualitas keguruan tenaga edukatif secara profesional sangat ditekankan. Seorang guru harus mampu memberikan layanan terbaik bagi anak didik dan masyarakat pengguna pendidikan. Yang artinya, kualifikasi kompetensi profesional guru adalah taruhannya, yang secara umum kualifikasi ini dibagi ke dalam tiga tingkatan; Pertama, kapabilitas personalnya, yaitu guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan berpikir cepat dalam mengelola proses belajar mengajar secara efektif. Kedua, guru sebagai inovator, yaitu sebagai tenaga pendidik harus mempunyai komitmen terhadap upaya perubahan dan reformasi. Ketiga, guru sebagai developer yakni selain menganalisis kualifikasi yang pertama dan kedua di atas, dalam tingkat ketiga ini guru harus meiliki visi misi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya.

Oleh karena itu, guru juga disarankan memiliki rouping atau sering kita sebut dengan “panggilan hati nurani” di dalam kegiatan pembelajaran/pendidikan. Mencintai profesi yang ditekuni adalah prasyarat khusus yang harus dimiliki oleh seorang guru. Guru harus merasa ikhlas, sebagai sesuatu yang penting dalam keberlangsungan proses pembelajaran/pendidikan yang efektif. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ghazali mengenai Ta’mim Al-Musir, “persaksian dan pengalaman menunjukkan bahwa sesungguhnya cinta itu melampaui segala sesuatu yang meliputi dan berkenaan dengan diri pribadi yang dicintainya…barang siapa mencintai Allah berarti ia mencintai segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya, dan barangsiapa mencintai manusia berarti ia mencintai pekerjaan, garis hidup dan semua prilakunya.”

Baca Juga:  Menelisik Kembali Gagasan Said Nursi

Mengenai syarat kepribadian guru, al-Ghazali lebih menekankan betapa beratnya kode etik yang diperankan seorang pendidik daripada peserta didiknya.(Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, 2006: 98). Ada 16 rumusan kode etik seorang guru. Yang mana guru adalah segala-galanya, yang tidak saja menyangkut berhasilnya dalam menjalankan profesi keguruannya, tetapi juga tanggungjawabnya itu di hadapan Allah swt. Adapun kode etik guru yang dimaksud:

  1. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka serta tabah.
  2. Harus bersikap santun dan penyayang.
  3. Menjaga kewibawaan dan kehormatan dalam setiap tindakan.
  4. Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama.
  5. Bersikap rendah hati ketika bersama dengan kelompok masyarakat.
  6. Menjauhi aktivitas yang tidak berguna atau sia-sia.
  7. Bersifat lemah lembut dalam mendidik anak didik dan membina peserta didik yang kurang cerdas sampai maksimal.
  8. Menjauhi sifat marah apalagi marah-marah kepada peserta didik.
  9. Memperbaiki sikap peserta didik.
  10. Meninggalkan sifat menakut-nakuti peserta didik.
  11. Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peserta didik meskipun kurang bermutu.
  12. Menerima kebenaran walaupun itu berasal dari peserta didik.
  13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan.
  14. Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan.
  15. Selalu menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus-menerus mencari informasi guna disampaikan ke peserta didik yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah swt.
  16. Mengaktualisasikan informasi yang diajarkan.

Maka ke-16 syarat kepribadian di atas harus dimiliki oleh semua guru, sehingga terbentuklah sikap dan tingkah laku manusia baik itu bagi pengajar maupun yang diajar.

 

Daftar Bacaan:

Mujib Abdul dan Muzakkir, 2006. Yusuf, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.

Iqbal Abu Muhammad, 2015. Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-gagasan Ilmuam Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baca Juga:  Hijrah (12): ISIS Juga Hijrah? Nggak Blas!

Zainudin, 2009. Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang Press.

 

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Derita itu Bahagia?

Bil Hamdi Mahasiswa Filsafat Islam STFI Sadra Manusia akan menemui beragam peristiwa dalam perjalanan hidupnya. Kebahagiaan, penderitaan, tawa…