Asketisme dan Bagaimana Cara Menemukan Cinta yang Menakjubkan
Saat siang menjelang sore yang mendung, di suasana ruang kelas yang sedikit tenang dan asyik para siswa dalam salah satu pelajaran yang saya ampu, yaitu English Conversation. Saya bertanya kepada siswa tentang apa bedanya kepuasan dan kebahagiaan itu? Menurut salah satu siswi di ruangan kelas tersebut, bahwa kepuasan itu berarti kesenangan yang didapat sebab terpenuhinya keinginan pribadi oleh barang-barang (the things) secara fisikal. Barang-barang yang berasal dari luar tubuh manusia itulah yang memantik sehingga kita memutuskan untuk senang atau terpuaskan.
Lalu saya bertanya, bagaimana dengan kebahagiaan itu? Ia menjawab bahwa kebahagiaan justru sebaliknya dari kepuasan, atau minimal salah satu pelengkap saja dari hadirnya rasa bahagia. Jika kepuasan itu disebut puas saat orang senang karena bergantung pada benda-benda yang ada di luar tubuhnya. Maka kebahagiaan itu berbeda. Kita sebut bahagia ialah saat seseorang bisa menciptakan dan memilih mengatur sendiri suasana lubuk hati untuk dapat senang dan penuh cinta kapan saja, dan di ruang mana pun.
Mendengar jawaban itu, saya kemudian merefleksikan kembali kata-kata itu dengan bacaan yang pernah saya baca di buku-buku yang saya pikir sesuai dengan pemahaman filsafat dan dasar saintifik yang ada. Dalam hal tersebut, ia benar bahwa justru rasa bahagia itu justru bisa saja paradoks. Ada orang yang disiksa demi kekasih hatinya, ada seseorang yang berani melakukan aksi heroik demi menyelamatkan pujaan hatinya. Bahkan, ada yang berjuang hingga tetes darah penghabisan, hanya karena demi melihat wajah dambaan sanubari yang menyala-nyala di dalam batinnya. Betul saja, bahagia selalu dilandaskan cinta.
Saya jadi teringat kembali cerita Plato, seorang filsuf sekaligus murid dari Sokrates. Plato melontarkan pertanyaan yang masih relevan dengan membedakan mana sebetulnya kepuasan yang seringkali dilandasi pengharapan dan keinginan yang berlebih. Kemudian, sebetulnya mana yang manusia sebut sebagai cinta? Bagaimana cara menemukannya secara menakjubkan?
Dalam situasi perjamuan, Plato bertanya kepada Sokrates, yang juga gurunya. “Wahai, guru. Apa itu cinta, dan dimanakah aku bisa menemukannya?” Penasaran Plato sejak lama dan menggelisahkan jiwanya. Sokrates menjawab, “Di depan kita ada ladang. Pergilah ke sana tanpa mundur ke belakang, dan pilihlah satu tangkai gandum yang engkau anggap indah atau berharga, maka setelahnya kembalilah engkau ke sini. Ketahuilah jika kamu telah menemukan tangkai gandum yang kamu anggap menakjubkan, maka kamu telah menemukan cinta.” Jelas Sokrates, guru Plato tersebut.
Saat Plato masuk ke dalam ladang ia hanya berjalan lurus saja. Dan kembali tidak membawa sehelai tangkai pun gandum yang diambil olehnya. Sokrates lalu bertanya, “Mengapa engkau tidak mengambil sesuatupun dan kembali tanpa apapun?.” tanya Sokrates dengan tenang.
“Aku pada awalnya sudah melihat satu helai yang aku anggap indah. Namun, aku masih berpikir mungkin saja jika aku mencari lagi maka aku pasti akan menemukan yang lebih baik dari sebelumnya. Tapi, faktanya semakin jauh aku berjalan sebetulnya tidak aku lihat yang lebih baik dan indah. Justru, semakin melihat hamparan gandum yang tidak menarik bagiku.” Jawab Plato dengan tegas.
Dari cerita di atas kita bisa menganalisi bahwa begitulah cinta. Ia akan hampa jika kamu punya harapan dan keinginan yang berlebih. Semakin kau cari cinta, semakin tidak kamu temukan cinta. Cinta itu ada di lubuk hati, ketika kamu bisa menahan harapan dan keinginan yang berlebih.
Tidak satupun helai gandum yang bisa ditemukan oleh Plato, yang benar-benar sesuai harapan dan keinginan tingginya. Ia membawa kosong dan tidak membawa apapun, padahal sudah melewati ladang yang sangat luas tadi. Dan tidak ada waktu untuk bisa mundur kembali. Waktu dan masa tidak bisa diputar, ia menjadi masa lalu. Entah berisi kebahagiaan atau dominan sesal pun kepedihan.
Terimalah cinta apa adanya. Walaupun demikian, cinta butuh landasan. Untuk menuju kepada cinta yang apa adanya. Walaupun seperti apapun, sudah ada seperti adanya. Dan mampu ada di situasi apa dan di mana saja.
Landasan yang dimaksud tentu saja dapat dibarengi dengan biaya material yang bisa digunakan untuk menunjang cinta yang batin tadi. Walaupun tentu, itu semua pilihan bagi setiap orang. Sebab, kembali lagi dikatakan bahwa cinta itu keputusan kepada apa yang paling kita anggap menakjubkan.
Namun bukankah dalam kebijaksanaan diwasiatkan, bahwa kita perlu dunia dan akhirat? Tapi bukankah juga kita mesti insaf ada manusia yang tidak mendapat dunia tapi mendapat saja akhirat sebab pilihannya. Sebagian mendapat dunia, namun tidak mengerjakan niat dan perbuatan yang bervisi akhirat. Tapi pula, ada yang sudah rugi kedua-duanya. Dunia tak dapat, akhirat pun lenyap di dalam dadanya.
Namun, berapa banyak manusia itu secara penampakan (fisikal, yang kelihatan) hidupnya glamor dan berkecukupan materi. Tapi jiwanya tidak tenang, takut hilang materi, berkejaran dengan pencapaian-target masa depan, hampa, merasa hidup membosankan, jiwanya rapuh, dan justru jiwanya sakit menatap kehidupan. Di kontradiksi lain, ada orang yang dunia melihatnya secara penampakan luar, bahwa orang itu gila, sulit, atau bahkan sengsara. Namun nyatanya bagi orang yang dituduh sengsara itu justru merasa bahwa dia bangga dan bahagia mengorbankan yang bisa ia beri untuk kekasih hatinya. Atau bekerja optimal sekerasnya, tapi mampu memiliki kekuatan batin untuk memutuskan bahagia saja dengan apapun yang dimilikinya.
Sebagian mengatakan, mana yang lebih cerdas orang yang hidup apa adanya dan kemudian memilih bahagia dengan hanya meneguk secangkir teh dan menyantap seporsi roti (bahkan sebagian orang memilih hidup asketisme untuk menyedikitkan ketergantungan pada barang di luar tubuhnya) atau orang yang harus punya rumah mewah, kendaraan mahal, status sosial dan pendidikan tinggi, kemudian pakaian indah dulu baru merasa bisa bahagia? Sekali lagi, bahagia kita yang tentukan dan dari sekarang. Waktu tidak mundur ke belakang.