Refleksi Pendidikan ala Pesantren (1)
Pada tanggal 22 Oktober 2022 kali ini, menjadi Hari Santri Nasional ke-7 sejak ditetapkannya, 22 Oktober 2015. Ditetapkannya Hari Santri memiliki tujuan dan dimaksudkan untuk meneladani dan mengingat semangat jihad para santri dalam membangun, merebut, memperjuangkan, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan Islam tertua, berkembang dari masyarakat untuk masyarakat. Kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah satu bentuk reaksi terhadap kebutuhan dan pola kehidupan masyarakat yang dianggap memiliki posisi rawan, berdirinya pesantren ini menjadi salah satu transformasi kultural dan berlaku dalam jangka panjang. Secara garis besar, tumbuhnya pondok pesantren dimulai dari adanya pengakuan masyarakat terhadap kelebihan seseorang (kiai) akan ilmu dan perilakunya yang saleh, sehingga masyarakat berbondong-bondong datang untuk belajar dan menuntut ilmu kepadanya. Pengaruhnya yang besar terhadap masyarakat tidak dapat dipungkiri bahwa seorang kiai menjadi tokoh publik figur suatu desa.
Sampai saat ini, saya masih teringat tentang pelajaran-pelajaran pesantren seperti fikih, tajwid, ta‘lim al-muta‘allim, sampai larangan-larangan ketika jinabah, dan lain sebagainya. Akan tetapi, saya sudah tidak ingat betul apa itu rumus-rumus determinan, baris & deret, fungsi kuadrat, apalagi ekonomi.
Begitulah beberapa komentar yang diambil dari guyonan santri ketika bertemu, hal ini menandakan mereka mencoba membandingkan hasil pendidikan pesantren dengan pendidikan formal. Sederhana memang tapi mengena. Komentar-komentar seperti di atas terbilang cukup banyak jenisnya dan menjadi evaluasi bahwa proses pendidikan ala pesantren lebih berkesan dan melekat di benak para pelajar dibandingkan dengan hasil pendidikan formal, itu terjadi karena pendidikan pesantren langsung berhubungan dengan dunia sosial, dan langsung dijalankan.
Dari contoh statemen di atas pula dapat menjadi kritik dan evaluasi terhadap proses pendidikan yang ada. Terkait tiga aspek ranah pendidikan yaitu: kognitif (proses berpikir), afektif (nilai atau sikap), dan psikomotorik (keterampilan) di mana di lingkungan pondok pesantren tiga aspek tersebut bukan hanya sekedar jargon, akan tetapi betul-betul telah diterapkan dan dipraktikkan. Meski secara teoritis kiai tidak mengetahui. Sebaliknya di lembaga pendidikan formal, tiga aspek ranah pendidikan tersebut nampaknya belum terpraktikkan sepenuhnya dan sebagian masih hanya sekedar jargon belaka. Padahal para tenaga pendidik telah benar-benar memahami tiga aspek tersebut, akan tetapi dalam aksinya masih minim dalam hal penerapan yang merambah ketiga aspek tersebut. Alhasil, sebagian pendidikan formal kurang membawa kesan keilmuan bagi para pelajarnya.
Pesantren memang identik dengan lembaga tradisional, kerena memang semua proses kegitan yang ada di dalamnya dilakukan dengan cara sederhana, konservatif, tidak mengikuti standar pendidikan formal. Dengan sarana prasarana yang sederhana. Pesantren bertujuan melahirkan santri/pelajar yang bermanfaat bagi agama dan masyarakat.
Pendidikan pesantren juga tidak menerapkan sistem evaluasi sebagaimana pendidikan formal yaitu ujian tengah semester, dan ujian akhir semester. Ini karena pijakan pencapaian kompetensi santri tidak didasarkan kepada berapa banyak kitab yang dikuasasinya, melainkan didasarkan kepada sudut pandang kitab yang dikhatamkan. Pesantren juga meniadakan sistem penjenjangan kecerdasan santri (sistem ranking). Meniadakan sistem tersebut sebenarnya merupakan metode yang tepat diterapkan di dunia pendidikan. Sebab sistem penjenjangan kecerdasan ini akan menimbulkan kasta santri; adanya penyebutan bodoh dan pintar. Padahal sebutan/judgement bodoh berdampak secara psikologis, yang kemudian santri menjadi minder dan tidak percaya diri. Hal tersebut tentunya menghambat kemampuan para santri dalam menyerap ilmu yang diampunya. Proses pembelajaran tersebut yang dapat menciptakan output yang berwawasan luas dan berakhlak berdasarkan agama (tafaqquh fi al-din).
Ada beberapa proses pendidikan mendasar yang selanjutnya membedakan pendidikan pesantren dengan pendidikan formal. Bahkan di zaman modern ini banyak pendidikan formal yang meniru pola pesantren dengan sistem pengintegrasian antara lembaga formal dan pesantren. Pengintegrasian yang dimaksud adalah penyandingan mata pelajaran, dan penyatuan manajemen di dalamnya. Mengingat hasil dari pendidikan pesantren lebih optimal, mesikupun diselenggarakan dengan sederhana.
Keberhasilan proses pembelejaran ala pesantren menjadikan para pengelola lembaga pendidikan tertarik untuk mengenal lebih dalam tentang sistem-sistem yang dijalankan di dalamnya terlepas dari kekurangannya dari berbagai sisi. Setidaknya ada beberapa hal berikut yang menjadi ciri khas pendidikan ala pesantren. Pertama, pendidikan dengan model asrama. Kedua, pengkajian kitab kuning. Ketiga, sistematika pengkajian kitab kuning. Keempat, pengkajian kitab kuning sebagai sumber pendidikan dan kejayaan dalam Islam. Adapun perinciannya akan dirinci melalui goresan selanjutnya. Wallahu A‘lam.