Bil Hamdi
Mahasiswa Filsafat Islam STFI Sadra
Manusia akan menemui beragam peristiwa dalam perjalanan hidupnya. Kebahagiaan, penderitaan, tawa dan tangis merupakan sahabat karib yang akan senantiasa menemani manusia sepanjang hayat. Semua itu tidak lain merupakan konsekuensi kehidupan.Tak ada manusia yang hanya memperoleh kebahagiaan saja di dunia ini, juga tak ada manusia yang hanya mendapatkan kesedihan atau penderitaan. Semuanya berjalan seimbang sesuai sunnatullah.
Banyak dari kita yang mungkin hanya menginginkan kebahagiaan saja dalam hidup, sehingga menjadi marah dan tidak terima bila mendapat ujian dan cobaan, padahal Allah berfirman dalam Alquran “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji? Dan demi (keagungan dan kekuasaan Kami)! Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka (yakni sebelum umat Nabi Muhammad saw.), maka sesungguhnya Allah (pasti) mengetahui orang-orang yang benar (dalam ucapan, sikap dan perbuatannya) dan sesungguhnya Dia mengetahui (pula) para pendusta” (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3). Ayat ini, menjelaskan bahwa seseorang itu pasti menerima ujian, sebagai konsekuensi pengakuan keimanannya kepada Allah, yang artinya seseorang tak akan dianggap beriman sebelum berhasil menghadapi cobaan dan penderitaan tersebut.
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa semakin besar dan tinggi tujuan yang ingin dicapai seseorang, maka semakin sukar pula ujian yang akan dihadapi. Adapun iman adalah pencapaian yang tinggi dan sangat mulia. Oleh karena itu, para penempuh jalan keimanan adalah mereka yang sanggup melawan badai cobaan dan penderitaan berganti-ganti dalam hidupnya.
Imam Al-Ghazali dalam Minhaj al-Abidin menerangkan bahwa orang yang memilih jalan keimanan, harus menguatkan diri untuk menanggung kesulitan-kesulitan besar yang akan menimpa kehidupannya secara silih berganti. Seseorang yang mencari manisnya iman tanpa mau merasakan derita, seumpama orang yang mencari sesuatu tanpa menggunakan alat, dan mencarinya pun lewat jalan yang keliru.
Senada dengan pendapat Al-Ghazali di atas, Murtadha Muthahari memberikan pengandaian bahwa rasa sakit atau derita yang dialami oleh seseorang tak ubahnya seperti jarum-jarum penunjuk pada mobil yang fungsinya memberitahukan (kepada pengemudi) volume bahan bakar, oli, air dan lain sebagainya.
Demikian pentingnya derita bagi manusia, sehingga tak wajar bila kita mengeluh dan marah ketika mendapatkan penderitaan. Bahkan masih menurut Murthada Muthahari, ‘penderitaan’ merupakan pusat yang segala nilai-nilai insani berporos padanya. Menurutnya, derita merupakan standar dari kemanusiaan manusia. Seorang yang ingin menjadi manusia seutuhnya, haruslah menjadikan derita sebagai alat penunjuk jalannya.
Lebih lanjut, Murtadha Muthahari mengajak kita untuk membedakan antara ‘derita’ dengan ‘sebab-sebab derita’. Menurutnya, ‘sebab-sebab derita’ adalah sesuatu yang buruk, adapun ‘derita’ itu sendiri sangat baik buat manusia. Misalnya, seseorang terkena penyakit radang lambung, disebabkan memakan makanan yang tidak sehat atau makanan yang mengandung kuman dan bakteri. Di sini, yang dianggap buruk adalah kuman dan bakteri itu sehingga kita wajib menghindarinya, sedangkan rasa sakit yang diderita merupakan sesuatu yang baik. Dengan rasa sakit tersebut, kita menjadi sadar dan tahu bahwa ada penyakit di dalam diri, dan itu akan mendorong kita untuk menyembuhkannya. Seandainya manusia tidak dapat merasakan sakit pada tubuhnya, maka ia tidak akan mengetahui keadaan dirinya.
