PERADABAN ISLAM DI DUNIA YANG SEKULER

Kereta sudah berangkat, dan jam makan siang sudah lewat. Dunia saat ini sudah benar-benar berubah dari yang bisa diingat oleh kakek dan nenek kita.

Bangsa Indonesia sebenarnya punya kepekaan positif terhadap perubahan dalam sejarah. Para ibu dan bapak pendiri bangsa ini selalu membedakan antara merebut kemerdekaan dengan mengisi kemerdekaan.

Perubahan dalam sejarah seringkali memang mengejutkan. Kejutan itu juga bisa terjadi pada kita. Dulu, kita berusaha merebut kemerdekaan dari kolonialis Barat. Namun kemudian, kita merasa perlu untuk mengisi kemerdekaan dengan meniru sisi positif kemajuan mereka.

Bung Hatta adalah orator kemerdekaan Indonesia di Belanda. Di saat yang sama, ia juga tetap seorang intelektual yang taat mempelajari sistem ekonomi modern mereka.

Relevan atau Tidak?

Sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, negara-negara di dunia terbagi-bagi menjadi negara-bangsa modern. Era dinasti tradisional seperti Utsmani, Safawi, dan Mughal sudah usai. Bahkan era imperium Britania, Belanda, Portugal, dan Spanyol juga sudah berakhir.

Di atas sisa-sisa kejayaan mereka, kini berdiri negara-bangsa. Meskipun ikatan dalam negara modern ini tak lebih dari imajinasi dan realitas intersubjektif, hal itu masih lebih baik, daripada tidak punya negara sama sekali.

Berakhirnya dinasti dan imperium tradisional, tidak segera berarti bahwa kepercayaan tradisional juga selesai. Di atas negara-bangsa yang modern, hidup dan berkembang biak para penganut kepercayaan lama.

Indonesia merupakan negara modern yang paling banyak penduduk Muslimnya di dunia. Berhentinya dinasti dan kerajaan Islam lama di Indonesia, tak berarti berhentinya umat Islam untuk percaya pada agamanya.

Ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Sama seperti ideologi atau sebuah hobi, selama ada kebebasan di suatu negara, siapa pun berhak mempercayai agama apa pun.

Pada dasarnya, itulah yang dikandung oleh gagasan sekularisme. Dalam sekularisme, urusan kemaslahatan negara diatur dengan musyawarah dan rasionalitas. Dan setiap orang berhak untuk percaya pada agama, atau pun tidak percaya.

Baca Juga:  Soal Yasinan dan Malam Jumat

Dalam kondisi dunia yang sudah terlanjur sekuler ini, adakah masa depan bagi sebuah cita-cita bernama peradaban Islam? Apakah cita-cita itu adalah sesuatu yang relevan atau tidak?

Mengingat banyaknya buku yang ditulis untuk menggugat sekularisme, dan banyaknya orang yang percaya bahwa sekularisme itu buruk bagi Islam dan umatnya, cita-cita yang berbunyi “kebangkitan peradaban Islam” terdengar gagah dan menawan. Para pejuangnya bagaikan pangeran yang berusaha menyelamatkan putri yang disandera.

Akibat cara pandang yang kelewat dramatis bahwa modernisme dan sekularisme itu buruk, banyak dari kita tidak menyadari berkah yang agama peroleh darinya. Berkah itu bernama kebebasan dan kemajuan.

Tak hanya berkah kebebasan dan kemajuan itu yang tertutupi, pikiran kita juga dijejali sebuah agenda aneh bernama “menghidupkan peradaban Islam”.

Kita kini sudah punya peradaban, lalu  kenapa kita tak mengisinya dengan berbagai prestasi bersama—alih-alih memikirkan peradaban atas dasar sebuah agama yang dikira lebih baik daripada peradaban modern kita saat ini.

Jebakan Nostalgia

Bahasa manusia sangatlah lentur. Lewat satu kata yang sama kita bisa menyasar makna yang berbeda. Orang bilang batu X adalah sebuah barang suci, turun dari langit, membawa wangi surga. Orang lain bilang itu hanya batu biasa.

Kata “peradaban Islam” bisa juga memiliki banyak makna. Meski bisa ditarik ke sana ke mari maknanya, kata tersebut tetap saja mengandung unsur “menengok ke belakang”.

Hampir menjadi sebuah adat yang disepakati, penulis-penulis topik peradaban Islam selalu membayangkan bahwa pada zaman dahulu ada sebuah peradaban bernama seperti itu.

Setelah bernostalgia dengan masa lalu yang sangat jauh tersebut, mereka mulai membayangkan bahwa seandainya peradaban itu masih ada, dunia tak akan seburuk ini. Atau paling tidak mereka akan membatin, betapa majunya “kita” dahulu, dan betapa nestapanya “kita” sekarang.

Kata “kita” di atas tidak benar-benar nyata. Kita saat ini bukanlah orang-orang yang hidup ribuan tahun lalu di Timur Tengah. Kita adalah kita, mereka bukanlah kita.

