Kontroversi di Sekitar Keilmuan Tasawuf

Bagi saya pribadi, dinamika dan wacana pemikiran Islam, memang selalu menarik untuk diperbincangkan dan diulas. Ini bukan semata-mata karena penulis pernah sekolah pemikiran Islam saja. Melainkan, karena dinamika dan wacana pemikiran Islam sendiri sangat luas akan khazanah yang dimiliki. Bak pasar lautan, semakin kita memasuki, semakin berwarna pula kehidupan yang akan dijumpai.

Dalam dinamika dan wacana pemikiran Islam memiliki bidang keilmuan di mana cakupannya sangat luas seperti, tafsir, hadis, teologi, filsafat, fikih, dan tasawuf, serta bidang keilmuannya, berkembang hingga menjadi bidang keilmuan yang mapan seperti saat ini.

Meskipun demikian, ternyata, di awal perkembangnya memiliki polemik dan konflik serta kontroversi keilmuan baik sesama atau antara bidang keilmuan semisal teologi dan filsafat, dan fikih dan tasawuf serta sebagainya.

Demikian halnya, tasawuf sebagai suatu bidang keilmuan juga mengalami kontroversi dan polemik dalam pergulatan dan pergumulan sejarah panjang hingga kemudian menjadi mapan yang melahirkan tarekat-tarekat seperti saat ini.

Dalam perjalanan panjang tasawuf tersebut hampir sebagian besar para sarjana dan intelektual Islam sepakat kalau keberadaan tasawuf sudah ada sejak masa Nabi saw. di mana sebagian besar umat Islam mengenal sebagai bidang keilmuan penyejuk ruhani, atau perekat hubungan manusia dengan Tuhan.

Secara terminologi dan yang tercatat dalam catatan lembaran literatur tasawuf mencuat di sekitar abad ketiga hijriah dengan tampilnya beberapa sosok sufi agung yang namanya tetapi dikenal hingga kini. Sebut saja misalnya, Hasan al-Bashri, Rabi’ah al-Adawiyah dan Basyr al-Kahfi serta tokoh-tokoh sufi lainnya, juga ikut membesarkan nama tasawuf dalam pusaran kontroversi-kontroversi dan kecurigaan, serta kecaman-kecaman dari kelompok Islam sendiri, utamanya kelompok Islam ortodoks.

Munculnya polemik dan kontroversi di antara kalangan di sekitaran tasawuf, baik yang pro maupun yang kontra masih berada pada tataran bidang keilmuan pemikiran Islam. Misalnya, polemik dan kontroversi antara ahli tasawuf dan ahli fikih, perbedaan pandangan antara ahli hakikat dan ahli syariat, atau antara ajaran esoterik Islam dan penganut eksoterik, serta polemik antara kelompok Islam heterodoks dan Islam kelompok Islam ortodoks.

Baca Juga:  Metafora Ibn 'Arabi tentang Status Agama-Agama Pra-Islam

Sebagai suatu keilmuan yang lahir dari ruang sejarah, tasawuf kadang kala mengalami kontroversi berkepanjangan, tetapi sangat terbuka di antara para pengkaji dan peminatnya. Kontroversi di sekitar tasawuf semakin sengit sejak muncul kecenderungan yang dianggap mengarah pada paham-paham pantiesme, suatu pandangan segala suatu hanya terbatas pada aspek, modifikasi, atau hanya bagian belaka dari wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya.

Dalam historisitas tasawuf paham pantiesme ini tampil bersamaan dengan ajaran Ittihad Abu Yazid al-Busthami (w.261 H/875 M), dan ajaran Hulul Abu Husayn Ibnu Mansur al-Hallaj (w.309 H / 922 M). Ajaran baru ini dikecam keras oleh sebagian besar kalangan kelompok Islam ortodoks, dan dianggap sebagai ajaran yang sangat kontradiktif dengan ajaran teologi Islam seperti yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.

Kontroversi ajaran tasawuf ini mencapai puncak klimaksnnya, ketika terjadi peristiwa penting nan tragis, yaitu matinya Abu Mansur al-Hallaj di tiang gantungan. Di Nusantara kasus ini terjadi pada Syekh Siti Jenar yang juga mengalami peristiwa tragis di tangan Wali Songo. Peristiwa ini, muncul dari kecurigaan pada ajaran dan doktrin berpaham pantiesme menjadi penyebab terjadi kecaman dari para ulama pembela syariat yang menganggap mereduksi ajaran tauhid sebagai prinsip utama ajaran Islam.