Selanjutnya, bagaimanakah derita manusia yang menjadi pusat dari segala nilai-nilai insani itu? Murtadha Muthahari mempertegas penjelasannya bahwa antara derita fisik dan jiwa itu berbeda. Apa yang disebut sebagai derita insani adalah derita yang dialami oleh jiwa atau ruh manusia, bukan penderitaan badan atau pun penyakit fisik, penderitaan yang demikian, oleh Murtadha Muthahari diistilahkan sebagai derita hewani, yakni derita yang bukan substansi manusia, karena derita fisik juga mampu dirasakan oleh hewan.
Derita jiwa manusia beserta penyakit-penyakitnya inilah yang sangat penting untuk kita kenali, agar bila jiwa itu sakit, kita bisa segera berjuang mengobatinya. Hal yang paling membahayakan adalah tidak mengenali penyakit jiwa serta penyebab-penyebabnya, sehingga seorang menjadi buta (tidak mengenal) terhadap penyakit dirinya sendiri. Orang yang tidak mengenal hakikat dirinya ini hanya akan disibukkan mengurus derita-derita lahir seumur hidupnya. Betapa malangnya dia!
Di lain sisi, ada orang-orang yang sangat mengenal hakikat dirinya, dia memahami segala penyakit hati dan memahami pula obatnya. Merekalah orang-orang yang disebutkan dalam hadis Nabi “Barangsiapa telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya”. Kesadaran mereka tentang hakikat, telah membuka tabir hijab sehingga nyata keyakinan mereka terhadap Tuhan (haqqul yaqin). Namun, apakah orang seperti ini bisa terlepas dari penderitaan?
Dalam syair pembuka kitab Matsnawi, Maulana Jalaludin Rumi menggambarkan jiwa manusia sebagai seruling bambu (nay) yang tercerabut dari rumpunnya, sehingga ia merintih, menyenandungkan lagu perpisahan. Demikianlah jiwa manusia, ia telah terpisah sangat jauh dari tempat asalnya, dari rumpunnya di surga. Jiwa manusia yang mengenal hakikat merintih, merindukan tempat asalnya. Hanyalah pulang jalan satu-satunya mengobati rindu yang amat menyiksa.
Derita seorang penempuh jalan keimanan adalah derita yang diiringi cinta dan kerinduan. Hal ini diistilahkan dengan ‘isyq, yang berasal dari bahasa Arab ‘asyaqah yang artinya tumbuhan yang sifatnya menempel kepada tumbuhan lain. Tumbuhan ini akan mengelilingi tumbuhan lainnya yang dihinggapinya, sehingga tanaman lain itu terbatas dan terpusat padanya. Orang yang memiliki kesadaran tentang hakikat, jiwanya akan terus menerus terpusat mengingat Allah, hatinya dipenuhi kerinduan yang teramat dahsyat, rindu yang menjadikannya sakit sekaligus nikmat.
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa antara orang yang mengenal dan tidak mengenal hakikat diri sama-sama merasakan penderitaan, akan tetapi derita yang dirasakan tidaklah sama dan berada pada level yang sangat berbeda. Derita para penempuh jalan keimanan adalah derita yang membuat candu, cambukan yang membuat jiwa makin melesat dan siksaan yang mengobarkan api semangat. Sedangkan orang yang tidak mengenal diri, hanya sibuk mengurusi derita hewani.
Bagaimanapun juga, penderitaan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari seorang manusia dalam kehidupannya. Oleh karena itu, bukan menghilangkan derita yang harus kita lakukan, akan tetapi menjadikan derita sebagai lampu penerang yang menjadi penunjuk jalan. Derita dengan kualitas seperti ini, pada saat yang sama akan mendatangkan limpahan kenikmatan dan rahmat dari Allah.