Baca Juga:  Ijtihad Modernisasi Muhammad Abduh (1)

Ada banyak perbedaan antara kita dan mereka. Secara kebetulan agama mereka memang kita anut sekarang. Tapi, hanya karena ada sebuah kemasan bertuliskan merek yang sama, bukan berarti isi dan pabriknya juga sama.

Narasi “menghidupkan kembali peradaban Islam” selalu terjebak dalam sebuah ruang nostalgia. Mengunjungi sebuah museum memang bermanfaat dan mengasyikkan. Tapi, kita harus sadar, dunia di luar museum itulah dunia yang nyata dan aktual.

Apa yang sudah dilakukan oleh umat Islam di dunia aktual saat ini? Jelas bahwa prestasi ilmiah dan peradaban kita belum cukup memuaskan. Singapura dan Denmark jauh lebih berkeadilan dan berkemajuan daripada negara-negara mayoritas Muslim.

Akan tetapi, jangan juga terlalu sering murung melihat sisi kosong dari sebuah gelas. Lihatlah pula sisi penuhnya. Hari ini kita punya kebebasan, punya akses pada pendidikan, punya jaminan sosial dan kesehatan, dan punya teknologi informasi dan transportasi yang memudahkan pekerjaan.

Peradaban Islam di Dunia Sekuler

Haruskah kita terus-terusan membicarakan masa depan peradaban Islam? Ini hanya sebuah pertanyaan retoris. Buku-buku berjudul masa depan peradaban Islam akan selalu ada, selalu dicetak lagi, dan selalu punya penggemar.

Tentu saja, dari buku-buku tersebut, yang meraup keuntungan sebenarnya bukanlah para pejuang peradaban Islam, melainkan percetakan buku, penerbit buku, penjual buku, dan editor.

Meski begitu, bukan berarti cita-cita menghidupkan kembali peradaban Islam adalah sebuah kegilaan. Islam adalah sebuah agama yang sejak embrionya punya semangat pembebasan yang tinggi. Sebagai pembawa Islam, Muhammad Saw. adalah sosok teladan bagi miliaran umat manusia. Muhammad adalah pejuang kesalehan dan keadilan.

Namun, alih-alih mengglorifikasi kebesaran Muhammad, umat Islam saat ini terlebih dahulu harus sadar akan keterbelakangan negara-negara mereka jika dibandingkan dengan negara maju lainnya.

Pada kenyataannya, di dunia yang sekuler ini, nilai-nilai Islam yang luhur itu tetap bisa hidup. Tapi, ia hidup justru bukan di negara-negara berpenduduk Muslim, melainkan di negara-negara yang maju, disiplin, bebas, berkeadilan, dan ramah lingkungan, seperti Singapura dan New Zealand.

Baca Juga:  Aspek Feminin dalam Tasawuf : Studi Novel Layla Majnun Karya Syekh Nizami Ganjavi

Coba bayangkan, seandainya Muhammad Saw. bisa muncul kembali. Tidakkah sang Nabi akan menyuruh kita meniru bangsa-bangsa maju tersebut?

Modern dan sekulernya dunia tak berarti bahwa agama tak punya lagi peran penting untuk dimainkan. Asalkan kita jangan berfantasi bahwa agama kita adalah satu-satunya agama yang benar. Dogma seperti ini hanya akan membuat kita menutup mata dari kekurangan diri sendiri.

Dunia sekuler justru membawa berkah bagi agama-agama. Semua orang secara bebas bisa memilih agama yang ia suka. Ajaran moral agama-agama pun bisa menjadi inspirasi bagi pembangunan bangsa. Asalkan kita jangan berfantasi bahwa undang-undang negara kita harus berlandaskan syariah. Undang-undang modern tidak dibuat melainkan melalui musyawarah yang rasional. Bukan melalui otoritas sekelompok ulama.

Jika ada ajaran moralnya yang positif bagi kehidupan bersama, Islam tetap bisa relevan bagi kehidupan modern kita. Tapi, ini tak hanya berlaku bagi Islam. Ia berlaku bagi semua agama. Kepercayaan-kepercayaan leluhur pun punya status serupa. Bahkan novel-novel Sir Arthur Conan Doyle pun bisa menginspirasi seseorang untuk menjadi rasional.

Penutup

Nasi sudah menjadi bubur. Perubahan-perubahan penting sejak era Renaisans dan Revolusi Sains terbukti terus bekerja meningkatkan kemakmuran hidup manusia. Di bawah naungan ajaran hak asasi manusia, humanisme, liberalisme, dan kemajuan berbasis ilmu pengetahuan, manusia punya semua perbekalan yang diperlukan untuk terus membangun peradaban bersama yang lebih baik.

Bagi kita, umat Islam, kita harus ikut menikmati bubur ini—alih-alih mengutuknya dan membiarkan diri kita sendiri kelaparan. Diperlukan reformasi pemikiran agama untuk membuat kita nyaman dengan perubahan ini. Salah satu yang perlu direformasi adalah anggapan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Keyakinan egois seperti itu tak akan membawa perubahan apa pun pada dunia. Jika saya menggemari novel Sherlock Holmes, tak berarti bahwa ia adalah satu-satunya novel yang paling benar di dunia.

0 Shares:
You May Also Like