Ibn ‘Arabi: Balasan Orang Berpuasa adalah Allah

Abu Bakar Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Arabi al-Hatimi al-Tha’i—selanjutnya disebut Ibn ‘Arabi. Lahir di Murcia, Spanyol, pada 17 Ramadhan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 M dan meninggal pada 22 Rabiulakhir 638 H/1240 M. Keberadaannya amat kontroversial, beragam gelar disematkan ada yang memberinya penghormatan dengan sebutan Al-Syaikh al-Akbar (Guru Terbesar/Teragung), Al-Kibrīt al-Aẖmar (Belerang Merah), Muhyiddīn (Penghidup Agama). Pada saat yang sama ia mendapatkan segudang hujatan dan cacian dicap sebagai kafir, zindik, bahkan sampai diberikan atribut pemati agama. Terlepas dari itu, sejarah Islam membuktikan ia merupakan sufi terbesar dalam sejarah Islam, bahkan banyak tokoh/pemikir besar setelahnya terpengaruhi oleh gagasan dan ajarannya.

Kita harus banyak bersyukur karena Ibn ‘Arabi adalah seorang sufi yang rajin dan giat men-share hasil pengalaman spiritualnya dalam bentuk buku, sehingga kita bisa saksikan hidangan-hidangan langit yang dibumikan lewat karya yang bisa kita akses dengan mudah. Belum bisa dipastikan, berapa judul buku yang berhasil ia tulis, yang jelas, jumlahnya mencapai ratusan. Kesimpangsiuran terkait informasi karyanya mengundang daya tarik tersendiri bagi Osman Yahya, sehingga ia membuat riset disertasinya hanya meneliti manuskrip-manuskrip peninggalan Ibn ‘Arabi. Disertasinya yang berbahasa Prancis itu belakangan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Syekhul Azhar Ahmad Muhammad Thayyib dengan judul Mu’allafāt Ibn ‘Arabi Tarīkhuhā wa Tashnīfuhā (Karya-Karya Ibn ‘Arabi: Sejarah dan Klasifikasinya).

Osman Yahya berkesimpulan karya-karya yang dinisbatkan kepada Ibn ‘Arabi berjumlah 994 karya dan ditemukan ada 135 karya yang diragukan autentisitasnya sebagai karya Ibn ‘Arabi. Dengan demikian karya Ibn ‘Arabi yang murni sejumlah 859 karya tulis.

Dari sekian banyaknya karya Ibn ‘Arabi ada dua karya penting yang harus dikaji bagi pencintanya yaitu; Al-Futūẖāt al-Makiyyah (Penyingkapan-Penyingkapan di Makkah) sebuah karya ensiklopedis yang merangkum kekayaan pemikiran ‘irfani, keberadaannya mampu memverifikasi/menjadi barometer kebenaran naskah-naskah yang menisbatkan sebagai karya Ibn ‘Arabi. Karya selanjutnya ialah kitab Fushūsh al-Ḫikam (Permata-Permata Kebijaksanaan) merupakan karya Ibn ‘Arabi yang paling banyak mendapatkan komentar dan anotasi oleh para pengikutnya. Kitab Fushūsh meski hanya satu jilid, justru merupakan karyanya yang paling sulit karena merupakan sari pati samudra yang amat luas dan dalam dari pemikiran Sang Syekh.

Baca Juga:  Abid Al-Jabiri: Kritik Nalar Arab dan Tradisi dengan Modernitas (2)

Sebagai seorang sufi yang sempurna—paling tidak mendekati—Ibn ‘Arabi sangat berpegang erat pada syariat Islam. Keseriusannya dalam memegang syariat terlihat dengan jelas dalam Al-Futūẖāt ia memberikan ruang yang cukup panjang untuk mengupas secara mendalam dan panjang tentang syariat Islam, mulai dari pembahasan bersuci menghilangkan najis, wudhu’, rahasia shalat, rahasia zakat, rahasia puasa, rahasia haji dsb. Selain itu, apabila diperhatikan dengan seksama dalam kitab Al-Futūẖāt Ibn ‘Arabi menjadikan Al-Qur’an sebagai barometer diterimanya sebuah pengalaman spiritual.

