Kita sering mendengar kalimat, “Sesama manusia adalah saudara, sesama mukmin itu bagaikan satu bangunan”. Ungkapan tersebut memang indah, namun tidak bermakna apa-apa tanpa implementasi dalam kehidupan nyata. Seringkali justru kita membatasi makna saudara dengan yang sepemahaman saja. Orang yang berbeda kita anggap musuh dan menutup diri untuk berinteraksi.
Menarik jika kita simak salah satu nasihat Nabi Isa as. kepada para pengikutnya berikut, “Murah hati bukanlah berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadamu, karena itu berarti mengembalikan kebaikan untuk kebaikan. Murah hati adalah bahwa kamu harus berbuat baik kepada orang yang telah berbuat buruk terhadapmu”. Ungkapan tersebut diabadikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Al-Zuhd.
Kalimat yang serupa juga terekam dalam Injil Matius 5: 46, “Jika kamu hanya mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah pahalamu? Bukankah pemungut cukai pun melakukan hal yang sama?”
Nasihat dari Nabi Isa tersebut mengajak kita untuk mengasihi, mencintai siapa saja, kawan maupun lawan. Selama ini kita merasa berat untuk mengasihi lawan, sebab pola pikir kita sudah menganggap lawan sebagai orang yang harus dibenci dan dijauhi.
Hal ini akan berbeda jika kita melihat lawan dari kacamata cinta. Kita mencintai manusia karena mereka adalah saudara. Terlepas dari sikap atau perangai manusia yang buruk, entitasnya sebagai manusia harus dihormati dan dicintai. Sebagaimana kita mau dicintai, tentu terlebih dahulu kita harus mencintai orang lain.
Itulah teladan yang dicontohkan oleh Nabi Isa as. tatkala menghadapi masyarakat saat itu. Nabi Isa hadir dengan penuh kasih di tengah komunitas Yahudi yang cenderung formalitas dalam beragama dengan banyaknya hukum Taurat yang harus ditaati.
Ajaran kasih yang dibawa oleh Nabi Isa as. sejalan dengan misi menyempurnakan akhlak manusia oleh Nabi Muhammad saw. Meminjam istilah Kang Jalal, allahu yarham, dahulukan akhlak di atas fikih atau dalam bahasa lain, dahulukan cinta di atas agama. “Dengan hidup yang hanya sepanjang setengah tarikan napas, jangan tanam apapun kecuali cinta”, demikian kata Rumi.
Dengan cinta, maka semua manusia menjadi saudara. Bahkan dalam buku yang berjudul “Jawabannya adalah Cinta”, Prof. Quraish Shihab menjelaskan makna dari saudara itu adalah seluruh ciptaan-Nya. Tentu makna ini memberikan refleksi bahwa saudara itu bukan hanya sebatas yang satu darah.
Dalam konteks ini, Prof. Quraish Shihab mencoba melihat spektrum saudara yang lebih luas. Manusia dengan tumbuhan, binatang dan alam raya adalah bersaudara. Sebab, semuanya sama-sama “numpang” dalam berbagi ruang dan udara yang disediakan oleh Tuhan.
Dengan luasnya makna saudara, maka untuk melihatnya tidak dapat menggunakan perspektif fikih semata. Misalnya dalam perspektif fikih, interaksi kita dengan anjing akan dibatasi. Sebab, hewan tersebut dihukumi najis sehingga lebih baik dijauhi. Dengan pola pikir semacam ini, tidak heran jika kemarin ada ustaz yang dengan bangga menabrak anjing di tengah jalan.
Makna yang berbeda akan nampak ketika kita melihat anjing dalam sudut pandang cinta, sehingga yang kita lihat bukan lagi wujud fisik sang anjing, tetapi esensinya sebagai ciptaan Tuhan.
Satu kisah menarik yang berasal dari hadis Nabi dan diceritakan kembali oleh Syaikh Izzuddin bin Abdussalam dalam kitabnya Syajaratul Ma’arif seputar memberi minum anjing.
Alkisah, ada seorang laki-laki yang dilanda kehausan di tengah perjalanan, kemudian ia turun ke sumur dan minum darinya. Saat naik dari sumur, ia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya karena kehausan. Laki-laki itu berujar dalam hatinya, “Hewan ini ditimpa kehausan luar biasa seperti yang menimpaku”.
Kemudian ia menuruni sumur dan mengisi sepatunya dengan air lalu membawanya dengan cara digigit di mulutnya. Tiba di atas, dia memberi minum anjing tersebut. Kemudian ia bersyukur kepada Allah sehingga dosa-dosanya diampuni.
Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, apakah kita mendapatkan pahala kebaikan dari memperlakukan hewan?” Rasul menjawab, “Pada setiap kebaikan yang dipersembahkan kepada yang bernyawa ada ganjarannya”.
Hadis Nabi tersebut menegaskan bahwa kita harus mengasihi seluruh makhluk. Ketika kita masih membatasi makna saudara, berarti kita belum hidup dengan cinta. Sebab, cinta akan melihat semuanya sebagai saudara. Wallahu a’lam bish shawwab.