Abid Al-Jabiri: Kritik Nalar Arab dan Tradisi dengan Modernitas (2)

Kalau dalam tulisan sebelumnya, penulis lebih mengemukakan Kritik Nalar Arab, dan solusinya. Maka dalam tulisan ini, penulis hendak menyampaikan gagasan Al-Jabiri mengenai Tradisi dengan Modernitas.

Epistemologi Nalar Arab

Untuk menjawab tantangan modernitas, al-Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema al-Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu: pertama, disiplin eksplikasi (ulum al-bayan) yang didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak.

Kedua, disiplin gnotisisme (ulum al-irfan) yang didasarkan pada wahyu dan dimensi batin/terdalam sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi.

Ketiga, disiplin-disiplin bukti enferensial (ulum al-burhan) yang didasarkan pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya.

Tradisi dengan Modernitas

Pemikiran al-Jabiri dalam upayanya menghubungkan tradisi dengan modernitas adalah keharusan umat Islam untuk mengembalikan rasionalisme dalam pembacaan terhadap teks-teks agama.

Pertama, kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam filsafat. Semangat yang mendasari rasionalisme pemikiran Ibnu Rusyd adalah sikap kritis dan ilmiah, serta berafiliasi kepada tradisi pemikiran rasionalisme yang menekankan pengetahuan asiomatik. Pengetahuan asiomatik ini mengulang kembali paradigma Aristoteles, sekaligus mengadopsi sistem pengetahuan yang berdasar pada ilmu dan filsafat seperti dibangun oleh Aristoteles beberapa abad sebelumnya.

Ada tiga tradisi pemikiran yang dominan pada masa Ibnu Rusyd, yaitu: tradisi kalam dan filsafat, tradisi fikih dan ushul fiqih, dan tradisi tasawuf teoretik. Pada ketiga tradisi itu, sama-sama meniadakan pendekatan ilmiah-rasionalisme atau burhani. Ibnu Rusyd menyerukan untuk mengikuti garis-garis pemikiran rasionalisme dan pembelaannya yang sangat heroik terhadap argumen kausalitas.

Baca Juga:  Tumpang Tindih Makna Jihad

Proyek besar Ibnu Rusyd adalah merekonstruksi dimensi rasionalitas dalam agama dan filsafat atas dasar prinsip burhani. Dia melakukan dua langkah untuk meloloskan proyeknya. Langkah pertama, Ibnu Rusyd memberikan komentar dan ringkasan atas karya-karya Aristoteles dengan tujuan untuk memudahkan bagi pembaca dalam memahami pemikiran filsuf Yunani tersebut. Langkah kedua adalah membantah dan melakukan serangan balik terhadap al-Ghazali, melalui karyanya Tahafut al-Tahafut.

Kedua, kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam syari’ah. Dalam kontribusi ini, Ibnu Rusyd membuktikan hubungan yang tidak bertentangan antara filsafat dan agama. Menurutnya, sisi rasionalitas dari perintah-perintah agama berserta larangan-larangannya dibangun atas landasan moral keutamaan atau fadilah. Landasan ini sama dengan yang ada pada filsafat. Maka tidak heran jika Ibnu Rusyd mempersandingkan agama dengan filsafat (Ibnu Rusyd, “Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal”, dalam Ibnu Rusyd, Falsafah Ibn Rusyd, (ed. Mushtafa Abd al-Jawab Umran), (Kairo: al-Maktabah al- Tijaruyah al-Mahmudiyah, 1968), 35).

Ketiga, kontribusi rasionalisme al-Syatibi. Apa yang dikemukakan Ibnu Rusyd kemudian memunculkan pertanyaan: Bagaimana mungkin membangun dimensi rasionalitas dalam disiplin agama, yang atas dasar prinsip al-qath’i (kepastian)? Al-Syatibi (w.790 H) menjawab bahwa semuanya itu bisa saja terjadi. Hal ini dimungkinkan apabila kita mengacu pada metode rasionalisme atau burhani, sehingga disiplin ushul fiqih pun didasarkan pada prinsip kulliyah al-syari’ah (ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip maqashid al-syari’ah. Prinsip kulliyah al-syari’ah berposisi sebagaimana posisi pada al-kulliyah al-aqliyah dalam filsafat. Sedangkan maqashid al-syari’ah serupa dengan posisi al-sabab al-gha’iy (sebab akhir) yang berfungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran rasional.

