Para Sufi yang Tenggelam dalam Cinta (Bagian 1)

Apa itu cinta? Pepatah Arab mengatakan, “falubbu lā yumkinu tafsīruhū bal huwa yufassiru kulla syai’in” (cinta itu tidak bisa ditafsirkan, tetapi ia menafsirkan segala sesuatu). Pepatah Arab lain mengatakan, “syāribul khamri yaṣḥū ba‘da sakratihī # wa syāribul ubbi ūlal ‘umri sakrānu” (pereguk anggur akan sadar kembali setelah mabuknya hilang # sedangkan pereguk cinta akan senantiasa mabuk dalam sepanjang hidupnya).

Suatu ketika ada orang yang bertanya kepada Majnūn, “Siapa namamu?” Majnūn menjawab, “Laylā.” Ketika dikatakan kepadanya, “Laylā sudah meninggal.” Maka, dia menjawab, “Sesungguhnya Laylā tidak pernah mati dalam relung jiwaku. Aku adalah Laylā.” Dalam kesempatan yang lain, Majnūn melewati rumah Laylā dan kemudian menatap langit. Lalu, seseorang berkata kepadanya, “Wahai Majnūn, janganlah engkau memandang langit. Akan tetapi, pandanglah rumah Laylā saja. Siapa tahu engkau bisa melihatnya di sana.” Maka, Majnūn menjawab, “Aku sudah puas dengan memandang bintang kemintang yang menyinari rumah Laylā.” (Al-Ghazālī, Mukāsyafah al-Qulūb, hlm. 28)

Baiklah. Tulisan ini secara khusus dan sederhana membahas tentang cinta kepada Allah dan pengalaman para sufi yang tenggelam dalam cinta-Nya. Sumber utama tulisan ini adalah beberapa bab dalam kitab Mukāsyafah al-Qulūb al-Muqarrib ilā arah ‘Allām al-Guyūb fi ‘Ilm at-Taawwuf karya sufi ternama Ḥujjatul Islām Imam al-Ghazālī, seperti Bāb fī al-Maabbah (Bab tentang Cinta), Bāb fī al-‘Isyq (Bab tentang Cinta yang Sangat Mendalam), Bāb fī ā‘atillāh wa Maabbatihī wa Maabbati Rasūlihī allallāhu ‘alayhi wa Sallam (Bab tentang Taat kepada Allah dan Mencintai-Nya serta Mencintai Rasul-Nya saw.), dan Bāb fī Bayān al-Maabbah wa Muāsabah an-Nafs (Bab tentang Penjelasan Cinta dan Muhasabah). Penulis pernah mengaji keempat bab tersebut dan beberapa bab lain secara sorogan kepada Ustaz Fahmi Saifuddin (alumni Pesantren Assadad Tanjung Abillaits asuhan K.H. Thoifur Ali Wafa dan Pesantren Darul Musthofa asuhan Habib Umar bin Hafiz).

Baca Juga:  Eyang Husin

Imam al-Ghazālī menyebutkan ragam pendapat ulama tentang definisi cinta (kepada Allah). Pertama, cinta adalah mengikuti Nabi Muhammad saw. Ketika seseorang mengetahui bahwa kesempurnaan hakiki hanya milik Allah dan semua kesempurnaan yang ada pada dirinya dan orang lain berasal dari Allah dan dengan pertolongan Allah, maka dia akan memberikan seluruh cintanya hanya kepada Allah. Oleh karena itu, dia akan menaati-Nya dan menyukai sesuatu yang bisa mendekatkan dirinya kepada-Nya. Menurut Imam Junayd al-Bagdādī, setiap orang tidak akan sampai kepada Allah, kecuali dengan pertolongan Allah. Dan jalan yang bisa menyampaikan seseorang kepada Allah adalah mengikuti Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam surah Āli ‘Imrān (3): 31, “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’” Dengan demikian, bukti cinta seorang hamba kepada Allah dan Nabi Muhammad saw adalah dengan menaati keduanya dan mengikuti perintah keduanya (hlm. 27, 32 & 245).

Kedua, cinta adalah senantiasa ingat (zikir) kepada Allah. Ketiga, cinta adalah tidak suka kekal (berlama-lama) di dunia. Sebab, ia ingin segera bertemu dengan kekasihnya, yaitu Allah. Keempat, cinta adalah lebih mengutamakan kekasihnya. Kelima, cinta adalah hasrat kepada seorang kekasih yang terus bergejolak di dalam jiwa, tetapi tidak bisa diungkapkan dengan lisan. Menurut Imam al-Ghazālī, semua pengertian cinta yang disebutkan oleh ulama-ulama tersebut hanya menunjukkan kepada pengaruh dan akibat cinta, bukan definisi cinta itu sendiri. Imam al-Ghazālī sendiri mendefinisikan cinta (al-maabbah) sebagai condongnya perasaan kepada sesuatu yang disukai. Ketika condongnya perasaan kepada sesuatu yang disukai ini semakin kuat, maka ia disebut dengan cinta yang sangat mendalam (al-‘isyq). Dan cinta yang sangat mendalam ini akan membuat seseorang rela menjadi budak bagi kekasihnya dan mengorbankan semua yang dimiliki untuk kekasihnya semata (hlm. 245 & 28).

