Menjadi Hamba, Menjadi Mulia

Sebuah hadis populer mengatakan, “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”. Hadis ini tentunya memiliki makna secara implisit. Manusia perlu mengenal Tuhannya. Lalu, bagaimana cara mengenal Tuhan? Tentunya manusia perlu mengenali sifat-sifat Ilahi dalam dirinya. Seorang karyawan di suatu perusahaan atau lembaga, dia harus mengenal siapa pimpinannya, paling tidak dia paham karakter pimpinannya untuk menjaga komunikasi yang baik antara pimpinan dan bawahan.

Meskipun secara lahiriah pengetahuan tentang manusia telah banyak dicapai melalui ilmu kedokteran, Abdillah Toha mengakatakan, ilmu kedokteran baru menguasai kurang dari 20% pengetahuan fisik tentang manusia. Apalagi yang berhubungan dengan kejiwaan dan spiritual manusia, tentu lebih sedikit lagi. Oleh karenanya, menurut beliau kita memerlukan petunjuk wahyu Ilahi untuk lebih mengenal manusia.

Dapat dikatakan, manusia sejatinya adalah hamba yang memiliki kewajiban melayani dan melaksanakan segala perintah raja dari segala raja, pencipta alam semesta dan seluruh makhluk. Berbeda dengan hamba atau rakyat dari kerajaan manusia yang terbatas nan berjarak antara pemimpin dan rakyatnya, hamba di sisi Tuhan sungguh sangatlah mulia di kerajaan-Nya yang tak bertepi bahkan lebih mulia dari seluruh makhluk ciptaan-Nya. Jarak antara Tuhan dengan hamba-Nya begitu dekat, saking dekatnya, Dia lebih dekat daripada urat lehernya (QS. Qaf [50]:16).

Peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Saw. mengajarkan hal penting akan posisi manusia di hadapan Tuhan. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 1, bahwa Tuhan memperjalankan hamba-Nya (Muhammad Saw.) ke langit hingga sampai ke Sidartul Muntaha yang bahkan Malaikat sekalipun tidak bisa mencapainya. Identitas hamba bagi manusia adalah pangkat tertinggi di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa sebagaimana yang sering para ustaz ceramahkan pada momentum peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Saw.

Baca Juga:  Mengurai Makna Batin Kisah Nabi Musa

Hanya dengan menjadi hamba manusia dapat mengenal Tuhannya. Menghamba berarti melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Untuk itulah, Tuhan memberikan oleh-oleh paling berharga, yakni salat kepada Muhammad Saw. untuk umatnya sebagai petunjuk Ilahi agar umat beliau bisa wushul (sampai kepada pengetahuan tentang-Nya) kepada Tuhan. Salat merupakan mediasi hamba untuk bercakap-cakap dengan Tuhan.

Dalam salat, kita sujud, menekan jidat ke lantai sebagai simbol kehambaan yang berarti bahwa kita mengakui diri sebagai manusia yang rendah dan tidak ada apa-apanya di hadapan Tuhan. Sujud itu adalah ibadah yang Tuhan paling senangi dari hamba-Nya dalam salatnya, maka para ulama itu sujudnya lama-lama karena sujud itu akan kita rindukan nanti di akhirat. sebagaimana K.H. Bahauddin Nursalim yang akrab dipanggil Gus Baha ingatkan, yang paling kita kenang saat mati adalah di masa hidup pernah melakukan sujud!

Di akhirat kelak, orang yang banyak bersujud di dunia adalah orang-orang yang bercahaya mukanya, sebagaimana Tuhan firmankan, “Yauma taral mu’minina wal mu’minati yas’a nuruhum baina aidihim wabiaimanihim.”, “Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka” (QS. Al-Hadid [57]: 12).

Memaknai hamba tentunya tidak hanya dibatasi pada praktek salat saja, tetapi juga harus dimaknai secara luas. Sifat-sifat Ilahi yang ada pada diri kita perankan, seperti saling menyayangi, mengasihi, tolong menolong, jujur, ikhlas, dan lain sebagainya. Kan tidak imbang kalau kita hanya bersujud tanpa memerankan sifat-sifat Ilah tersebut. Kita harapkan pertolongan Tuhan sementara kita berat untuk menolong sesama yang membutuhkan. Kita harapkan rahmat Tuhan sementara kita enggan menyayangi makhluk-makhluk-Nya, bahkan kepada binatang sekalipun kita harus menyayanginya.

Baca Juga:  Semua Hukuman Allah itu Bersumber dari Ihsan-Nya. Semua Hukuman Fikih itu (Harusnya Juga): Ihsan! (1)

Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah kisah seorang ulama sufi yang dikutip Kuswaidi Syafi’i dalam bukunya yang berjudul, Mereka yang Disandera Cinta kepada Allah Ta’ala. Silakan disimak!

Syaikh Abu Syu’aib al-Mishri dalam perjalanannya melaksanakan ibadah haji yang ketujuh puluh kali, yang kesemuanya ditempuh dengan berjalan kaki dari Mesir ke Mekkah dan merupakan ibadah haji terakhirnya, di padang sahara yang luas, beliau melihat seekor anjing yang sedang didera kehausan yang sangat menyiksa. Saking hausnya, binatang yang dikenal dengan kesetiannya itu terus menerus menjulurkan lidahnya. Karena tidak kuat menahan gelombang kasih sayang terhadap binatang yang lemah dan tidak berdaya itu, beliau lalu menjerit sekuat-kuatnya dengan perasaan yang sangat pilu: “Siapa yang mau membeli pahala tujuh puluh kali hajiku dengan seteguk air?”

Kemudian, ada seorang laki-laki datang membawa air dan menyodorkannya kepada beliau. Dengan cepat, beliau memberikan minum kepada anjing yang tak berdaya itu. “Ini,” kata sang sufi dengan sangat meyakinkan, “Lebih utama bagiku ketimbang seluruh ibadah haji yang sudah kutunaikan. Karena Rasulullah Saw. bersabda, “Di dalam setiap jantung yang berdetak itu ada pahala”.

Wallahu a’lamu bish-shawab.

0 Shares:
You May Also Like