Untuk bisa mencapai al-kulliyah al-aqliyah itu maka harus menggunakan metode yang berlaku dalam al-kulliyah al-‘ilmiyah atau universalitas-universalitas ilmu-ilmu alam dan filsafat. Metodenya adalah induksi (istiqra’), sebagai cara untuk meneliti sejumlah kasus-kasus spesifik atau juz’iyah. Dari sana kemudian ditarik beberapa prinsip universalitas. Universalitas-universalitas syariat bersifat pasti dan yakin (qath’i) dengan tiga prinsip, yaitu: pertama, prinsip keumuman dan keterjangkauan. Kedua, prinsip kepastian dan ketidakberubahan. Ketiga, prinsip legalitas (al-qanuniyah).

Baca Juga:  Apa itu Isti’dad?

Penjelasan di atas adalah pada konsep universalitas dalam syari’at. Sedangkan dalam prinsip maqashid al-syari’ah, al-Syatibi menyebut empat unsur pokok yang menentukan. Pertama, sesungguhnya syari’at agama diberlakukan dalam rangka memelihara dan menjaga kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Kedua, syari’at agama diberlakukan untuk dipahami dan dihayati oleh umat manusia. Ketiga, adanya unsur taklif, pembebanan hukum-hukum agama kepada manusia. Keempat, melepaskan sang mukallaf dari belenggu dorongan hawa nafsunya. Kesemua unsur di atas harus melekat pada tujuan dari diberlakukannya syari’at.

Lalu, kontribusi terakhir yang ditawarkan al-Jabiri adalah dari rasionalisme Ibnu Khaldun. Kelebihan Ibnu Khaldun dalam memaparkan sejarah, seperti dalam kitabnya, Muqaddimah, adalah penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab-sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu; juga pengetahuan yang akurat tentang asal-usul, perkembangan, dan riwayat hidup matinya kisah peradaban manusia. Menurut al-Jabiri, dengan metode semacam ini, disiplin sejarah menjadi bagian dari tradisi keilmuan rasional.

Dari itu dapat dipahami bahwa al-Jabiri sangat apresiatif terhadap Ibn Khaldun, karena telah memberikan jalan bagi empirisisme penelitian sejarah, yang juga rasional. Ukuran validitas sejarah Ibnu Khaldun adalah pengetahuan thaba’i al-umran (dinamika-dinamika internal yang umum atau biasa terjadi dalam pengelompokan-pengelompokan sosial manusia). Maka, upaya untuk membangun tingkat rasionalitas dalam ilmu sejarah, yakni rasionalitas dalam arti kepastian faktualitas suatu kasus atau cerita.

Nah, sebab-sebab untuk membangun derajat rasionalitas sesuatu, yaitu sebab-sebab yang berlaku secara alami dan lahiriah, dan mampu dipahami dan dijangkau oleh akal dalam bentuk yang teratur dan apik. Pandangan Ibnu Khaldun nampak empirik sekali, yaitu dengan melihat fakta dan lahiriah sesuatu obyek pengamatan. Apabila pengamatan itu dimasuki oleh agama maka bagi Ibnu Khaldun, analisanya seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd dan al-Syatibi, yaitu faktor kemaslahan (mashlahah).

Baca Juga:  Polemik di Balik Nama Filsafat Islam

Analisis diri dan kritisisme diri merupakan faktor yang signifikan, agar suatu masyarakat atau institusi dapat mempertahankan identitas atau bahkan meningkatkan viabilitasnya ketika dihadapkan pada berbagai tantangan baik eksternal, internal, kultural, sosial politis maupun intelektual dalam sejarah perkembangan Islam. Kenyataan ini jelas dapat dilihat dengan munculnya berbagai gerakan modern ataupun pra-modern (Lihat: Fazlurrahman, “Revival and Reform in Islam” dalam P.M. Holt. Ann K. S. Lambton and Bernad Lewis (eds), The Cambrige History of Islam, Vol 2 (Cambridge : Cambridge University Press, 1970), 636-65).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kematangan sebuah peradaban terlihat pada seberapa jauh kesadarannya akan akar-akar warisan klasik yang ia miliki. Makin dalam kesadaran itu, akan makin dalam pula ketangguhan dan kematangan peradabannya.

0 Shares:
You May Also Like