ZIARAH (Bagian 5)

Catatan Pembuka: Tadinya, bagian 5 (dan ke-6) dari seri tulisan saya tentang ziarah saya ke Iraq ini akan melanjutkan cerita ziarah saya ke makam para tokoh besar utama dalam sejarah Islam, yang dimakamkan di negeri ini. Khususnya Ziarah Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayidina Husayn. Tapi, setelah bagian 4—yang menyinggung tentang konferensi yang saya ikuti di Baghdad itu—ditambah tersebarnya informasi tentang judul konferensi tersebut, banyak yang bertanya tentang apa isi konferensi itu sendiri. Karena kebetulan memang secara kronologis konferensi (tepatnya, Welcoming Reception) diselenggarakan di hari pertama kedatangan saya di Baghdad, persis setelah saya selesai berziarah di kota itu, maka saya putuskan untuk lebih dulu menuliskan tentang konferensi ini, baru kemudian melanjutkan kisah ziarah saya—yang memang baru berlanjut setelah konferensi selesai dua hari setelah itu. Baru setelah ini, akan saya lanjutkan cerita ziarah saya. Harap maklum.

Judul konferensi, yang saya diundang untuk berbicara itu, adalah Al-Afaq al-Mustaqbaliyah li Atba’ Ahlil Bayt as (Horison Masa Depan Pengikut Ahlul Bayt as.). Sepintas judulnya segera tampak terkait dengan ke-Syiah-an. Karena memang mazhab Syi’ah sering menyebut dirinya sebagai mazhab Ahlul Bayt. Bukan kebetulan juga jika penyelenggaranya adalah sebuah yayasan—Yayasan Inki untuk Studi dan Riset—yang dipimpin oleh Sayed Ammar al-Hakim. Sedang Sayed Ammar, yang bergelar Hujjatul Islam, itu adalah ulama Syiah dari keluarga Alhakim—sebuah keluarga terhormat para ulama Syiah di Iraq. Beliau adalah keponakan Ayatullah Baqir Alhakim, seorang marja’ besar Syi’ah di Iraq, yang syahid akibat bom yang diledakkan di luar Masjid Imam Ali di Najaf, saat beliau pulang dari shalat di dalamnya. Bukan itu saja, Sayed Ammar al-Hakim juga adalah ketua Gerakan Kebijaksanaan Nasional (Tayar al- Hikmah al-Wathani), sebuah partai Syiah yang cukup berpengaruh dalam percaturan politik di negeri ini. Lengkap sudah.

Maka, ketika saya mengetahui hal ini, reaksi pertama saya adalah enggan untuk memenuhi undangan ini—sampai-sampai saya harus berkonsultasi dengan seorang teman yang saya anggap banyak tahu tentang percaturan keulamaan dan politik di Iraq.

Baca Juga:  Memahami Aspek Batin Saluran Cerna

Alasan saya bukanlah karena saya takut tuduhan serampangan bahwa saya Syiah bisa marak lagi. Toh, sudah lebih dari 40 tahun saya diperlakukan begitu. Dan, kenyataannya, meski saya selalu terbuka untuk diskusi, saya juga tak terlalu ambil pikir tentang hal ini. Pada saat diperlukan saya masih bicara soal Syiah, baik di media massa maupun dalam forum-forum ilmiah. Bukan karena saya memang pengikut Syiah, tapi karena saya memang selalu, semampu saya, mengupayakan kesalingpahaman di antara berbagai kelompok Muslim. Selalu saya katakan, jika orang bertanya kepada saya: Saya bukan Syiah, bukan Sunni. Saya hanya berusaha menjadi Muslim, sebaik yang saya bisa. Atau, dalam kalimat yang lebih positif saya katakan: Saya Sunni dan saya Syiah. Karena, bagi saya, keduanya adalah dua bentuk penafsiran Islam yang sama-sama sah. Pada saat yang sama, se-sah apa pun, tetap saja itu interpretasi. Interpretasi terhadap Islam oleh para ulamanya, dan bukan Islam itu sendiri. Ada yang saya setuju, ada yang saya tidak setuju. Saya berusaha belajar Islam dari kelompok mana pun, dan mengambil yang sejalan dengan apa yang saya anggap benar. Tapi jika ada tuduhan tak berdasar kepada salah satu mazhab, dan saya mengetahui hal itu dan bisa ikut mengklarifikasi, maka saya akan berusaha untuk melakukannya. Maka, pernah saya katakan dalam salah satu wawancara saya, yang cukup populer di youtube: Saya (dibesarkan sebagai) Sunni, tapi saya akan tetap membela Syiah jika yang disebut terakhir ini disudutkan oleh fitnah dan tindakan sewenang-wenang. Maka saya pun bahkan berpolemik di Harian Republika soal Syiah. Saya muat juga tulisan-tulisan saya tentang hal itu dalam buku saya—Islam Tuhan, Islam Manusia—yang sudah laku belasan ribu eksemplar. Saya pun tak ragu menulis obituari Kang Jalaluddin Rakhmat—yang dianggap dedengkot Syiah di Indonesia—di Harian Kompas dan Majalah Tempo. Bahkan, baru tahun lalu saya menerbitkan buku khusus, berjudul Inilah Mazhabku. Mazhab di Atas Mazhab. Di dalamnya saya menyatakan sekali lagi bahwa mazhab Sunni dan Syiah sama-sama adalah mazhab yang sah—dalam makna sebagai tafsir, seperti saya sebut di atas—yang sesungguhnya jauh lebih banyak memiliki kesamaan ketimbang perbedaan. Kalau pun ada perbedaan yang seolah tak bisa dipertemukan, maka biasanya itu: kalau tidak kebohongan, adalah ulah kaum ekstremis (ghuluw) bermadzhab di masing-masing mazhab, yang sama sekali tidak mewakili mainstreamnya.

