BAGAI DAUN-DAUN KERING TERTIUP ANGIN DI MAKKAH DAN MADINAH (BAGIAN 3)

Saya tinggal di rumah sepupu ayah saya, jadi terhitung paman saya, di Makkah. Istrinya juga adalah sepupu ayah saya, anak Habib Abubakar Ath-Thas Alhabsyi, yang dikenal luas sebagai salah seorang wali di kota suci itu. Dengan kata lain, pasangan suami-istri itu sepupuan juga. Habib Ath-Thas, begitu beliau dipanggil, sering dikunjungi tokoh-tokoh penting di kota Makkah, bahkan dari seluruh Saudi Arabia. Tak jarang juga dari berbagai negara lain. Menteri Muhammad Yamani (juga, kalau tak salah Menteri Perminyakan waktu itu, Syaikh Ahmad Zaki Yamani) adalah di antara pengunjung-rutinnya.

Tak sedikit yang membawa sekotak uang, terkadang dalam bentuk pecahan dolar. Menurut banyak saksi mata, lebih sering uang sumbangan itu tak disentuhnya/ melainkan langsung diminta dibagi-bagikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Kalau pun ada yang disimpannya, biasanya juga adalah sebagai cadangan bagi keperluan menyumbang kepada siapa yang akan mendatangi dan memerlukan bantuan beliau.

Dengan maksud baik, sepupu ayah saya, yang rumahnya saya tumpangi itu, amat khawatir jika saya pergi ke Masjidil Haram sendirian. Dia takut kami tersesat di Masjid besar itu. Apalagi rumahnya tak terlalu dekat dari Masjid tsb. Lagi pula, di Saudi Arabia saat itu, belum dikenal nama jalan. Alamat yang tersedia biasanya hanya kilometer sekian, di sebelah warung “X”, atau apotik “Y”, dsb. Kami hanya boleh ke Masjidil Haram jika dia antar. Maka, setelah menunggu dua hari, kami pun di antara ke Masjidil Haram. Betapa bahagia dan takjubnya melihat Ka’bah saat itu. Kami pun segera melakukan thawaf. Awalnya kami thawaf di barisan paling luar. Tapi, di tengah thawaf, saya ajak istri masuk ke barisan terdalam yang paling dekat dengan Ka’bah. Saya pikir, jauh-jauh datang dari Indonesia, masak kami jauh dari Ka’bah? Kami pun menyelesaikan tujuh putaran thawaf.

Baca Juga:  Keresahan dan Ilmu Pengetahuan: Membaca Pemikiran Albert Einstein

Problem muncul ketika kami mau keluar dari lingkaran thawaf. Saya adalah orang yang dididik orang tua saya untuk tidak menyusahkan orang lain. Sedang orang yang berthawaf waktu itu amatlah padat. Dan arus orang berjalan melingkar mengalir cukup cepat. Belum lagi banyaknya saudara-saudara dari Afrika berbadan besar yang thawaf sambil berlari. Sebagian sambil menggotong tandu, membantu orang-orang tua atau disabled yang tak bisa berthawaf sendiri. Cukup lama saya dan istri berputar-putar, kesulitan mencari jalan membebaskan diri dari arus orang thawaf. Selalu tak berhasil.

Tiba-tiba saja, seseorang berbadan besar mengulurkan tangannya kepada saya. Saya sempat ragu apakah saya yang dimaksudnya. Dia pun memberi isyarat lebih jelas agar saya mengulurkan tangan saya untuk ditariknya. Benar saja, sambil tangan kiri saya menggandeng istri, saya berikan tangan kanan saya. Entah bagaimana, kami berdua juga tak sepenuhnya sadar, dia tarik kami keluar dari arus orang-orang berthawaf dengan amat mudah. Seingat/seperasaan saya, tanpa membentur satu orang pun. Saya tak sempat menyampaikan rasa terima kasih, sementara laki-laki berbadan besar itu segera menghilang dari pandangan kami.

