Suasana demokrasi kian meredup atau bahkan sirna sama sekali pada era pasca kekhalifahan yang menganut sistem kerajaan (mamlakah). Kerajaan Bani Umaiyah yang memerintah selama hampir satu abad (kurang lebih 90 tahun) mulai menerapkan sistem pemerintahan monarchiheridetis atau kerajaan turun-temurun. Demikian pola pada dinasti berikutnya, Bani Abbasiyah rotasi kepemimpinan dilakukan secara turun-temurun.
Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung cukup lama dalam rentang waktu sekitar lima abad (750 M – 1258 M). Pada masa-masa berikutnya, sistem kerajaan masih tetap mewarnai pemerintahan Islam hingga abad ke 19 M yang ditandai dengan jatuhnya kerajaan Islam Turki Utsmani.
Sejak abad ke 19 M, imperialisme dan kolonialisme Barat mulai memasuki wilayah dan pundi-pundi kekuasaan Islam. Isu nation state (negara bangsa) mulai digelindingkan oleh sejumlah pemikir dan pemuka agama. Realitas perubahan seperti ini menuntut para pemikir Islam untuk merumuskan kembali sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Lalu, sistem demokrasi yang pernah tersemai pada periode Khilafah Rasyidah, kembali diwacanakan dalam lembaran buku fikih.
Diskursus negara dan agama kian mengemuka dan menemukan momentumnya pada era kontemporer. Wacana negara dengan segmen penduduk yang multi-etnik, multi-ras, multikultural, dan bahkan multi-agama, memacu beberapa kalangan untuk merumuskan konsep ketatanegaraan baru yang sesuai dengan semangat zaman. Tak pelak lagi, banyak teori yang dimunculkan para pakar menyangkut hubungan negara dan agama. Di antaranya ialah teori negara agama, teori negara sekuler, dan teori simbiosis yang merupakan gabungan keduanya. Teori terakhir ini dinilai cukup relevan jika diterapkan dalam konteks negara bangsa yang penuh keragaman.
Terjadinya dinamika sistem pemerintahan tersebut sesungguhnya merupakan keniscayaan dan dapat dimaklumi. Sebab, sistem pemerintahan dalam Islam masuk dalam kategori wasilah (sarana), bukan ghayah (tujuan). Setiap perkara yang masuk kategori ghayah mengharuskan ditegakkannya keadilan di tengah-tengah rakyat secara terata, sehingga mereka bisa hidup makmur, tenteram, dan sejahtera.
Oleh karena itu, menjadi logis jika dalam teks wahyu, bentuk negara dan sistem pemerintahan tidak disebutkan secara tersurat dan terperinci. Sebaliknya, teks wahyu dalam soal ini banyak mengemukakannya secara garis besar dan universal, sehingga umat Islam bisa merumuskan sistem pemerintahan yang sesuai dengan jenis tantangan yang dihadapi dan ragam dinamika yang dihadapi.
Lantaran konsep eksplisit tentang persoalan politik dan sistem pemerintahan tidak ditemukan dalam lembaran teks wahyu, maka teknis pengaturannya diserahkan kepada umat Islam dengan tetap mengacu pada dalil-dalil universal, atau berbagai teks dalam Al-Qur’an dan hadis yang bersifat kulli dan ijmali. Dengan ungkapan lain, seperangkat prinsip etika dan moral yang relevan tentang cara mengatur negara dan mekanisme pemerintahan cukuplah dijadikan landasan teologis filosofis dalam kehidupan berpolitik. Pada intinya, landasan teologis filosofis itu kita yakini sebagai watak holistik Islam yang menyajikan ajaran secara lengkap, dan paripurna menyangkut segala aspek kehidupan.
Islam secara konseptual sesungguhnya tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara seperti konsep negara sekuler. Dengan watak holistik yang melekat padanya, Islam menganggap bahwa negara pada hakikatnya merupakan bagian integral atau perluasan dari Islam itu sendiri. Dari pandangan seperti ini lalu muncul adagium, al–islamu din wa dawlah (Islam adalah agama sekaligus negara).
Dalam sejarahnya, mazhab negara agama kerap kali mengkritik pemikiran mazhab negara sekuler, yang cenderung memisahkan secara diametral eksistensi agama dari pergaulan berbangsa dan bernegara. Perseteruan pemikiran semacam ini, menemukan momentumnya dalam konteks munculnya negara bangsa (nation state) dengan segmen penduduk yang majemuk.
Indonesia menjadi salah satu contoh negara bangsa paling demokratis di dunia, khususnya sejak 1998 ketika Indonesia mereformasi sistem ketatanegaraannya. Dalam kondisi seperti ini, munculnya gagasan negara dengan sistem pemerintahan khilafah, seperti yang sering kita dengar belakangan ini, menjadi bukti tumbuh suburnya perdebatan klasik tentang hubungan agama negara dalam konteks negara bangsa. Perdebatan yang sering mengemuka itu lalu banyak bersumbu pada soal penerapan syariat di setiap negara.
Silang pendapat tersebut sejatinya tidak perlu diperuncing apabila kita mampu mendudukkan persoalan syariat secara proporsional sesuai makna substansinya. Syariat kerap dimaknai oleh kelompok tertentu sebagai hal-hal yang cenderung mengarah pada hukum hukum juz’i (partikular) dalam ajaran agama. Tak pelak lagi, materi perdebatan banyak berjibaku pada soal penerapan syariat secara formal. Padahal, substansi syariat sesungguhnya merupakan organisme hidup yang mampu membebaskan dari keterjeratan dan keterbelakangan menuju kemaslahatan dan keadilan.
Makna syariat secara kulli (garis besar) tak lain ialah manhaj (jalan), untuk menebar kemaslahatan yang perlu diapresiasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan. Dengan begitu, syariat dimaknai sebagai sebuah metode untuk menggerakkan organisme Islam yang hidup dalam belantika sosial kemasyarakatan, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Syariat dengan pemaknaan seperti ini tidak akan mudah lekang oleh waktu, sehingga dapat menebar rahmat dalam bingkai sistem ketatanegaraan yang terus bisa diperbarui sesuai perkembangan zaman. Wallahu a’lam bisshawaab.