Tentu, yang menjadi kontroversi dalam tasawuf hingga berujung tragis tersebut, apakah Tuhan identik dengan alam atau tidak? Dalam pemahaman teologi konvensional, mengasumsikan Tuhan dengan alam dianggap syirik, karena Islam menganut monoteisme murni. Tak ada hal yang serupa dengan Tuhan, apalagi identik atau sebanding. Transendensi Tuhan atas alam bersifat mutlak, tetapi imanensi tak hilang. Keduanya oleh sebagian ulama moderat pada saat yang sama dipandang berdampingan dan mesti berjalan serentak.

Baca Juga:  Risalah Pendek tentang Dosa

Usaha-usaha untuk melerai kontroversi ini di kalangan para ulama tasawuf sendiri sudah ada sejak pertengahan abad 3 H/9 M, di mana muncul gerakan pembaharuan untuk mengintegrasikan dimensi tasawuf pada wilayah syariat. Para ulama tasawuf beraliran Sunni berusaha mengembalikan orisinilitas dengan menghindarkan dari ajaran yang dianggap menyimpang dan ajaran yang memiliki kecenderungan doktrin sesat.

Gerakan pembaharuan ini dilakukan ulama tasawuf ortodoks seperti, Abu Sa’id al-Kharraz (w.268 H/899 M), Abu al-Qasim Muhammad al-Junayd (w.298 H/911 M), Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi (w.465 H / 1073 M), dan Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H / 1111 M) dengan magnum opus-nya Ihya’‘Ulum al-Din (kebangkitan ilmu-ilmu agama).

Akan tetapi, hubungan mesra antara tasawuf dan fikih ini dalam sejarah perjalanannya tak bertahan lama. Hubungan ini retak ketika ada kecenderungan kembali munculnya paham pantiesme dalam bentuk lebih konkret dan sempurna. Hal ini tampak pada ajaran Wahdat al-Wujud yang diwacanakan Muhyiddin Ibn al-‘Arabi (w. 638 H / 1240 M), di mana ajarannya dianggap berbeda dengan para pendahulunya, Abu Yazid al-Busthami dan Abu Mansur al-Hallaj.

Bedanya, kalau ajaran keduanya menggunakan ungkapan-ungkapan kontroversial sebagai bagian dari ungkapan emosional yang terkendali dalam keadaan sakau atau mabuk (tak sadar) yang kemudian dalam kesufian kita kenal sebagai syatahat. Sementara, Ibn al-‘Arabi yang dikenal sebagai seorang sufi teosofi mengungkapkan ajarannya dengan kejeniusan dari keterampilan kontemplasi dan imajinatifnya.

Konsep Wahdat al-Wujud Ibn al-‘Arabi ini tentu saja membangkitkan polemik dan kontroversi panjang tak berkesudahan hingga saat ini, di antara para pendukung dan pengecam doktrin ini. Persoalan yang muncul kepermukaan hampir sama dengan para pendahulunya berputar di sekitar, apakah Tuhan identik dengan alam? Apakah Tuhan dan alam memiliki hubungan ontologis?

Baca Juga:  Ahlulkitab dalam Islam (3): Status di Hari Kemudian

Tentu, pertanyaan tersebut sangat menarik banyak perhatian dari berbagai kalangan, baik dari para Islamologi Barat atau orientalis, maupun kalangan para sarjana dan intelektual Muslim sendiri. Misalnya, dari kalangan intelektual Muslim sudah ada yang membahas dan mengkaji konsep Wahdat al-Wujud Ibn al-‘Arab ini. Salah satu intelektul Indonesia Kautsar Azhari Noer dengan bukunya, Ibn al-‘Arab: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (1995), yang diterbitkan Pramadina Jakarta dan sebagainya.

Selain itu, pertanyaan tersebut juga mengandung agenda kontemplasi pada para mencari filosofi hidup dari masa ke masa. Sehingga menjadi pemburuan oleh sekian banyak para filosof dan mistikus yang datang dari berbagai kelompok sosial keagamaan. Pendekatan filosofis dan mistik dalam kajian teosofi Ibn al-‘Arabi dalam khazanah pemikiran Islam. Sehingga pada akhirnya pengaruh pemikiran Ibn al-‘Arabi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap paradigma dan sudut pandang dalam melihat orisinilitas Islam.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

ZIARAH (6)

Baru di hari pertama konferensi, yakni di malam Welcoming Reception itu, saya sudah berbesar hati mendengar Sayed Ammar…