Baca Juga:  Manusia Yang Lemah

Maka, keengganan saya itu lebih disebabkan karena—selain saya selalu malas berurusan dengan orang-orang politik—saya memang selalu malas berada di lingkungan yang berbau eksklusif. (Toh, pikir saya, kalau saya tolak undangan ini, Allah sudah begitu dermawan memberi rizki kepada saya sehingga saya bisa berangkat berziarah kapan saja dengan biaya saya sendiri. Alhamdulillah).

Tapi, akhirnya saya putuskan untuk berangkat memenuhi undangan ini karena sedikitnya dua alasan.

Pertama, saya merasa ini bisa menjadi ajang tukar pendapat dengan—paling tidak, sebagian peserta—yang bermazhab Syiah, demi mengupayakan kesalingpahaman itu. Khususnya dalam hal pemahaman, bahwa kecintaan dan kepengikutan kepada Ahlul Bayt (yakni para ulama mereka yang salih)—yang saya yakin memang merupakan salah unsur menentukan dalam ajaran Islam—bukanlah monopoli Syiah. Dan bahwa pengikut Sunni pun umumnya adalah pencinta Ahlul Bayt as. Termasuk di Indonesia.

Kedua, saya lihat tema konferensi ini sangat pas untuk mengajak umat Islam mementingkan kontribusi nyata ketimbang fanatisme bermazhab. Sebelum membahas tema ini, perlu saya sampaikan di sini bahwa slogan Yayasan Inki, yang mereka sebarkan di mana-mana, adalah“ummatan wasathan” (umat pertengahan). Dan tema umum yang mendasari konferensi ini adalah “muwathanah” (citizenship atau kewargaan). (Sambil lalu saya katakan di sini bahwa, seperti dikatakan oleh Ketua Angkatan Muda  partai besutan Sayed Ammar yang mewancarai saya untuk podcast mereka, Gerakan Kebijaksanaan Nasional sesungguhnya tak suka politik. Tapi, kenyataannya, politik diperlukan untuk menjadi platform dakwah dan peran positif mereka di tengah masyarakat). Seperti dapat dibaca pada makalah panjang yang pernah ditulis Sayed Ammar, sebagaimana juga dinyatakan juga dalam TOR konferensi, bahwa sudah seharusnya para pengikut Ahlul Bayt bisa menjadi warga yang baik di daam masyarakat yang di dalamnya mereka hidup. Lepas dari identitas mereka sebagai Syiah, mereka harus menekankan pada partisipasi di dalam masyarakat—di bidang politik, ekonomi, peradaban, dsb—dengan tujuan maslahat umum, tanpa membeda-bedakan mazhab dan, bahkan agama. Inilah suatu tema yang, bukan hanya penting, melainkan bisa juga menjadi platform saya untuk berbicara tentang nilai penting kesalingpahaman dan persatuan di antara umat Islam. Karena, tanpa kesalingpahaman dan persatuan, mana mungkin tugas kewargaan ini bisa diselenggarakan? Malah,  saya nyatakan ini dengan rendah hati, melalui ini saya mungkin bisa memberikan saran kepada sikap bermazhab, dalam konteks ini, sebagian anasir Syiah tertentu yang terlalu menekankan kepada kekelompokan. Maka, ketika akhirnya saya putuskan berangkat, saran saya ini saya tuangkan pikiran ini ke dalam makalah yang saya tulis. Yakni, tentang kewargaan ini. Di bagian tulisan setelah ini, saya akan cuplik bagian-bagian tertentu dari makalah saya terkait hal ini. (Di makalah yang sama, saya juga secara ringkas mengungkapkan latar belakang kesejarahan masuknya Islam berwarna tasawuf dan kecintaan kepada Ahlul Bayt, di Indonesia. Kenyataan ini, menurut saya, sekaligus dapat mendukung upaya lebih jauh menciptakan kesalingpahaman dan persatuan di antara berbagai mazhab itu).

Baca Juga:  Ramadan dan Kesalehan Sosial

Selain itu, dalam suatu sesi rekaman wawancara dengan saya dalam podcast mereka, saya juga berbicara tentang resep keberhasilan proyek dakwah kami—yakni Mizan, yang memang membuka diri terhadap penerbitan karya-karya penulis dari mazhab dan kelompok mana pun dalam Islam—di Indonesia, sebagai berkat sikap nonsektariannya. (Saya juga akan mengungkapkan sedikit tentang hal ini di tulisan mendatang).

0 Shares:
You May Also Like