Al-Hujwiri: Puasa Memuat Seluruh Metode Tasawuf

Ali bin Utsman bin Ali al-Ghaznawi al-Jullabi al-Hujwiri—selanjutnya disebut al-Hujwiri—adalah seorang pelaku/pengamal dan teoritikus tasawuf asal daerah Gazna, Afganistan. Terkait data yang merekam identitasnya tidak banyak dijumpai. Namun, kita akan menemukan sekilas biografi al-Hujwiri dengan membaca lengkap kitabnya yaitu Kasyf al-Maẖjūb. Di dalam kitab tersebut Al-Hujwiri banyak menuangkan identitas dirinya, atas dasar—sebagaimana tertuang dalam mukadimahnya—dahulu karya tulisnya pernah dibajak oleh orang yang tidak bertaggung jawab hanya dengan mengganti nama penulisnya. Is’ad Abdul Hadi Qandi—peneliti dan penerjemah Kasyf Maẖjūb ke dalam bahasa Arab—memperkirakan bahwa Al-Hijwiri dilahirkan pada tahun 409-410 H dan wafat sekitar tahun 465-469 H.

Perjalanan intelektual Al-Hujwiri diawali dengan bimbingan keluarganya, mulai dari sentuhan sang kakek, ayah dan paman yang memang dikenal sebagai keluarga terdidik. Setelah itu, ia berkenala ke beberapa tempat pusat studi Islam seperti; Thus (Iran), Suriah, Turki, Damaskus, Irak dsb. Di sana ia berjumpa dengan banyak ulama otoritatif. Gurunya yang paling banyak mempengarui pemikirannya ialah Imam al-Qusyairi—penulis Risālah al-Qusyairiyyah—serta Syekh Abu al-Fadhl Muhammad ibn Al-Hasan al-Kuttali.

Berkat ketekunan dan kerja keras untuk menimba ilmu membuat Al-Hujwiri dinobatkan sebagai ulama yang berpengaruh dengan segudang warisan pemikirannya yang masih dikaji dan dijadikan rujukan bagi para pelajar dalam mengarungi lautan ilmu. Di antara kitab-kitabnya adalah Al-Fanā’ wa al-Baqā’, Syarẖ Kalām al-Ḫallāj, Baẖr al-Qulūb, Kasyf al-Asrār, Kasyf al-Maẖjūb dsb.

Kasyf al-Maẖjūb membahas seputar pentingnya ilmu, doktrin-doktrin tasawuf, biografi para sufi, mazhab-mazhab tasawuf. Selain itu, al-Hujwiri membahas bab-bab khusus pandangan kaum sufi tentang rukun Islam, termasuk di dalamnya puasa. Sebagaimana dijumpai pada bab lain, dalam menguak makna puasa ia menghadirkan ayat, hadis dan pendapat para sufi.

Baca Juga:  MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SURGAWI

Al-Hujwiri mengawali pembahasan puasa dengan menghadirkan ayat al-Qur’an

يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

Setelah itu disandingkan hadis Rabbani tentang puasa, Allah swt. berfirman, “Puasa adalah milik-Ku dan Aku (Allah) sendiri yang memberi ganjarannya” (HR. Imam Muslim).

Menurut al-Hujwiri ibadah puasa adalah ibadah batin yang tidak memiliki kaitan dengan ibadah lahir, dan misteri yang tidak ada sesuatu pun yang selain Allah tahu. Oleh karenanya, ibadah puasa imbalannya tidak terbatas. Menurut riwayat, manusia memasuki surga berkat rahmat Allah swt. dan manusia menetap di surga selamanya disebabkan karena pahala ibadah puasa. Itulah misteri dari puasa, yang jelas, Allah berfirman, “Akulah yang paling berhak memberikan ganjaran untuk orang berpuasa”.