Terkiat puasa, Ibn ‘Arabi membuat sebuah bab khusus yaitu Fī Asrār al-Shaum (Rahasia-Rahasia Puasa) sepanjang 92 halaman—versi cetakan Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah diedit oleh Aẖmad Syamsuddīn. Ibn ‘Arabi membahas puasa dengan menghadirkan syair mistik terlebih dahulu, setelah itu didefinisikan apa itu puasa, menghadirkan ragam ayat dan hadis Nabi serta melakukan analisa logis dan sistematis beraroma sufistik. Sistematika penulisan seperti ini, menjadi ciri khas gaya penulisan Ibn ‘Arabi untuk membedah tema-tema yang ada dalam Al-Futūẖāt.

Menurut Ibn ‘Arabi, puasa adalah menahan (al-imsāk) dan bersifat ketinggian/keagungan (al-rif’ah). Yang menarik adalah analisa Ibn ‘Arabi yang berasas pada ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang menunjukkan bahwa puasa itu adalah milik Allah bukan milikmu, dalam artian yang hanya dan benar-benar mampu berpuasa itu adalah Allah bukan manusia, karena hakikat manusia (makhluk) membutuhkan makan dan minum, dan Allah adalah Dzat Yang Tidak Bergantung pada apapun (dalam konteks puasa Allah tidak membutuhkan makan dan minum). Maka dalam kondisi seperti ini, puasa adalah sifat shamdāniyyah yaitu sifat yang hanya dimiliki oleh Allah. Kesimpulan demikian didapat dari analisa ayat dan hadis Nabi berbunyi:

لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْءٌ

Baca Juga:  Kondisi Hati akan Berpengaruh Terhadap Semesta, Termasuk Keluarga dan Anak-Anak Kita

“Tidak sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya)” (QS. Asy-Syūrā [42]: 11)

عليك بالصوم فإنه لامثل له…

“…Sepatutnya kamu berpuasa, karena tidak ada yang serupa dengannya” (HR. An-Nasāī)

Hadis lain yang dihadirkan oleh Ibn ‘Arabi adalah hadis qudsi;

قال الله عز وجل: كل عمل ابن آدم له إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به

“Allah berfirman, ‘Setiap amal perbuatan manusia itu miliknya kecuali puasa, karena puasa adalah milik-Ku dan Aku (Allah) sendiri yang memberi ganjarannya'” (HR. Imam Muslim).

Karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah dan puasa itu adalah ibadah yang tidak ada yang serupa dengannya. Karena itu ganjaran ibadah puasa adalah Allah sendiri. Allahlah sebagai imbalan bagi orang yang berpuasa. Karena orang yang berpuasa itu mereka sedang mengikuti pendidikan Ilahiah, dalam artian Allah tidak makan dan minum, Muslim yang berpuasa juga ia sedang meniru Allah tidak makan dan tidak minum. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, maka manusia saat berpuasa ia dipaksa untuk melepaskan hakikat dirinya dalam menghasilkan keturunan yakni saat berpuasa dilarang untuk melakukan hubungan badan untuk melangsungkan generasi. Walhasil, ibadah puasa itu mengaktifkan dimensi Ilahiah manusia, agar ia berakhlak seperti akhlak Allah. sebagaimana Nabi bersabda, “Berakhlaklah kalian seperti akhlak Allah“.  

Masih banyak lagi rahasia makna puasa yang disandingkan oleh Syekh Akbar. Tulisan ini hanyalah berupa cuplikan dari luasnya makna puasa dalam kitab Al-Futūẖāt. Semoga bermanfaat. 

Sumber Bacaan:

Clauda Addas, Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibn ‘Arabi, Penj Zaimul Am, Jakarta: Serambi, 2004.

Ibn ‘Arabi, Al-Futūẖāt al-Makiyyah, jilid 2, diedit oleh Aẖmad Syamsuddīn, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011.

Baca Juga:  ISRA' MI'RAJ REVISITED

Ibn ‘Arabi, Fushūsh al- Ḫikam, diedit oleh Abu al-‘Ala ‘Afifi, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980.

Osman Yahya, Mu’alafāt Ibn ‘Arabi Tarīkhuhā wa Tashnīfuhā, Penj Aẖmad Muẖammad al-Thib. Mesir: al-Hainatu al-Mishriyyah al-‘Āmah li al-Kitāb Idārah al-Turāts, 2001.

0 Shares:
You May Also Like