Menghayati Perjalanan Isra Mikraj: Pesan Keheningan kepada Bumi
Isra Mikraj merupakan salah satu perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah saw. Dalam keheningan malam, Nabi Muhammad saw diisrakan oleh Allah dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa. Lalu dalam mikrajnya Nabi saw dinaikkan ke langit tertinggi, sidrah al-muntaha. Perjalanan luar biasa tersebut bukan hanya untuk Nabi seorang diri, namun misi Isra Mikraj adalah membawa pesan penting yang hendak disampaikan untuk umat manusia.
Sejarah Isra Mikraj sebenarnya baru diketahui oleh masyarakat 200 tahun kemudian setelah agama Islam ada. Dapat dikatakan biasanya hadis-hadis shahih tidak memuat kisah Isra Mikraj, seperti misalnya Shahih Bukhari dan Muslim. Namun kisah itu pertama kali diungkap oleh Ibn Ishaq yang hanya menyampaikannya kepada muridnya yakni Ibn Hisyam, barulah tahun 203 H Isra Mikraj itu diberitakan dan diajarkan kepada masyarakat karena pada saat itu kondisi umat membutuhkan kisah hikmah dan keteladanan dari perjalanan Isra Mikraj sang Nabi.
Karena itu, berbagai perbedaan versi cerita Isra Mikraj, sebenarnya pelajaran dan hikmahnyalah yang sangat penting untuk diambil darinya supaya kita bisa mengamalkan dan mengimplementasikan dalam kehidupan kita di bumi ini ini.
Isra Mikraj ini memiliki peran penting bagi pembinaan jiwa manusia, karena dari peristiwa besar itu Rasulullah saw menerima perintah shalat lima waktu untuk umat muslim, di mana perintah shalat ini merupakan representasi dari sekian perintah amal ibadah lainnya. Ada riwayat hadis yang menyatakan “Asshalatu mi’rajul mu’minin.” Setiap orang yang beriman sejatinya diberikan kesempatan untuk mikraj menghadap Tuhannya. Namun hanya seorang mukmin yang memiliki kemauan yang besar untuk melakukan perjalanan seperti apa yang disabdakan oleh sang Nabi.
Isra sebenarnya dimaknai dengan perjalanan horizontal mengambil satu titik pijakan untuk perjalanan vertikal atau mikraj. Isra adalah bagaimana kita berusaha istikamah untuk mengamalkan iman dan amal saleh dalam kehidupan sehari-hari. Iman adalah landasan kita untuk berbuat amal kebaikan, sedangkan amal saleh adalah semua tindakan yang berdasarkan ketauhidan atau nilai-nilai Ilahi yang kita berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakannya.
Sedangkan Mi’raj itulah yang menjadi buah dari laku amal saleh yang ditempuh secara lahiriah dan batiniah yaitu perbuatan kebaikan yang ditampakkan di luar sama dengan apa yang ada di dalam hatinya, sehingga sesorang bisa menjadi hamba yang rahmat atau welas asih bagi orang lain.
Untuk bisa “Asshalatu mi’rajul mu’minin” seorang mukmin seharusnya menjalankan ibadah ritual bukan hanya semata-mata untuk menggugurkan kewajiban seperti shalat, puasa, dan yang lainnya, namun amal ibadah tersebut dikerjakan dengan hati yang sungguh-sungguh.
Kemudian untuk menuju mikraj, selalu berusaha meningkatkan kesadaran sebagaimana orang Jawa mengatakan “Urip iku tansah eling lan waspada” artinya gerak lakunya dibarengi dengan waspada dan kesadaran hati. Maksudnya dibarengi dengan zikir, tafakur, dan berdoa dalam kefakiran supaya Allah menurunkan rahmat, membuka pintu hati, dan memohon supaya dianugerahi pemahaman dan ilmu-Nya, bukan hanya berdoa untuk persoalan keduniawian saja.
Yang lebih penting lagi yaitu berusaha untuk tidak menjadi pedendam, tetapi selalu memaafkan kepada orang-orang yang mempunyai salah kepadanya. Hal ini telah dicontohkan Rasulullah saw yang banyak dilupakan oleh kita umatnya. Nabi saw tidak pernah membalas kejahatan kepada siapapun, malah beliau saw membalas orang yang menyakitinya dengan perbuatan baik.
Kita diingatkan dengan cerita seorang Yahudi yang setiap hari meludahi Rasulullah, ada juga yang membuang kotoran di depan pintu Nabi, saat dakwah di Thaif yang seharusnya mendapat perlindungan malah mendapat lemparan bebatuan hingga kulitnya robek dan berdarah, namun tidak ada rasa jengkel sedikitpun di hati Nabi hingga malaikat yang iba menawarkan azab agar ditimpakan untuk mereka, namun beliau saw menolak tawaran itu, dan berhusnuzan bahwa mereka yang melakukan perbuatan zalim kepadanya dikarenakan belum mengetahui dan berharap dari anak turunnya kelak akan memeluk Islam.
Dengan demikian, Isra Mikraj ini sesungguhnya membawa pesan penting untuk umat, bahwa harus ada kebaikan-kebaikan yang mesti terus ditebarkan oleh seorang mukmin baik kepada sesama manusia maupun makhluk lain, sehingga pesan Ilahi tentang rahmatan lil ‘alamin juga bisa kita wujudkan dalam sebentuk penghayatan cinta kasih kepada seluruh penjuru bumi.
Sebagaimana sang Nabi yang dihibur dengan pengalaman Isra Mikraj dan turun membawa hikmah sebagai ‘ibadur Rahman yang semakin bertambah welas asihnya. Namun sebelum itu beliau saw telah melampaui proses-proses yang bisa dibilang tidak mudah, oleh karenanya Nabi menyandang gelar hamba yang mana kesadaran kehambaan diri merupakan puncak tertinggi dalam beribadah kepada Allah. “Sub-ḥānallażī asrā bi’abdihī lailam minal-masjidil-ḥarāmi ilal-masjidil-aqṣallażī bāraknā ḥaulahụ linuriyahụ min āyātinā.” Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.”[]