Setelah thawaf dan sa’i serta tahallul, hari itu, saya belum sempat ke Ka’bah lagi, karena paman saya itu belum punya kesempatan mengantar kami. Sebagai gantinya, saya justru diajak mengunjungi Habib Ath-Thas al-Habsyi. Saya ingat, saat itu sudah tanggal 5 Dzul Hujjah. Beberapa hari lagi prosesi haji akan dimulai. Sampai ke rumah beliau, kami diterima demgan ramah. Saya, seperti semua orang yang pernah bertemu dengan beliau, melihat wajah Habib Ath-Thas bercahaya. Tak berlebihan jika saya katakan bahwa cahaya itu adalah bekas yang ditinggalkan oleh berbagai aktivitas ibadahnya yang tentu amat intens.

Baca Juga:  Imam Sahal al-Tustari: Puasa adalah Metode Tirakatku

Setelah berbincang-bincang. Habib Ath-Thas bertanya kepada menantunya, dalam bahasa Arab tentu saja, “Haidar dan istrinya nanti berhaji dengan Syekh siapa?” Paman saya pun kebingungan, lalu menjawabnya dengan agak asal-asalan: “Saya sendiri tidak tahu apa rencana Haidar”. Dia tidak salah, saya sendiri memang sangat bloon soal prosesi haji ini. Saya pikir saya bisa berjalan kaki begitu saja, atau naik bus, bersama jamaah lain ke berbagai lokasi manasik haji. Mungkin sambil membawa bekal makanan. Katakanlah sebagai backpacker. Bukan saja saya tak sadar betul bahwa lokasi manasik itu jauh-jauh, tapi saya pun tak tahu bahwa orang asing diharuskan ikut Syekh tertentu untuk menyelenggarakan prosesi haji. Lagipulakan, kalau pun tahu, dengan apa saya harus membayarnya?

Alhasil, Habib Ath-Thas agak gusar mendengar jawaban menantunya. Saya ingat beliau mengatakan: “Kenapa tak kau bantu dia mengurus segala sesuatunya?” Sambil berkata demikian, beliau membuka resleting dompet yang menyatu dengan sabuk yang beliau pakai, sebagaimana kebiasaan tradisional orang-orang Arab. Beliau mengeluarkan segepok uang dolar yang masih “crispy“, lalu menghitungnya sambil berkata: “Ini buat Haidar”. Lalu, menghitung uang sejumlah yang sama, sambil melanjutkan: “Ini buat istrinya”. “Daftarkan keduanya ke Syekh Math’am Sing-ghafur. Phuiiih…, desis saya sambil menyeka keringat yang mengembang di dahi saya dalam ruang ber-AC dingin itu. Kaget, tapi senang sekali, tentu saja.

Esoknya saya diberitahu bahwa saya dan istri sudah didaftarkan ke Syekh Math’am Sing-ghafur (Rumah Makan Singapura) itu, yakni salah satu Syekh Haji termahal di lingkungan para Syekh Haji di Saudi Arabia. Kenyataannya, ketika prosesi ibadah haji mulai—yakni pada tanggal 9 Dzul Hijjah—saya jadi tahu betapa mewahnya fasilitas haji saya dan istri. Makanan selalu tersedia, buah-buahan bisa kami nikmati selama 24 jam. Di Mina, bukannya tinggal di kemah-kemah, kami tinggal di villa.

Baca Juga:  Ramadan: Madrasah Spiritual Orang-Orang Beriman (Bagian 2)

Untuk lebih meyakinkan pembaca akan hal ini, perlu saya sampaikan bahwa, selama prosesi haji ini, saya sempat berkenalan dan runtang-runtung dengan seorang Menteri dari suatu negara Timur Tengah kaya-raya (Abu Dhabi), yang berhaji dengan mengikuti Syekh yang sama dengan saya. Sampai-sampai ketika akan tidur malam, saya yang masygul sempat curhat kepada Sang Menteri yang tidur persis di sebelah saya ini, tentang apakah beribadah haji dengan cara semewah ini tak mengurangi esensi berhaji? Ke sana kemari kami pun naik bus mewah ber-AC. Sementara saya tahu jamaah haji Iran dan beberapa negara lain naik bus yang, bukan saja tak ber-AC, malah atapnya dilepas sehingga orang-orang di dalamnya terpapar langsung terhadap matahari panas negeri Saudi. Saya ingat betul, saat itu sang menteri menjawab untuk menghibur saya, dengan berkata… (bersambung)

0 Shares:
You May Also Like