Telaah Sosiologis Rasionalisme di Awal Islam (1): Spektrum Rasionalisme Islam
Apakah kita membutuhkan agama untuk menjadi rasional? Tampaknya, tidak juga. Pada dasarnya, seseorang tidak memerlukan motif-motif keagamaan untuk menjadi orang yang mengedepankan akal sehat dalam berperilaku (Pinker, 2018). Sama seperti jika Anda ingin membantu ibu dan bapak Anda yang sudah renta. Rasa sayang dan empati kepada mereka sudah ada dalam diri Anda, meski tak satu pun ayat suci yang menyuruh Anda menyayangi mereka (Dawkins, 2015).
Akan tetapi, jawaban seperti di atas hanya bisa terucap dengan ringan oleh mereka yang telah sedemikian rupa terpapar dengan pendidikan modern dan hidup di zaman rasio seperti sekarang ini. Setidaknya, sudah dua abad belakangan narasi yang secara dominan kita percayai adalah kebebasan manusia, kesetaraan manusia, dan hak-hak asasi manusia—narasi-narasi yang bertitik tolak dari kepercayaan pada akal manusia dan kemampuannya untuk menetukan mana yang benar (Pinker, 2018; Fukuyama, 1993).
Akan lain ceritanya dengan sudut-sudut dunia yang saling terkucilkan, atau saling berkonflik, seribu hingga dua ribu tahun silam. Sebelum abad-abad modern kita yang diciptakan oleh gerakan Renaisans, Pencerahan, Revolusi Sains, Revolusi Industri, dan Revolusi Internet, hampir sebagian besar dunia hidup dalam mitologi dan rasa takut terhadap alam (Armstrong, 1994; Harari, 2020; Diamond, 2021).
Karena belum begitu mengerti dengan hukum-hukum natural yang berlaku di alam, seringkali peristiwa-peristiwa alamiah dipandang ajaib, misterius, dan disebabkan oleh makhluk-makhluk tak kasat mata yang menakutkan (Aslan, 2015). Kelahiran seseorang, misalnya, bisa dimaknai bermacam-macam. Ia bisa diartikan sebagai awal kedamaian dan permulaan rahmat, atau awal dari kehancuran dan permulaan kiamat.
Spektrum Rasionalisme Islam
Kehadiran Muhammad Saw. telah membawa perubahan yang tidak kecil di dunia Arab pra-modern. Meski bukan sebuah agama yang sepenuhnya rasional (apakah mungkin agama bisa sepenuhnya rasional?), tetap saja, Islam yang Muhammad Saw. bawa telah mendorong masyarakat Arab untuk berubah secara drastis (Donner, 2015).
Dari segi keyakinan maupun perilaku, mereka berubah dari keyakinan paganistik, yang tidak bergairah untuk mengubah nasib, yang takut pada jin-jin dan setan padang pasir, yang manut pada kepala-kepala suku menuju keyakinan monoteistik, yang yakin bahwa nasib bisa diubah, yang takut hanya kepada Tuhan, dan tak lagi manut pada suku-suku, melainkan beralih kepada Nabi dalam sistem masyarakat kenegaraan (Armstrong, 1994; Uwaidah, 2001; Diamond, 2021).
Dari kaca mata rasionalisme modern, perubahan yang dibawa oleh Muhammad saat itu adalah sebuah prestasi besar. Ada satu fakta yang harus diakui; yaitu bahwa tanpa kehadiran sosok cerdas dan berbakat bernama Muhammad, dunia Timur Tengah tak mungkin beranjak dari irasionalitas atau mungkin semakin terpuruk dalam irasionalitas (Armstrong, 1994; Lewis, 2012; Lyons, 2013). Bagaimana pun, gambaran-gambaran negatif beberapa orientalis lama terhadap Muhammad, tak bisa bertahan lama, karena lemah jika dihadapkan pada fakta-fakta yang sederhana.
Akan tetapi, rasionalisme agama yang Muhammad bawa ini tentu saja akan kalah jika dibandingkan dengan rasionalisme modern yang berbasis pada filsafat dan sains modern. Wajar saja, sebab kepercayaan pada kemampuan akal manusia dan kemuliaan martabat manusia bisa dikatakan betul-betul memuncaki sistem keyakinan humanisme sekuler.
Dalam pengertian humanistik itulah rasionalisme yang saya bicarakan di sini berada; yaitu sebuah pandangan-dunia yang meyakini kekuatan akal dan kecerdasan manusia per individu untuk menemukan kebenaran, dan untuk menciptakan kehidupan yang menjamin kebebasan dan martabat setiap individu. Rasionalisme humanis meletakkan akal di posisi puncak hierarki pemutus kebenaran (Pinker, 2018; Encyclopedia Britannica).
Sementara itu, dalam agama tradisional seperti Islam, Yahudi, dan Kekristenan, puncak hierarki yang harus dipatuhi itu diduduki oleh Tuhan (dengan diwakili oleh firman-Nya dalam kitab-kitab suci), lalu oleh Nabi (sunnahnya, atau keturunannya yang dianggap suci), lalu ada kaum elit agamawan (ulama, paus, rabbi, mullah), baru paling terakhir ada akal manusia (Al-Qari, 2010). Dengan begitu, Islam itu rasional, tapi dalam spektrum yang lebih kecil dibandingkan dengan rasionalitas dalam humanisme sekuler.
Melihat perbedaan kadar rasionalitas itu, haruskah seorang Muslim memaksakan agamanya untuk menjadi rasional sebagaimana rasionalitas humanis? Sepertinya, jika ada yang berani melakukan hal demikian, dengan menempatkan akal dan kebebasan manusia di atas syariat Tuhan dan Nabi-Nya, maka ia sudah keluar dari spektrum gagasan yang mendasari Islam.
Tampaknya jauh lebih baik untuk mengakui bahwa ada unsur-unsur yang rasional dalam keyakinan Islam atau, minimal mengakui bahwa agama ini menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya; di samping ada juga unsur yang tidak rasional di dalamnya. Kepercayaan pada kebenaran mutlak wahyu, tidak mungkinnya Nabi melakukan kesalahan, dan keunggulan syariat Islam atas agama lainnya, adalah beberapa di antara yang tidak terlalu rasional itu, tentu jika diukur dengan spektrum rasionalisme humanis sekuler. Bersambung…