Sebetulnya dia belum setua itu. Meski usianya sudah mendekati 70 tahun, dan memiliki beberapa cucu. Tapi, jangan bicara soal kebugaran fisiknya. Dia masih naik gunung bersama para santrinya. Bukan cuma untuk berolah raga, melainkan juga untuk berdakwah. Ya, berdakwah di gunung, berdakwah sambil berwisata di luar ruang.
Eyang Husin memang teladan cara hidup sehat. Berpuasa sunah tak henti. Berolahraga. Mengatur diet. Tapi juga merawat ruhnya dengan melazimkan membaca wirid, dan hizib, di samping tentu menjalankan berbagai ibadah ritual wajib dan sunah dengan antusias. Karena, bukankah, ruh yang sehat mendukung tubuh yang sehat?
Kalau melihat penampilannya yang sederhana, berbaju koko, berkopiyah hitam, dan berseruwal panjang biasa, orang yang tak mengenalnya mungkin tak tahu bahwa Eyang Husin adalah seorang ulama. Pembaca buku yang lahap, dari berbagai genre. Buku-buku agama terutama, tapi juga buku-buku pengembangan diri, yang mengajarkan cara hidup sejahtera lahir dan batin.
Yang pasti lebih tak diduga orang yang tak mengenalnya, Eyang Husin sebetulnya adalah cicit Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, wali besar Hadhramawt, dan penulis syair maulid Nabi saw yang termasyhur di seantero dunia Islam: Simthud-Durar (Untaian Mutiara). Ya, dia adalah putra kedua Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Alhabsyi, Imam Masjid Riyadh, penerus ayahnya, di Solo. Jadi dalam diri Eyang Husin ada “darah biru” Habib Ali bin Muhammad.
Tapi, bukannya tampil dengan jubah dan surban, Eyang Husin tampil dengan tampilan orang tua Nusantara pada umumnya. Siapa pun yang kenal dengan Habib Anis, tahu bahwa putra-putra beliau sebenarnya hanya mewarisi kesederhanaan ayahnya. Juga keramahan, dan kedekatan dengan seluruh lapisan masyarakat.
Saya mengenal dekat Eyang Husin sejak kami sama-sama masih kecil, karena Eyang Husin adalah sepupu saya. Ibu Eyang Husin adalah kakak ibu saya. Jadi, keluarga kami (sempat) sangat dekat dengan keluarga Eyang Husin, termasuk dengan Habib Anis, tentu saja. Hanya jarak geografis yang belakangan memisahkan kami, karena Eyang Husin dan keluarganya memilih untuk tinggal di Solo, sementara keluarga saya di Bandung dan Jakarta. Saya—meski dalam hal usia lebih dekat dengan alm Habib Alwi atau Habib Hasan, adik beliau yang sekarang menjadi Imam Masjid Riyadh, Solo—juga sempat sangat akrab dengan Eyang Husin. Yakni, ketika Husin—begitu saya memanggilnya—sempat tinggal di Bandung, tempat saya juga tinggal. Bahkan, ketika Husin sudah pindah ke Solo, tak jarang kami janjian bertemu di rumah nenek kami saat saya berlibur ke kota itu. Hanya untuk berbual dan saling bertukar ilmu dan pengalaman. Husin adalah seorang yang berkepribadian kuat—bahkan keras. Tapi, hatinya dipenuhi kebaikan.
O, iya, Eyang Husin, selain memahami bahasa Arab, juga sangat fasih berbahasa Inggris. Bahasa ini dipelajarinya dengan serius saat dia kuliah di UGM, di kota turis Yogyakarta. Karena kefasihannya berbahasa Inggris itu, saya sempat memintanya menerjemahkan beberapa buku Islam berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Sudah tentu kualitas terjemahannya bagus, karena—selain fasih berbahasa Inggris—Husin juga berwawasan luas.
Ketika sempat menjadi Imam Masjid Riyadh sepeninggal Habib Anis, Eyang Husin memperkenalkan inovasi-inovasi baru dalam dakwahnya. Termasuk mengumpulkan anak-anak remaja untuk dibina dan diajak menerima dakwahnya dengan cara-cara yang menyenangkan mereka. Lebih dari itu, tampak kebaikan hati Eyang Husin dalam perhatian khususnya kepada kaum Muslim akar rumput. Sekarang, setelah tidak lagi menjadi Imam Masjid Riyadh, Eyang Husin bertandem dengan Habib Novel Alaydrus, seorang da’i muda yang amat populer di Solo dan di banyak kota lain. Tapi, kreativitasnya dalam berdakwah tak berkurang, malah justru bertambah. Bagi yang tahu tentang profil seorang da’i habib muda yang berilmu dan santun, Muhanmad bin Husin Alhabsyi, maka ketahuilah bahwa dia adalah putra Eyang Husin.
Bagi saya, meski tak banyak mendapatkan lampu sorot di panggung dakwah, Eyang Husin adalah Habib sejati. Seseorang yang penuh cinta, hidup sederhana, dan lebih mementingkan kontribusi kepada orang banyak ketimbang mencari posisi (maqam) di tengah masyarakat. Allaahumma shalli ‘ala Muhammad, wa aali Muhammad. Hormat saya buat Eyang Husin.