Ada pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah yang disajikan oleh Al-Hujwiri. Dalam Kasyf al-Maẖjūb ia menceritakan ihwal dirinya ketika sowan ke rumah Syekh Ahmad Bukhari. Di hadapannya tersanding aneka makanan. Kemudian Syekh Ahmad menawarkan kepadaku untuk mencicipi makanan tersebut. Lalu, aku jawab, “Aku sedang berpuasa”. Syekh Ahmad bertanya, mengapa kamu berpuasa? Dijawab, “Aku berpuasa sebagaimana yang diamalkan oleh si fulan”. Syekh Ahmad berkata, “Tidak dibenarkan manusia meniru manusia lainnya”. Kemudian Al-Hujwiri berkeinginan ingin berbuka (membatalkan puasanya), tapi Syekh Ahmad mengatakan, “Karena engkau ingin berhenti meniru manusia, maka jangan meniruku (jangan berbuka) karena aku juga adalah seorang manusia”.

Kisah di atas mengingatkan kita semua yang terkadang motivasi kita saat menjalankan puasa itu tidak karena Allah, tapi karena selain Allah, misalnya karena melihat para guru, ingin menurunkan berat badan (diet), ingin sehat, ingin mendapatkan ketenangan, ingin mendapatkan surga dsb. Semua alasan itu adalah baik, tapi akan lebih baik lagi jika Allah dihadirkan di awal. Sehingga saat kita melaksanakan ajaran agama atas dasar kesadaran dengan penuh cinta untuk menjawab ajakan dari Allah Yang Maha Cinta.

Baca Juga:  Soal Yasinan dan Malam Jumat

Puasa adalah cara terbaik untuk mengontrol hawa nafsu, memperbaiki jiwa yang sakit agar pulih kembali, sehingga rahasia Ilahi mengalir dalam setiap tarikan napas orang berpuasa, pada saat yang sama hatinya akan memancarkan cahaya-cahaya Ilahi, untuk mengaplikasikan visi dan misi-Nya di muka bumi. Karena itu, Al-Hujwiri menyatakan, “Puasa adalah ritus ibadah yang memuat seluruh metode tasawuf”. Ia juga mengutip pendapat Imam Junaid al-Baghdadi yang mengatakan, “Ritus puasa adalah setengah dari perjalanan/suluk (perjalanan menuju Allah swt)”. Maka pantas orang-orang suci; para wali dan kekasih Allah swt. diceritakan oleh Al-Hujwiri semuanya menjalankan ritus puasa. Ada yang berpuasa terus menerus, ada juga yang hanya berpuasa di Bulan Ramadhan, ada yang berpuasa untuk mengikis sifat riya’ dan sombong, selain puasa Ramadhan mereka menyempurnakannya dengan puasa  hari-hari putih—13, 14, dan 15 setiap bulan, mendawamkan puasa Rajab, Sya’ban dan Ramadhan, puasa Nabi Dawud—sehari puasa, sehari buka. Diceritakan Imam Sahal al-Tustari saat berpuasa hanya makan sekali selama 15 hari dan di bulan Ramadhan ia tidak makan sama sekali sampai hari Raya. Syekh Abu Nashr Sarraj—penulis kitab Al-Luma’—berpuasa tidak berbuka selama Ramadhan, Syekh Abu ‘Abdillah Khaffi sepanjang hidupnya melakukan ritus empat puluh puasa yang tidak terputus-putus selama empat puluh hari dan masih banyak lagi ragam ritus puasa yang diamalkan oleh para sufi.

Imam al-Hujwiri menyatakan puasa para kekasih Allah itu masuk dalam bab karamah yaitu keistimewaan khusus yang Allah limpahkan kepada orang saleh pilihan-Nya. Karenanya, ibadah puasa para kekasih Allah itu tidak berlaku bagi manusia umum. Namun demikian, di akhir pembahasan tentang puasa Al-Hujwiri lebih condong memilih makan (tidak berpuasa secara ekstrem), jika dengan makan itu mampu menghantar kita pada musyāhadah, karena mujāhadah (usaha sungguh-sungguh) berpuasa, namun tidak menghasilkan musyāhadah hanya menjadi wahana permainan anak-anak.

Baca Juga:  MANA YANG LEBIH HEBAT, NABI SAW ATAU BAYAZID BUSTHAMI?

 

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Historisitas Khittah NU

Berawal dari teman-teman Gusdur (K.H. Abdurrahman Wahid) yang banyak mengatasnamakan diri sebagai pencinta NU (Nahdlatul Ulama). Kendati demikian,…