Baca Juga:  PENINDASAN TERHADAP BANGSA PALESTINA ITU SUDAH BERUMUR LEBIH DARI 70 TAHUN

Pendapat lain mengatakan bahwa cinta yang sangat mendalam (al-‘isyq) adalah tersibaknya tirai penghalang (antara seorang hamba dengan Allah) dan terbukanya rahasia-rahasia (tentang Allah), sedangkan rindu (al-wajd) adalah ketidakmampuan jiwa untuk menahan gejolak cinta yang sangat mendalam tersebut saat merasakan nikmatnya zikir. Oleh karena itu, pecinta yang sudah tenggelam dalam lautan cinta kepada Allah, maka dia tidak akan sadar tentang apa pun dan tidak pula merasakan apa pun meskipun―misalnya―sebagian anggota tubuhnya dipotong. Dia sering menyendiri (berkhalwat), jarang bergaul dengan manusia, senantiasa bertafakur, tidak banyak bicara, tidak melihat ketika memandang, tidak mendengar ketika dipanggil, tidak bisa dipahami ketika berbicara, tidak bersedih ketika ditimpa musibah, tidak merasakan lapar, tidak takut, tidak sadar, telanjang, dan mengumpat orang lain. Dia melihat Allah (dengan mata batinnya) di dalam khalwatnya, senang bercengkerama dengan-Nya, dan tidak sibuk berebut urusan keduniaan dengan orang lain (hlm. 29-30).

Tanda-Tanda Cinta

Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī menyebutkan bahwa mencintai Allah merupakan bagian dari cabang keimanan. Kadar cinta seorang hamba kepada Allah adalah sesuai dengan kadar keimanannya. Menurut sebagian ulama yang arif, seorang hamba akan mencintai Allah secara sederhana ketika keimanannya hanya meresap di permukaan hatinya saja. Sebaliknya, ketika keimanannya merasuk ke dalam relung hatinya yang terdalam, maka dia akan mencintai Allah secara mendalam dan meninggalkan semua perbuatan maksiat. Namun demikian, Syekh Nawawī al-Jāwī memperingatkan bahaya mengaku mencintai Allah. Oleh karena itu, ketika seorang hamba ditanya apakah dia mencintai Allah atau tidak, maka sebaiknya dia diam saja sebagaimana disarankan oleh Imam al-Fuḍayl bin ‘Iyāḍ. Sebab, jika dia menjawab “tidak”, maka dia akan kafir. Namun, jika dia menjawab “iya”, maka dia berdusta karena tidak memiliki sifat para pecinta (Qāmi‘ augyān ‘alā Manūmah Syu‘ab al-Īmān, hlm. 5).

Baca Juga:  Ramadan: Madrasah Spiritual Orang-Orang Beriman (Bagian 2)

Adapun tanda cinta adalah kesesuaian (sehati) dengan sang kekasih dan menghindari perbedaan dengannya. Oleh karena itu, bukti ketulusan cinta seseorang kepada kekasihnya adalah: (1) dia akan lebih memilih perkataan kekasihnya daripada perkataan orang lain; (2) dia akan lebih memilih duduk bercengkerama dengan kekasihnya daripada duduk bercengkerama dengan orang lain; dan (3) dia akan lebih memilih keridaan kekasihnya daripada keridaan orang lain. Seorang pecinta sejati akan mencintai kekasihnya dalam suka dan duka. Jadi, dia akan menerima semua pemberian kekasihnya dengan senang hati, baik berupa kebahagiaan maupun kesengsaraan. Dalam konteks cinta kepada Allah, maka dia akan mengikuti perintah-Nya, mengutamakan taat kepada-Nya, dan mengharapkan rida-Nya. Dia akan mencitai Allah dalam kondisi apa pun, baik senang maupun susah. Menurut Imam al-Ghazālī, orang yang mengaku mencintai Allah, tetapi masih mengeluh ketika diberi musibah, maka cintanya adalah palsu (Mukāsyafah al-Qulūb, hlm. 27 & 29-30).

Dalam hal ini, Imam al-Ghazālī menyebutkan bahwa suatu ketika ada sekelompok orang mengunjungi asy-Syiblī. Dia bertanya, “Siapa kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah para pecintamu.” Lalu, dia menghampiri mereka sembari melemparkan batu-batu kepada mereka. Maka, mereka sontak lari berhamburan dari hadapannya. Melihat hal itu, asy-Syiblī berkata, “Jika kalian betul-betul mencintaiku, maka mengapa kalian lari dari cobaanku?” Beliau kemudian berkata lagi, “Para pecinta adalah orang-orang yang mereguk secawan cinta. Maka, mayapada dan negeri-negeri yang membentang luas menjadi sempit bagi mereka, dan mereka mengetahui Allah dengan pengetahuan yang sejati, lenyap dalam keagungan-Nya, bingung dalam kekuasaan-Nya, mereguk secawan cinta-Nya, tenggelam dalam keramahan-Nya, dan bersenang-senang dengan bermunajat kepada-Nya. Lalu, beliau bersenandung, “Żikr al-maabbah yā mawlāya askaranī # wa hal ra’ayta muibban gaira sakrāni” (menyebut cinta, wahai tuanku, hanya membuatku mabuk # apakah engkau melihat seorang pecinta dalam keadaan tidak mabuk?). (hlm. 27)

Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Akam.

0 Shares:
You May Also Like